Kamis, 28 Januari 2010

Beriman Kepada Hari Akhir

Hari akhir adalah hari kiamat, di mana seluruh manusia dibangkitkan pada hari itu untuk dihisab da dibalas. Hari itu disebut hari akhir, karena tidak ada hari lagi setelahnya. Pada hari itulah penghuni surga dan penghuni meraka masing-masing menetap di tempatnya.

Iman kepada hari akhir mengandung tiga unsur:
1. Mengimani al-ba’tsu (kebangkitan), yaitu menghidupkan kembali orang-orang yang sudah mati ketika tiupan sangkakala yang kedua kali. Pada waktu itu semua manusia bangkit untuk menghadap Rabb alam semesta dengan tidak beralas kaki, bertelanjang, dan tidak disunat.

Allah Ta’ala berfirman, “Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati. Sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya”. (QS. Al-Anbiya`: 104)

Kebangkitan manusia setelah meninggal adalah kebenaran yang pasti, ditunjukkan oleh Al-Kitab, Sunnah dan ijma’ umat Islam. Allah Ta’ala berfirman, “Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat”. (QS. Al-Mu’minun: 15-16)

Nabi Muhammad -shallallahu alaihi wa sallam- juga bersabda, “Di hari Kiamat seluruh manusia akan dihimpun dengan keadaan tidak beralas kaki dan tidak disunat”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Adapun ijma’, maka umat Islam telah sepakat akan adanya hari kebangkitan karena hal itu sesuai dengan hikmah Allah yang mengembalikan ciptaanNya untuk diberi balasan terhadap segala yang telah diperintahkanNya melalui lisan para rasulNya. Allah Ta’ala berfirman, “Maka apakah kalian mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kalian secara main-main (saja), dan bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami ?” (QS. Al-Mu’minun: 115)


2. Mengimani hisab (perhitungan) dan jaza’ (pembalasan) dengan meyakini bahwa seluruh perbuatan manusia akan dihisab dan dibalas. Hal ini dipaparkan dengan jelas di dalam Al-Qur’an, Sunnah dan ijma (kesepakatan) umat Islam.

Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya kepada Kamilah kembali mereka, kemudian sesungguhnya kewajiban Kamilah menghisab mereka”. (QS. Al-Ghasyiyah: 25-26)
Allah Ta’ala juga berfirman, “Barangsiapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya ; dan barangsiapa yang membawa perbuatan yang jahat maka dia tidak diberi balasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan)”. (QS. Al-An’am : 160)

Dari Ibnu Umar -radhiallahu ‘anhu- bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Allah nanti akan mendekatkan orang mukmin, lalu meletakkan tutup dan menutupnya. Allah bertanya : ‘Apakah kamu tahu dosamu itu ?” Ia menjawab, ‘Ya Rabbku’. Ketika ia sudah mengakui dosa-dosanya dan melihat dirinya telah binasa, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Aku telah menutupi dosa-dosamu di dunia dan sekarang Aku mengampuninya’. Kemudian diberikan kepada orang mukmin itu buku amal baiknya. Adapun orang-orang Kafir dan orang-orang munafik, Allah Subhanahu wa Ta’ala memanggilnya di hadapan orang banyak. Mereka orang-orang yang mendustakan Rabbnya. Ketahuilah, laknat Allah itu untuk orang-orang yang zhalim”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Umat Islam juga telah sepakat tentang adanya hisab dan pembalasan amal karena itu sesuai dengan kebijaksanaan Allah. Sebagaimana kita ketahui, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menurunkan kitab-kitab, mengutus para rasul serta mewajibkan kepada manusia untuk menerima ajaran yang dibawa oleh rasul-rasul Allah itu dan mengerjakan segala yang diwajibkannya. Dan Allah telah mewajibkan agar berperang melawan orang-orang yang menentangNya serta menghalalkan darah, keturunan, isteri dan harta benda mereka. Kalau tidak ada hisab dan balasan tentu hal ini hanya sia-sia belaka, dan Rabb Yang Mahabijaksana, Mahasuci darinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengisyaratkan hal itu dalam firmanNya, “Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami), maka sesungguhnya akan Kami kabarkan kepada mereka (apa-apa yang telah mereka perbuat), sedang (Kami) mengetahui (keadaan mereka), dan Kami sekali-kali tidak jauh (dari mereka)”. (QS. Al-A’raaf: 6-7)

3. Mengimani surga dan neraka sebagai tempat manusia yang abadi. Surga tempat kenikmatan yang disediakan Allah untuk orang-orang mukmin yang bertaqwa, yang mengimani apa-apa yang harus diimani, yang taat kepada Allah dan rasul-Nya, dan kepada orang-orang yang ikhlas.

Di dalam surga terdapat berbagai kenikmatan yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga, serta tidak terlintas dalam benak manusia.

Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Rabb mereka ialah surga Adn yang mengalir dibawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka, dan mereka pun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Rabbnya”. (QS. Al-Bayyinnah: 7-8) Allah juga berfirman, “Tidak seorangpun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyenangkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. As-Sajdah: 17)

Neraka adalah tempat adzab yang disediakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk orang-orang kafir, yang berbuat zhalim, serta bagi yang mengingkari Allah dan RasulNya. Di dalam neraka terdapat berbagai adzab dan sesuatu yang menakutkan, yang tidak pernah terlintas dalam hati.

Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang yang zhalim itu Neraka yang gejolaknya mengepung mereka. Jika mereka meminta minum, maka mereka akan diberi minuman dengan air seperti besi yang mendidih yang dapat menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek”. (QS. Al-Kahfi: 29)

Juga pada firman-Nya, “Sesungguhnya Allah melaknati orang-orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (Neraka). Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Mereka tidak memperoleh seorang pelindung pun dan tidak (pula) seorang penolong. Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam Nereka, mereka berkata, Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul”. (QS. Al-Ahzab: 64-66)

Iman kepada hari Akhir adalah termasuk mengimani peristiwa-peristiwa yang akan terjadi sesudah kematian, misalnya :
a. Fitnah Kubur
Yaitu pertanyaan yang diajukan kepada mayat ketika sudah dikubur tentang Rabbnya, agamanya dan nabinya. Allah akan meneguhkan orang-orang yang beriman dengan kata-kata yang mantap. Ia akan menjawab pertanyaan itu dengan tegas dan penuh keyakinan, “Allah Rabbku, Islam agamaku, dan Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam nabiku”. Allah menyesatkan orang-orang yang zhalim dan kafir. Mereka akan menjawab pertanyaan dengan terbengong-bengong karena pertanyaan itu terasa asing baginya. Mereka akan menjawab, ‘Hah..hah.. tidak tahu’. Sedangkan orang-orang munafik akan menjawab dengan kebingungan, ‘Aku tidak tahu. Dulu aku pernah mendengar orang-orang mengatakan sesuatu lalu aku mengatakannya’.

b. Siksa Dan Nikmat Kubur
Siksa kubur diperuntukkan bagi orang-orang zhalim, yakni orang-orang munafik dan orang-orang kafir, seperti dalam firmanNya tentang Fir’aun dan para pengikutnya, “Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi hari dan petang (di dalam kubur mereka), dan pada hari terjadinya Kiamat, (Dikatakan kepada malaikat), Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras”. (QS. Al-Mu’min: 46)

Dari Zaid bin Tsabit dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Kalau tidak karena kalian saling mengubur (orang yang mati) pasti aku memohon kepada Allah agar memperdengarkan siksa kubur kepada kalian yang saya mendengarnya. Kemudian Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Mohonlah perlindungan kepada Allah dari siksa kubur”. Para sahabat berkata, “Kami memohon perlindungan Allah dari siksa kubur.” (HR. Muslim)

Adapun nikmat kubur, maka dia diperuntukkan bagi orang-orang mukmin yang jujur. Hal ini dijelaskan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firmanNya, “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, Rabb kami ialah Allah, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih ; dan gembirakanlah mereka dengan (memperoleh) Surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”. (QS. Fushshilat: 30)

Kisah fitnah kubur, serta kenikmatan bagi yang berhasil menjawab ketiga pertanyaan Mungkar dan Nakir, serta siksaan bagi yang tidak bisa menjawabnya, semuanya dipaparkan secara panjang lebar dalam hadits Al-Barra’ bin Azib -radhiyallahu ‘anhu- dalam riwayat Ahmad dan Abu Daud

Manfaat Keimanan Kepada Hari Akhir
1. Mencintai ketaatan dengan mengharap balasan pahala pada hari itu.
2. Membenci perbuatan maksiat dengan rasa takut akan siksa pada hari itu
3. Menghibur orang mukmin tentang apa yang didapatkan di dunia dengan mengharap kenikmatan serta pahala di akhirat.

[Diterjemah secara ringkas dari Syarh Ushul Al-Iman karya Asy-Syaikh Muhammad bin Saleh Al-Utsaimin, dengan sedikit perubahan]
al-atsariyyah.com

Adab mengucapkan do'a kepada kaum muslimin

Mengenai ucapan "Jazaakallåhu khåirån"

Ada satu hadits yang menjelaskan sunnahnya mengucapkan "jazakallahu khairan", dari Usamah bin Zaid radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Barangsiapa yang diberikan satu perbuatan kebaikan kepadanya lalu dia membalasnya dengan mengatakan : jazaakallahu khairån (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan), maka sungguh hal itu telah mencukupi dalam menyatakan rasa syukurnya.”

(HR.At-Tirmidzi (2035), An-Nasaai dalam Al-kubra (6/53), Al-Maqdisi dalam Al-mukhtarah: 4/1321, Ibnu Hibban: 3413, Al-Bazzar dalam musnadnya:7/54. Hadits ini dishahihkan Al-Albani dalam shahih Tirmidzi)

Beberapa fawaid hadits:

- Salah satu cara kita mensyukuri kebaikan seseorang kepada kita adalah mendoakan kebaikan untuknya.

- Ucapan "Jazaakallåhu khåirån" telah mencukupi rasa syukur.

- Maka yang kita ucapkan adalah JAZAAKALLÅHU KHÅIRÅN, bukan hanya "jazaakallåh" saja karena jika hanya jazaakallåh (semoga Allåh membalasmu) saja, maka balasan seperti apa? maka alangkah baiknya, kita mengikuti sunnah dan mengucapkannya secara keseluruhan, yakni mengucapkan "jazaakallåhu khåirån". maka dengan ini pula, alangkah baiknya kita menjauhi dari penambahan-penambahan, seperti menambahnya "katsirån" dibelakangnya. kalaulah penambahan katsiran itu kebaikan, tentulah dalam hadits diatas telah dijelaskan tambahannya. wallåhu a'lam.

Tata cara mengucapkan do'a ini

- Jika kita mengucapkannya kepada pria secara langsung, maka kita ucapkan:

"jazaa-KA-llåhu khåirån" atau "baaråkallåhu fiy-KA"

- Jika kita mengucapkannya kepada wanita secara langsung, maka kita ucapkan:

"jazaa-KI-llaahu khåirån" atau "baaråkallåhu fiy-KI"

- Jika kita mengucapkanya kepada dua orang secara langsung (kedua-duanya pria, atau salah satu dari mereka pria), maka kita ucapkan:

"jazaa-KUMA-llåhu khåirån" atau "baaråkallåhu fiy-KUMAA"

- Jika kita mengucapkannya kepada tiga orang atau lebih (atau kepada seseorang yang terhormat), maka kita ucapkan:

"jazaa-KUMU-llåhu khåirån" atau "baaråkallåhu fiy-KUM

- Jika kita mengucapkannya untuk seorang pria secara tidak langsung, maka kita ucapkan:

"jazaa-HU-llåhu khåyrån" atau "baaråkallåhu fiy-HI"

- Jika kita mengucapkannya untuk seorang wanita secara tidak langsung, maka kita ucapkan:

"jazaa-HA-llåhu khåyrån" atau "baaråkallåhu fiy-HA"

- Jika kita mengucapkannya untuk dua orang pria atau dua orang wanita atau dua orang yang terdiri pria dan wanita, secara tidak langsung:

"jazaa-HUMA-llåhu khåyrån atau "baaråkallåhu fiy-HIMAA"

- Jika kita mengucapkannya untuk 3 orang atau lebih, secara tidak langsung:

"jazaa-HUMU-llåhu khåyrån" atau "baaråkallåhu fiy-HIM"

Mengenai "Baaråkallåhu fiyk"

Apabila ada seseorang yang telah mengucapkan do'a "Baarakallahu fiikum atau Baarakallahu fiika" kepada kita, maka kita menjawabnya: "Wafiika barakallah" (Semoga Allah juga melimpahkan berkah kepadamu)

(Lihat Ibnu Sunni hal. 138, no. 278, lihat Al-Waabilush Shayyib Ibnil Qayyim, hal. 304. Tahqiq Muhammad Uyun)

Banyak orang yang sering mengucapkan "waiyyak (dan kepadamu juga)" atau “waiyyakum (dan kepada kalian juga)” ketika telah dido'akan atau mendapat kebaikan dari seseorang.

Apakah ada sunnahnya mengucapkan seperti ini? Lalu bagaimanakah ucapan yang sebenarnya ketika seseorang telah mendapat kebaikan dari orang lain misalnya ucapan "jazakallah khair atau barakalahu fiikum"?

Berikut fatwa Ulama yang berkaitan dengan "Jazaakallåhu khåirån"

Asy Syaikh Ahmad bin Yahya An Najmi

Beliau ditanya:

Apa hukumnya mengucapkan, “Syukran (terimakasih)” bagi seseorang yang telah berbuat baik kepada kita?

Beliau menjawab:

Yang melakukan hal tersebut sudah meninggalkan perkara yang lebih utama, yaitu mengatakan, “Jazaakallahu khairan (semoga ALLAH membalas kebaikanmu.” Dan pada Allah-lah terdapat kemenangan.

Asy Syaikh Muhammad 'Umar Baazmool

Beliau ditanya:

Beberapa orang sering mengatakan "Amiin, waiyyaak" (yang artinya "Amiin, dan kepadamu juga") setelah seseorang mengucapkan "Jazakallahu khairan" (yang berarti "semoga ALLAH membalas kebaikanmu"). Apakah merupakan suatu keharusan untuk membalas dengan perkataan ini setiap saat?

Beliau menjawab:

Ada banyak riwayat dari sahabat dan dari Rasulullah shallahu 'alaihi wasallam, dan ada riwayat yang menjelaskan tindakan ulama. Dalam riwayat mereka yang mengatakan "Jazakalahu khairan," tidak ada yang menyebutkan bahwa mereka secara khusus membalas dengan perkataan "wa iyyaakum."

Karena ini, mereka yang berpegang pada perkataan "wa iyyaakum," setelah doa apapun, dan tidak berkata "Jazakallahu khairan," mereka telah jatuh ke dalam suatu yang baru yang telah ditambahkan (untuk agama).

Al-Allamah Asy-Syaikh Al-Muhaddits Abdul Muhsin Al-Abbad

Beliau ditanya:

Apakah ada dalil bahwa ketika membalasnya dengan mengucapkan “wa iyyakum” (dan kepadamu juga)?

Beliau menjawab:

“Tidak ada dalilnya, sepantasnya dia juga mengatakan “jazakallahu khair” (semoga Allah membalasmu kebaikan pula), yaitu dido'akan sebagaimana dia berdo’a, meskipun perkataan seperti “wa iyyakum” sebagai athaf (mengikuti) ucapan “jazaakum”, yaitu ucapan “wa iyyakum” bermakna “sebagaimana kami mendapat kebaikan, juga kalian” ,namun jika dia mengatakan “jazakalallahu khair” dan menyebut do’a tersebut secara nash, tidak diragukan lagi bahwa hal ini lebih utama dan lebih afdhal.”

---

Beliau ditanya:

sebagian ikhwan ada yang menambah pada ucapannya dengan mengatakan "jazakallah khaeran wa zawwajaka bikran" (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan dan menikahkanmu dengan seorang perawan), dan yang semisalnya. Bukankah tambahan ini merupakan penambahan dari sabda Rasul shallallahu alaihi wasallam, dimana beliau mengatakan "sungguh dia telah mencukupi dalam menyatakan rasa syukurnya.?

Beliau menjawab:

Tidak perlu (penambahan) doa seperti ini, sebab boleh jadi (orang yang didoakan) tidak menginginkan do'a yang disebut ini. Boleh jadi orang yang dido'akan dengan do'a ini tidak menghendakinya. Seseorang mendoakan kebaikan, dan setiap kebaikan sudah mencakup dalam keumuman doa ini.

Namun jika seseorang menyebutkan do'a ini, bukan berarti bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam melarang untuk menambah dari do'a tersebut. Namun beliau hanya mengabarkan bahwa ucapan ini telah mencukupi dalam menyatakan rasa syukurnya.

Namun seandainya jia dia mendoakan dan berkata: “jazakallahu khaer wabarakallahu fiik wa ‘awwadhaka khaeran” (semoga Allah membalas kebaikanmu dan senantiasa memberkahimu dan menggantimu dengan kebaikan pula” maka hal ini tidak mengapa.

Sebab Rasul Shallallahu alaihi wasallam tidak melarang adanya tambahan do’a. Namun tambahan do’a yang mungkin saja tidak pada tempatnya, boleh jadi yang dido’akan dengan do’a tersebut tidak menghendaki apa yang disebut dalam do’a itu.

---

Beliau ditanya:

Ada sebagian orang berkata: ada sebagian pula yang menambah tatkala berdo’a dengan mengatakan : jazaakallahu alfa khaer” (semoga Allah membalasmu dengan seribu kebaikan” ?

Beliau menjawab:

“Demi Allah, kebaikan itu tidak ada batasnya, sedangkan kata seribu itu terbatas, sementara kebaikan tidak ada batasnya. Ini seperti ungkapan sebagian orang “beribu-ribu terima kasih”, seperti ungkapan mereka ini. Namun ungkapan yang disebutkan dalam hadits ini bersifat umum.”

(transkrip dari kaset: durus syarah sunan At-Tirmidzi,oleh Al-Allamah Abdul Muhsin Al-Abbad hafidzahullah, kitab Al-Birr wa Ash-Shilah, nomor hadits: 222)

Kesimpulan

Ucapan "Waiyyak" secara harfiah artinya "dan kepadamu juga". Ini adalah do'a `yang walaupun ulama kita tidak menemukan itu sebagai sunnah. Maka tidak boleh kita menganggap ini sebagai 'sunnah' dalam menjawab ucapan 'jazaakallåhu khåirån'.

Dalam kasus manapun, namun tidak ada ulama yang melarang berdo'a dengan selain ucapan "Jazakumullah khairan" dengan syarat tidak boleh menganggapnya merupakan bagian dari sunnah. Namun untuk lebih afdholnya kita ucapkan saja "jazakallah khairån" untuk menjawabnya, inilah sunnahnya.

Ada satu kaidah ushul fiqih yang dengan ini mudah-mudahan kita bisa terhindar dari bid'ah dan kesalahan-kesalahan dalam beramal atau beribadah.

Al-Imam Al-Bukhari (dalam kitab Al-Ilmu) beliau berkata, "Ilmu itu sebelum berkata dan beramal".

Perkataan ini merupakan kesimpulan yang beliau ambil dari firman Allah ta’ala:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ

“Maka ilmui-lah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu” (QS. Muhammad: 19).

Dari ayat yang mulia ini, Allah ta’ala memulai dengan ilmu sebelum seseorang mengucapkan syahadat, padahal syahadat adalah perkara pertama yang dilakukan seorang muslim ketika ia ingin menjadi seorang muslim, akan tetapi Allah mendahului syahadat tersebut dengan ilmu, hendaknya kita berilmu dahulu sebelum mengucapkan syahadat, kalau pada kalimat syahadat saja Allah berfirman seperti ini maka bagaimana dengan amalan lainnya? Tentunya lebih pantas lagi kita berilmu baru kemudian mengamalkannya. Kita tidak boleh asal ikut-ikutan orang lain tanpa dasar ilmu, seseorang sebelum berbuat sesuatu harus mengetahui dengan benar dalil-dalilnya.

Sumber: achfan.multiply.com/reviews/item/160 (dengan beberapa penambahan dan perubahan)
 
http://www.facebook.com/home.php?filter=lf#/notes/abu-zuhriy-al-gharantaliy/adab-mengucapkan-doa-kepada-kaum-muslimin/256805667076

Adab dalam menuliskan Pujian kepada Allåh (سبحانه وتعالى), Shålawat kepada Råsulullåh (ﷺ), dan Salam kepada kaum muslimin Bagikan

Salah satu bentuk ibadah yang terlalaikan, namun dianggap sebagai hal biasa di kalangan kaum muslimin sekarang ini adalah menulis salam dan shalawat dengan disingkat. Padahal telah diketahui bahwa dalam kaidah penggunaan bahasa Arab, kesempurnaan tulisan dan pembacaan lafadz akan mempengaruhi arti dan makna dari sebuah kata dan kalimat.

Lalu, bagaimana jika salam dan shalawat disingkat dalam penulisannya? Apakah akan merubah arti dan makna kalimat tersebut?

Adab Menulis Salam

Kata salaam memuat makna keterbebasan dari setiap malapetaka dan perlindungan dari segala bentuk aib dan kekurangan. Salaam juga berarti aman dari segala kejahatan dan terlindung dari peperangan. Oleh karena itu, Islam memerintahkan supaya menampakkan salam dan menyebarluaskannya (Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali dalam kitab Bahjatun Naadzirin Syarah Riyadhush Shalihin, Bab Keutamaan Salam dan Perintah Untuk Menyebarluaskannya).

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَاۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا

“Dan apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu.” (Qs. An-Nisaa’: 86)

Yang dimaksud dengan penghormatan pada ayat diatas adalah ucapan salam, yaitu:

- Assalaamu ‘alaykum
- Atau assalaamu ‘alaykum warahmatullaah
- Atau assalamu ‘alaykum warahmatullaah wabarakaatuh

Dalam ayat diatas juga terdapat perintah untuk membalas salam dengan yang lebih baik atau serupa dengan itu. Misalkan ada yang memberi salam dengan ucapan assalaamu ‘alaykum maka balaslah dengan yang serupa, yaitu wa’alaykumussalaam. Atau yang lebih baik dari itu, yaitu, wa’alaykumussalaam warahmatullaah, dan seterusnya.

Dari ayat yang mulia di atas dapat diketahui bahwa hukum menjawab atau membalas salam dengan lafadz yang serupa atau sama dengan apa yang diucapkan adalah fardhu atau wajib. Sedangkan membalas salam dengan lafadz yang lebih baik dari itu hukumnya adalah sunah. Dan berdosalah orang yang tidak menjawab atau membalas salam dengan lafadz yang serupa atau yang lebih baik dari itu. Karena dengan sendirinya dia telah menyalahi perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memerintahkan untuk membalas salam orang yang memberi salam kepada kita (al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat dalam kitab Al-Masaail, Masalah Kewajiban Membalas Salam).

Dari penjelasan di atas, lafadz “aslkm” bahkan “ass” dan singkatan yang sejenisnya bukan termasuk dalam kategori salam. Dan bagaimana lafadz-lafadz tersebut dapat disebut salam, sementara dalam lafadz tersebut tidak mengandung makna salam yaitu penghormatan dan do’a bagi penerima salam. Bahkan lafadz “ass”, dalam perbendaharaan kosa kata asing memiliki pengertian yang tidak sepantasnya, bahkan mengandung unsur penghinaan (wal ‘iyyadzu billah).

Adab Menulis Shalawat

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam kitab-Nya yang mulia

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Sesungguhnya Allah dan Malaikat-Malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai, orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Qs. Al-Ahzaab: 56)

Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala memuliakan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik di masa hidup maupun sepeninggal beliau. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan kedudukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di sisi-Nya dan membersihkan beliau dari tindakan atau pikiran jahat orang-orang yang berinteraksi dengan beliau.

Yang dimaksud shalawat Allah adalah puji-pujian-Nya kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan yang dimaksud shalawat para malaikat adalah do’a dan istighfar. Sedangkan yang dimaksud shalawat dari ummat beliau adalah do’a dan mengagungkan perintah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam (Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali dalam kitab Bahjatun Naadzirin Syarah Riyadhush Shalihin Bab Shalawat Kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Disunnahkan –sebagian ulama mewajibkannya– mengucapkan shalawat dan salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, setiap kali menyebut atau disebut nama beliau, yaitu dengan ucapan: “shallallahu ‘alaihi wa sallam” (al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat dalam kitab Sifat Shalawat dan Salam Kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Dalam sebuah riwayat dari Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,

البخيل من ذكرت عنده فلم يصل علي

“Orang yang bakhil (kikir/pelit) itu ialah orang yang (apabila) namaku disebut disisinya, kemudian ia tidak bershalawat kepadaku shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

(Diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal no. 1736, dengan sanad shahih)

Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali mengatakan bahwa disunnahkan bagi para penulis agar menulis shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara utuh, tidak disingkat (seperti SAW, penyingkatan dalam bahasa Indonesia – pent) setiap kali menulis nama beliau.

Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat juga mengatakan dalam kitab Sifat Shalawat dan Salam Kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa disukai apabila seseorang menulis nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka bershalawatlah dengan lisan dan tulisan.

Ketahuilah, shalawat ummat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bentuk dari sebuah do’a. Demikian pula dengan makna salam kita kepada sesama muslim. Dan do’a merupakan bagian dari ibadah. Dan tidaklah ibadah itu akan mendatangkan sesuatu selain pahala dari Allah Jalla wa ‘Ala. Maka apakah kita akan berlaku kikir dalam beribadah dengan menyingkat salam dan shalawat, terutama kepada kekasih Allah yang telah mengajarkan kita berbagai ilmu tentang dien ini?

Apakah kita ingin menjadi hamba-hamba-Nya yang lalai dari kesempurnaan dalam beribadah?

Wallahu Ta’ala a’lam bish showwab.

[dikutip dari: http://muslimah.or.id/fikih/adab-salam-dan-shalawat.html, dengan beberapa perubahan tanpa merubah makna, dan dengan penambahan lafazh aråb dalam ayat dan hadits]

Perkataan para 'ulama mengenai penyingkatan shålawat

An-Nawawi rahimahullah menjelaskan,

“Dianjurkan bagi penulis hadits apabila melalui penyebutan (nama) Allah ‘azza wa jalla agar menuliskan kata-kata ‘azza wa jalla (yang maha perkasa lagi mulia) atau ta’ala (yang maha tinggi), atau subhanahu wa ta’ala (yang maha suci lagi tinggi), atau tabaraka wa ta’ala (penuh berkah dan maha tinggi), atau jalla dzikruhu (yang mulia sebutannya), atau tabarakasmuhu (pemilik nama yang penuh berkah), atau jallat ‘azhamatuhu (maha mulia kebesarannya), atau yang serupa dengannya."

"Begitu pula hendaknya menuliskan kata-kata shallallahu ‘alaihi wa sallam secara sempurna ketika menyebutkan nama Nabi (Muhammad), tidak dengan menyingkatnya, dan tidak pula mencukupkan diri pada salah satunya (salam atau shalawat saja).”

“Demikian pula dikatakan radhiyallahu’anhu ketika menyebut nama Sahabat. Apabila Sahabat itu anak dari Sahabat yang lain, maka dikatakan radhiyallahu’anhuma. Hendaknya juga mendoakan keridhaan dan rahmat bagi segenap ulama dan orang-orang baik/salih."

"Hendaknya semua ucapan tersebut ditulis, meskipun dalam naskah aslinya tidak tertulis, karena hal ini bukan termasuk periwayatan, namun sekedar doa. Orang yang membaca (hadits) juga hendaknya membaca setiap ucapan yang telah kami sebutkan tadi, meskipun di dalam teks yang dibacanya doa-doa tersebut tidak disebutkan"

" Janganlah dia merasa bosan mengulang-ulanginya. Barangsiapa yang lalai melakukannya niscaya akan terhalang meraih kebaikan yang amat besar dan kehilangan keutamaan yang sangat agung.” (Muqadimah Syarh Muslim, 1/204).

Dikisahkan oleh As-Suyuthi rahimahullah di dalam Tadribu Ar-Rawi bahwa orang yang pertama kali menuliskan shad-lam-’ain-mim dihukum dengan dipotong tangannya [!!]

(Dinukil dari Ma’alim fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 249, http://abumushlih.com/untuk-para-penulis.html/)

Ibnu Shalah dalam Ulumul-Hadits berkata:

”Bagi orang yang menulis hadits, diharuskan untuk memberikan shalawat dan salam pada saat dia menyebutkan nama Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam. Dia dituntut untuk tidak bosan dalam mengulang-ulang jika dia berulangkali menyebut kan nama Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam. Karena hal itu merupakan faedah yang terbesar bagi orang-orang yang menuntut ilmu hadits dan orang-orang yang menulisnya. Dan barangsiapa yang lalai akan hal itu, maka dia pada saat itu telah menghilangkan keberuntungan yang sangat besar......” (Ulumul Hadits li Ibni Shalah halaman 41 menurut tartib donlotan maktabah sahab).

Selanjutnya beliau mengatakan menyebutkan dua kebiasaan yang SALAH dalam penulisan shalawat dan salam terhadap Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam yang HARUS DIJAUHI oleh para penulis hadits :

Pertama: Menulisnya dengan tulisan yang kurang (menyingkat) dengan dua huruf atau yang semisalnya [misalnya dia hanya menulisnya dengan dua huruf Shad dan Mim atau lainnya = atau dalam tulisan kita : SAW – Abu Al-Jauzaa’].

Kedua: Menulisnya dengan tulisan yang maknanya berkurang. Misalnya menulisnya dengan : Wasallam. Meskipun kita kadang-kadang menemuinya di dalam tulisan ulama-ulama terdahulu”

[idem]

[dikutip dari komentar abul jauzaa dalam salah satu artikel di website salafyitb]

Al-Fairuz-Abadi berkata dalam Ash-Shalatu wal-Basyar:

”Tidak seharusnya tulisan shalawat itu mempunyai rumus-rumus tertentu, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang-orang yang malas, orang-orang yang bodoh, dan murid-murid yang awam. Mereka menulis shallallaahu ’alaihi wasallam dengan tulisan ”Shal’am” [صلعم]. Untuk itulah, maka tulisan dan bacaan shalawat harus ditulis dan dibaca dengan lengkap, tidak boleh dikurang-kurangi”.

[idem]

Fatwa-Fatwa 'Ulama Mengenai Penyingkatan Shålawat

Fatwa Al Lajnah Ad-Daimah (Dewan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia)

Soal:

Bolehkah menulis huruf ص yang maksudnya shalawat (ucapan shallallahu ‘alaihi wasallam). Dan apa alasannya?

Jawab:

Yang disunnahkan adalah menulisnya secara lengkap –shallallahu ‘alaihi wasallam- karena ini merupakan doa. Doa adalah bentuk ibadah, begitu juga mengucapkan kalimat shalawat ini.

Penyingkatan terhadap shalawat dengan menggunakan huruf – ص atau ص- ع – و (seperti SAW, penyingkatan dalam Bahasa Indonesia -pent) tidaklah termasuk doa dan bukanlah ibadah, baik ini diucapkan maupun ditulis.

Dan juga karena penyingkatan yang demikian tidaklah pernah dilakukan oleh tiga generasi awal Islam yang keutamaannya dipersaksikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Wabillahit taufiq, dan semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga serta para sahabat beliau.

Dewan Tetap untuk Penelitian Islam dan Fatwa

Ketua: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ibn Abdullaah Ibn Baaz;
Anggota: Syaikh ‘Abdur-Razzaaq ‘Afifi;
Anggota: Syaikh ‘Abdullaah Ibn Ghudayyaan;
Anggota: Syaikh ‘Abdullaah Ibn Qu’ood

(Fataawa al-Lajnah ad-Daa.imah lil-Buhooth al-’Ilmiyyah wal-Iftaa, – Volume 12, Halaman 208, Pertanyaan ke-3 dari Fatwa No.5069)

[Diterjemahkan dari http://fatwa-online.com/fataawa/miscellaneous/enjoiningthegood/0020919.htm untuk http://ulamasunnah.wordpress.com]

Fatwa Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullåh

Soal:

“Sebagian orang menulis huruf “ص” di antara dua tanda kurung yang mereka maksudkan dengan itu sebagai simbol dari kalimat shallallaahu ‘alaihi wa sallam (صلى الله عليه وسلم). Apakah hal ini dapat dibenarkan menulis huruf “ص” sebagai simbol dalam penulisan shalawat ?

Jawab:

Termasuk bagian dari adab-adab menulis hadits sebagaimana dijelaskan oleh para ‘ulama mushthalah (hadits), adalah tidak menyingkat penulisan kalimat shalawat dengan huruf “ص”. Begitu pula tidak dituliskan dengan singkatan “صلعم" [Atau dalam bahasa Indonesia sering ditulis dengan singkatan “SAW” -abul jauzaa]. Tidak diragukan lagi bahwasannya penulisan simbol atau singkatan akan menyebabkan seseorang luput dari pahala bershalawat kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Apabila ia menulis kalimat shalawat dan kemudian ada orang yang membaca tulisan tersebut, maka Penulis pertama akan mendapatkan pahala sebagaimana pahala orang yang membacanya. Tidaklah samar bagi kita apa yang disabdakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara shahih :

“Barangsiapa yang bershalawat kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam satu kali, maka Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali”

[Shahih; diriwayatkan oleh Muslim no. 384, Abu Dawud no. 523, dan An-Nasa’i no. 678 (tambahan takhrij hadits dari abul jauzaa)]

Tidak sepatutnya bagi seorang mukmin untuk menghalangi dirinya perolehan pahala dan ganjaran akibat ketergesa-gesaannya untuk menyelesaikan apa yang akan ia tulis (dari kalimat shalawat).

[Diambil dan diterjemahkan dari Kitaabul-‘Ilmi karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, pertanyaan no. 72, hal. 128-129, tahqiq : Shalaahuddin Mahmuud; Maktabah Nuurul-Hudaa, http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/03/fatwa-asy-syaikh-ibnu-utsaimin.html].

Fatwa asy-Syaikh Wasiyullah Abbas (Ulama Masjidil Haram, pengajar di Ummul Qura)

Soal:

Banyak orang yang menulis salam dengan menyingkatnya, seperti dalam Bahasa Arab mereka menyingkatnya dengan س- ر-ب. Dalam bahasa Inggris mereka menyingkatnya dengan “ws wr wb” (dan dalam bahasa Indonesia sering dengan “ass wr wb” – pent). Apa hukum masalah ini?

Jawab:

Tidak boleh untuk menyingkat salam secara umum dalam tulisan, sebagaimana tidak boleh pula menyingkat shalawat dan salam atas Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak boleh pula menyingkat yang selain ini dalam pembicaraan.

[Diterjemahkan dari www.bakkah.net untuk http://ulamasunnah.wordpress.com]
 
http://www.facebook.com/home.php?filter=lf#/notes/abu-zuhriy-al-gharantaliy/adab-dalam-menuliskan-pujian-kepada-allah-sbnh-wtly-shalawat-kepada-rasulullah-l/275091892076

Selasa, 26 Januari 2010

HUKUM MENYEMIR RAMBUT

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma'in.
Setelah kita mengetahui hukum mencabut uban, berikut ini adalah pembahasan mengenai menyemir uban dan menyemir rambut secara umum. Semoga Allah memudahkan kami untuk menjelaskan hal ini dan semoga para pembaca dimudahkan untuk memahaminya.

Ubahlah Uban Untuk Menyelisihi Ahli Kitab

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat memerintahkan kita untuk menyelisihi ahli kitab di antaranya adalah dalam masalah uban.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


إِنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى لَا يَصْبُغُونَ فَخَالِفُوهُمْ

Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak menyemir uban mereka, maka selisilah mereka.” (Muttafaqun ‘alaihi, HR. Bukhari dan Muslim)

Manakah yang lebih utama antara membiarkan uban ataukah mewarnainya?
Al Qodhi ‘Iyadh mengatakan, “Para ulama salaf yakni sahabat dan tabi’in berselisih pendapat mengenai masalah uban. Sebagian mereka mengatakan bahwa lebih utama membiarkan uban (daripada mewarnainya) karena terdapat hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai larangan mengubah uban [Namun hadits yang menyebutkan larangan ini adalah hadits yang mungkar atau dho’if, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah].

... Sebagian mereka berpendapat pula bahwa lebih utama merubah uban (daripada membiarkannya). Sehingga di antara mereka mengubah uban karena terdapat hadits mengenai hal ini. ” (Nailul Author, 1/144, Asy Syamilah).


Jadi dapat kita katakan bahwa mewarnai uban lebih utama daripada tidak mewarnainya berdasarkan pendapat sebagian ulama. Adapun pendapat yang mengatakan lebih utama membiarkan uban daripada mewarnainya, maka ini adalah pendapat yang lemah karena dibangun di atas hadits yang lemah.

Ubahlah Uban dengan Pacar dan Inai

Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


إِنَّ أَحْسَنَ مَا غَيَّرْتُمْ بِهِ الشَّيْبَ الْحِنَّاءُ وَالْكَتَمُ

Sesungguhnya bahan yang terbaik yang kalian gunakan untuk menyemir uban adalah hinna’ (pacar) dan katm (inai).” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan An Nasa’i. Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Hal ini menunjukkan bahwa menyemir uban dengan hinna’ (pacar) dan katm (inai) adalah yang paling baik. Namun boleh juga menyemir uban dengan selain keduanya yaitu dengan al wars (biji yang dapat menghasilkan warna merah kekuning-kuningan) dan za’faron. Sebagaimana sebagian sahabat ada yang menyemir uban mereka dengan kedua pewarna yang terakhir ini.

Abu Malik Asy-ja’iy dari ayahnya, beliau berkata,

كَانَ خِضَابُنَا مَعَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْوَرْسَ وَالزَّعْفَرَانَ

“Dulu kami menyemir uban kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan wars dan za’faron”. (HR. Ahmad dan Al Bazzar. Periwayatnya adalah periwayat kitab shahih selain Bakr bin ‘Isa, namun dia adalah tsiqoh –terpercaya-. Lihat Majma’ Az Zawa’id)

Al Hakam bin ‘Amr mengatakan,

دَخَلْتُ أَنَا وَأَخِي رَافِعٌ عَلَى أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ عُمَرَ ، وَأَنَا مَخْضُوبٌ بِالْحِنَّاءِ ، وَأَخِي مَخْضُوبٌ بِالصُّفْرَةِ ، فَقَال عُمَرُ : هَذَا خِضَابُ الإِْسْلاَمِ . وَقَال لأَِخِي رَافِعٍ : هَذَا خِضَابُ الإِْيمَانِ

“Aku dan saudaraku Rofi’ pernah menemui Amirul Mu’minin ‘Umar (bin Khaththab). Aku sendiri menyemir ubanku dengan hinaa’ (pacar). Saudaraku menyemirnya dengan shufroh (yang menghasilkan warna kuning). ‘Umar lalu berkata: Inilah semiran Islam. ‘Umar pun berkata pada saudaraku Rofi’: Ini adalah semiran iman.” (HR. Ahmad. Di dalamnya ada ‘Abdurrahman bin Habib. Ibnu Ma’in mentsiqohkannya. Ahmad mendho’ifkannya. Namun periwayat lainnya adalah periwayat yang tsiqoh. Lihat Majma’ Az Zawa’id)

Diharamkan Menyemir Uban dengan Warna Hitam

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, ”Pada hari penaklukan Makkah, Abu Quhafah (ayah Abu Bakar) datang dalam keadaan kepala dan jenggotnya telah memutih (seperti kapas, artinya beliau telah beruban). Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


غَيِّرُوا هَذَا بِشَيْءٍ وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ

Ubahlah uban ini dengan sesuatu, tetapi hindarilah warna hitam.” (HR. Muslim). Ulama besar Syafi’iyah, An Nawawi membawakan hadits ini dalam Bab “Dianjurkannya menyemir uban dengan shofroh (warna kuning), hamroh (warna merah) dan diharamkan menggunakan warna hitam”.
Ketika menjelaskan hadits di atas An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Menurut madzhab kami (Syafi’iyah), menyemir uban berlaku bagi laki-laki maupun perempuan yaitu dengan shofroh (warna kuning) atau hamroh (warna merah) dan diharamkan menyemir uban dengan warna hitam menurut pendapat yang terkuat. Ada pula yang mengatakan bahwa hukumnya hanyalah makruh (makruh tanzih). Namun pendapat yang menyatakan haram lebih tepat berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “hindarilah warna hitam”. Inilah pendapat dalam madzhab kami.”

Adapun ancaman bagi orang yang merubahnya dengan warna hitam disebutkan dalam hadits berikut.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَكُونُ قَوْمٌ يَخْضِبُونَ فِي آخِرِ الزَّمَانِ بِالسَّوَادِ كَحَوَاصِلِ الْحَمَامِ لَا يَرِيحُونَ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ

Pada akhir zaman nanti akan muncul suatu kaum yang bersemir dengan warna hitam seperti tembolok merpati. Mereka itu tidak akan mencium bau surga.” (HR. Abu Daud, An Nasa’i, Ibnu Hibban dalam shahihnya, dan Al Hakim. Al Hakim mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib mengatakan bahwa hadits ini shahih). Karena dikatakan tidak akan mencium bau surga, maka perbuatan ini termasuk dosa besar. (Lihat Al Liqo’ Al Bab Al Maftuh, 60/23, 234/27)

Sebenarnya jika menggunakan katm (inai) akan menghasilkan warna hitam, jadi sebaiknya katm tidak dipakai sendirian namun dicampur dengan hinaa’ (pacar), sehingga warna yang dihasilkan adalah hitam kekuning-kuningan. Lalu setelah itu digunakan untuk menyemir rambut. (Lihat Al Liqo’ Al Bab Al Maftuh, 234/27)

Bolehkah menggunakan jenis pewarna lainnya –selain inai dan pacar, inai saja, za’faron dan wars- untuk mengubah uban semacam dengan pewarna sintetik? Jawabannya: boleh karena yang penting adalah tujuannya tercapai yaitu merubah warna uban selain dengan warna hitam. Sebagaimana keumuman hadits:

غَيِّرُوا هَذَا بِشَيْءٍ وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ

Ubahlah uban ini dengan sesuatu, tapi hindarilah warna hitam.” (HR. Muslim). Di sini menggunakan kata syaa-i’, bentuk nakiroh, yang menunjukkan mutlak (baca: umum). Namun kalau pewarna tersebut tidak menyerap ke rambut, malah membentuk lapisan tersendiri di kulit rambut, maka pewarna semacam ini harus dihindari karena dapat menyebabkan air tidak masuk ke kulit rambut ketika berwudhu sehingga dapat menyebabkan wudhu tidak sah. Wallahu a’lam.

Bagaimana Jika Menyemir Uban Dengan Warna Hitam Untuk Membuat Penampilan Lebih Menarik?

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsamin pernah ditanyakan mengenai menyemir jenggot atau rambut kepala dengan warna hitam, apakah dibolehkan?

Syaikh rahimahullah menjawab:
Menyemir jenggot atau rambut kepala dengan warna hitam, maka aku katakan semuanya adalah haram. Alasannya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ubahlah uban ini dengan sesuatu, tapi hindarilah warna hitam”. Juga dalam masalah ini terdapat dalil dalam kitab sunan yang menunjukkan ancaman bagi orang yang menyemir ubannya dengan warna hitam.
Kemudian yang bertanya kembali berkata: Apakah tidak boleh juga kalau maksudnya adalah untuk mempercantik diri?
Syaikh rahimahullah menjawab:
Umumnya yang mewarnai ubannya dengan warna hitam, tujuannya adalah untuk mempercantik diri, agar terlihat lebih muda. Kalau tidak demikian, lalu apa tujuannya?! Perbuatan semacam ini hanya akan membuang-buang waktu dan harta. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, 1/5, Mawqi’ Asy Syabkah Al Islamiyah)

Bagaimana Jika yang Masih Muda Muncul Uban, Bolehkah Diubah (Disemir)?

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin ditanyakan: “Seorang pemuda sudah nampak padanya uban. Dia ingin merubah uban tersebut dengan warna hitam. Bagaimana hukum mengenai hal ini?”
Syaikh rahimahullah menjawab: Ini termasuk mengelabui (tadlis). Seseorang yang ingin menikah, lalu di kepalanya terdapat uban sedangkan dia masih muda, maka melakukan semacam ini termasuk mengelabui (tadlis). Akan tetapi kami katakan bahwa yang lebih utama jika dia ingin mengubah ubannya tadi, maka gunakanlah warna selain hitam. Dia boleh mencampur hina’ (pacar) dan katm (inai), lalu dia gunakan untuk menyemir ubannya. Pada saat ini, tidak nampak lagi uban. Bahkan perbuatan ini adalah termasuk ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu merubah uban dengan warna selain hitam. Adapun merubah uban tadi dengan warna hitam, maka yang benar hal ini termasuk perbuatan yang diharamkan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita menjauhi warna hitam ketika akan menyemir rambut, bahkan terdapat ancaman yang sangat keras mengenai hal ini dalam sabda beliau. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, 188/23)

Bagaimana Hukum Menyemir (Memirang) Rambut yang Semula Berwarna Hitam Menjadi Warna Lain?

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin pernah ditanyakan, “Apakah boleh merubah rambut wanita yang semula berwarna hitam disemir menjadi warna selain hitam misalnya warna merah?”

Syaikh rahimahullah menjawab:
Jawaban dari pertanyaan mengenai menyemir rambut wanita yang berwarna hitam menjadi warna selainnya, ini dibangun di atas kaedah penting. Kaedah tersebut yaitu hukum asal segala adalah halal dan mubah. Inilah kaedah asal yang mesti diperhatikan. Misalnya seseorang mengenakan pakaian yang dia suka atau dia berhias sesuai dengan kemauannya, maka syari’at tidak melarang hal ini. Menyemir misalnya, hal ini terlarang secara syar’i karena terdapat hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ubahlah uban, namun jauhilah warna hitam”. Jika seseorang merubah uban tersebut dengan warna selain hitam, maka inilah yang diperintahkan sebagaimana merubah uban dengan hinaa’ (pacar) dan katm (inai). Bahkan perkara ini dapat termasuk dalam perkara yang didiamkan (tidak dilarang dan tidak diperintahkan dalam syari’at, artinya boleh -pen).

Oleh karena itu, kami dapat merinci warna menjadi 3 macam:
Pertama adalah warna yang diperintahkan untuk digunakan seperti hinaa’ untuk merubah uban.
Kedua adalah warna yang dilarang untuk digunakan seperti warna hitam untuk merubah uban.
Ketiga adalah warna yang didiamkan (tidak dikomentari apa-apa). Dan setiap perkara yang syari’at ini diamkan, maka hukum asalnya adalah halal .

Berdasarkan hal ini, kami katakan bahwa hukum mewarnai rambut untuk wanita (dengan warna selain hitam) adalah halal. Kecuali jika terdapat unsur merubah warna rambut tersebut untuk menyerupai orang-orang kafir, maka di sini hukumnya menjadi tidak diperbolehkan. Karena hal ini termasuk dalam masalah tasyabbuh (menyerupai) orang kafir, sedangkan hukum tasyabuh dengan orang kafir adalah haram. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ [1/269] mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus)
Yang namanya tasyabbuh (menyerupai orang kafir) termasuk bentuk loyal (wala’) pada mereka. Sedangkan kita diharamkan memberi loyalitas (wala’) pada orang kafir. Jika kaum muslimin tasyabbuh dengan orang kafir, maka boleh jadi mereka (orang kafir) akan mengatakan, “Orang muslim sudah pada nurut kami.” Sehingga dengan ini, orang-orang kafir tersebut menjadi senang dan bangga dengan kekafiran yang mereka miliki. Dan perlu diketahui pula bahwa orang yang sering meniru tingkah laku atau gaya orang kafir, mereka akan selalu menganggap dirinya lebih rendah daripada orang kafir. Oleh karena itu, mereka akan selalu mengikuti jejak orang kafir tersebut.

Juga dapat kita katakan bahwa tasyabbuh seorang muslim dengan orang kafir saat ini adalah bagian dari loyal kepada mereka dan bentuk kehinaaan di hadapan mereka.

Juga dapat kita katakan bahwa tasyabbuh dengan orang orang kafir termasuk bentuk kekufuran karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”. Oleh karena itu, jika seorang wanita menyemir rambut dengan warna yang menjadi ciri khas orang kafir, maka menwarnai (menyemir) rambut di sini menjadi haram karena adanya tasyabbuh.” (Al Liqo’ Al Bab Al Maftuh, 15/20)

Namun ada penjelasan lain dari Syaikh Sholeh bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan. Beliau hafizhohullah mengatakan,
“Adapun mengenai seorang wanita mewarnai rambut kepalanya yang masih berwarna hitam menjadi warna lainnya, maka menurutku hal ini tidak diperbolehkan. Karena tidak ada alasan bagi wanita tersebut untuk mengubahnya. Karena warna hitam pada rambut sudah menunjukkan keindahan dan bukanlah suatu yang jelek (aib). Mewarnai rambut semacam ini juga termasuk tasyabbuh (menyerupai orang kafir).” (Tanbihaat ‘ala Ahkamin Takhtashshu bil Mu’minaat, hal. 14, Darul ‘Aqidah)

Jika kita melihat dari dua penjelasan ulama di atas, maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa hukum menyemir rambut, jika ada hajat semacam sudah beruban, maka pada saat ini dibolehkan bahkan diperintahkan. Namun apabila rambut masih dalam keadaan hitam, lalu ingin disemir (dipirang) menjadi warna selain hitam, maka hal ini seharusnya dijauhi. Kenapa kita katakan dijauhi?

Jawabannya adalah karena mewarnai rambut yang semula hitam menjadi warna lain biasanya dilakukan dalam rangka tasyabbuh (meniru-niru) orang kafir atau pun meniru orang yang gemar berbuat maksiat (baca: orang fasik) semacam meniru para artis. Inilah yang biasa terjadi. Apalagi kita melihat bahwa orang yang bagus agamanya tidak pernah melakukan semacam ini (yakni memirang rambutnya). Jadi perbuatan semacam ini termasuk larangan karena rambut hitam sudahlah bagus dan tidak menunjukkan suatu yang jelek. Jadi tidak perlu diubah. Juga melakukan semacam ini termasuk dalam pemborosan harta. Wallahu a’lam bish showab.
Demikian pembahasan yang kami sajikan mengenai uban dan menyemir rambut. Semoga pembahasan kali ini bisa menjadi ilmu yang bermanfaat bagi kita semua.

Semoga Allah selalu memberikan kita ketakwaan dan memberi kita taufik untuk menjauhkan diri dari yang haram.


Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
****

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.com

Tulisan kami di masa silam, 29 Rabi’ul Awwal 1430 H dan telah dimuroja'ah oleh guru kami (Ustadz Aris Munandar -semoga Allah selalu menjaga beliau-).

Selasa, 19 Januari 2010

HUKUM ALKOHOL : Najiskah Alkohol? Sahkah Sholat karena menggunakan deodoran beralkohol? Bolehkah Digunakan dalam Parfum, Minyak Wangi, Kosmetika, Obat dan Peralatan Medis?

HUKUM ALKOHOL : Najiskah Alkohol? Sahkah Sholat karena menggunakan deodoran beralkohol? Bolehkah Digunakan dalam Parfum, Minyak Wangi, Kosmetika, Obat dan Peralatan Medis? 


Berikut ini kami kumpulkan beberapa tulisan dan penjelasan Asatidz yang membawakan Fatwa Ulama Ahlussunnah mengenai pembahasan HUKUM ALKOHOL, baik digunakan dalam parfum, kosmetika, obat maupun untuk desinfektan peralatan medis.
1. Hukum Obat dan Parfum Beralkohol

2. Najiskah Alkohol

3. Alkohol Dalam Obat dan Parfum
Semoga Bermanfaat.
————-

Hukum Obat dan Parfum Beralkohol

Penulis : Al-Ustadz Abu Muawiah Hammad

Pertanyaan:
Apa hukum menggunakan obat-obatan dan wangi-wangian yang mengandung alkohol?
Abu Abdil Aziz (0815209????)

Jawab:
Adapun hukum alkohol dijadikan campuran obat atau wangi-wangian, maka berikut jawaban dari Syaikh Yahya Al-Hajuri dan Syaikh Abdurrahman Al-Mar’i:
Syaikh Yahya bin ‘Ali Al-Hajury -hafizhohullah- menjawab dengan nash sebagai berikut:
“Apabila alkohol tersebut sedikit dan larut di dalamnya sehingga tidak meninggalkan bekas sama sekali apalagi memberikan efek atau pengaruh maka itu tidaklah mengapa. Adapun apabila alkohol tersebut terdapat di dalam obat sehingga memberikan pengaruh terhadap pemakai apakah karena dosisnya di dalam obat tersebut 50% atau kurang maka hukumnya tidak boleh”.
Permasalahan ini juga telah ditanyakan kepada Syaikh ‘Abdurrahman bin ‘Umar bin Mar’iy Al-’Adany yang diberi gelar oleh Syaikh Yahya sebagai Faqihud Dar .
Beliau menjawab semakna dengan jawaban Syaikh Yahya di atas dan beliau menambahkan, “Dan itu sama seperti air yang masuk ke dalamnya beberapa tetes urine (air seni). Apabila air tersebut berubah dari asalnya maka air tersebut menjadi najis dan apabila air seni tersebut tidak mengubah dan tidak memberikan pengaruh terhadapnya maka air tersebut tetap pada hukum asalnya”.

Dan beliau (Syaikh ‘Abdurrahman) juga pernah ditanya dengan nash pertanyaan berikut:
“Darimana kita bisa mengetahui bahwa alkohol tersebut sudah terurai dengan zat yang lain ?”

Beliau menjawab:
“(Diketahui) dengan salah satu dari dua perkara (berikut) :
1. Kita menerapkan kaidah yang berbunyi “Apa-apa yang dalam jumlah banyak memabukkan maka dalam jumlah sedikit juga haram”. Maka minyak wangi ini (yang bercampur dengan alkohol-pent.) jika dalam jumlah banyak bisa memabukkan maka dalam jumlah kecil juga tidak boleh menjualnya, tidak boleh membelinya, dan tidak boleh menggunakannya. Dan yang nampak bahwa hal tersebut berjenjang, karena di antara minyak wangi ini ada yang terdapat alkohol di dalamnya dengan kadar 15 %, di antaranya ada yang 2 % dan di antaranya ada yang 6 %, yang jelas inilah kaidah yang difatwakan oleh para ulama.

2. Dengan meneliti minyak wangi ini melalui cara-cara penelitian modern. Jika diketahui dengannya bahwa alkohol ini tidak menyatu dengan zat minyak wangi maka boleh menggunakannya, jika tidak diketahui maka tidak (boleh).
(Adapun) Obat-obatan yang mengandung alkohol, maka rinciannya seperti rincian pada minyak wangi (di atas).
Dan yang nasihatkan adalah meninggalkan penggunaan minyak wangi dan obat-obatan yang terdapat alkohol di dalamnya”.
Sumber : http://al-atsariyyah.com/?p=284
* * *

Najiskah Alkohol?

Penulis : Al-Ustadz Abu Muawiah Hammad

Tanya:
Bismillah,
Ustadz sahkah shalat seseorang sedangkan orang itu memakai deodorant yang mengandung alkohol?
“Ummahat”

Jawab:
Sebenarnya masalah ini dipermasalahkan oleh sebagian orang karena mengira alcohol itu adalah khamar sementara khamar itu adalah najis, karenanya tidak boleh membawa benda beralkohol di dalam shalat.
Hanya saja telah kami jelaskan sebelumnya bahwa alcohol itu tidak identik dengan khamar, karena alcohol hanya menjadi khamar (memabukkan) ketika mencapai ukuran tertentu. Silakan baca keterangannya di sini: http://al-atsariyyah.com/?p=284

Kalaupun anggaplah alcohol itu khamar, maka harus dibahas lagi apakah khamar itu betul najis, dan yang benarnya bahwa khamar bukanlah najis. Ini adalah pendapat Al-Muzani dari Asy-Syafi’iyah dan Daud Azh-Zhahiri. Mereka berdalilkan dengan hadits Anas ketika beliau menceritakan kisah pengharaman khamar awal kali:
فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُنَادِيًا يُنَادِي أَلَا إِنَّ الْخَمْرَ قَدْ حُرِّمَتْ قَالَ فَقَالَ لِي أَبُو طَلْحَةَ اخْرُجْ فَأَهْرِقْهَا فَخَرَجْتُ فَهَرَقْتُهَا فَجَرَتْ فِي سِكَكِ الْمَدِينَةِ
“Kemudian Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan seorang penyeru untuk menyerukan bahwa khamar telah diharamkan”. Anas berkata, “Maka Abu Tholhah berkata kepadaku, “Keluar dan tumpahkanlah”. Maka aku keluar lalu aku tumpahkan. Maka khamar mengalir di jalan-jalan kota Madinah.” (HR. Al-Bukhari no. 2884, 4254 dan Muslim no. 3662)

Imam Al-Bukhari memberikan judul bab pada tempat yang pertama: Bab Menumpahkan Khamar di Jalan. Sisi pendalilan dari hadits ini bahwa khamar bukanlah najis adalah karena khamar-khamar tersebut di buang ke jalanan, sementara telah ada larangan dari Nabi -alaihishshalatu wassalam- untuk membuang najis di jalan yang dilalui oleh kaum muslimin, jadi khamar tidak mungkin najis.
Sisi pendalilan yang kedua bahwa Nabi -alaihishshalatu wassalam- tidak memerintahkan mereka untuk mencuci bejana-bejana bekas penyimpanan khamar mereka, seandainya dia najis maka tentunya tempat penyimpanannya harus dicuci. Jika ada yang mengatakan bahwa perintahnya diundurkan, maka kita katakan bahwa itu bertentangan dengan sifat amanah Nabi -alaihishshalatu wassalam-, karena seorang nabi tidak boleh mengundurkan penjelasan sesuatu dari waktu penjelasan itu dibutuhkan. Dan di sini mereka sangat membutuhkan penjelasan tersebut karena mereka akan segera memakai bejana mereka, wallahu a’lam.

Jadi, khamar bukanlah najis dan inilah pendapat yang dikuatkan oleh Asy-Syaukani dan Ash-Shan’ani -rahimahumallah-. Hanya saja perlu diingatkan bahwa kewajiban seorang muslim ketika melihat khamar adalah menumpahkannya (jika dia berhak melakukannya) sebagaimana perbuatan para sahabat di atas. Karenanya walaupun dia bukan najis, akan tetapi seorang muslim tidak boleh membawanya apalagi memasukkannya ke dalam rumahnya.

Kesimpulannya: Tidak mengapa memakai parfum atau deodorant yang mengandung alcohol dan shalatnya tidak makruh sama sekali, karena dia bukanlah khamar. Wallahu Ta’ala a’lam.


Pertanyaan :
afwan ustadz,cm ingin meluruskan sedikit. dari apa yg pernah ana pelajari dr ilmu kimia, bahwa alkohol itu adalah komponen utama dlm khamar. jadi, suatu cairan/minuman itu bisa mengakibatkan mabuk apabila didalamnya ada alkohol dg kadar tertentu. untuk itu badan POM sendiri telah mengelompokkan minuman keras dlm bbrp kategori. misal: miras kategori A itu kadar alkoholnya maksimal 5%, kategori B kadar alkohol 5-10% dst. allahu a’lamJawab : Syah-syah saja kalau setiap khamar mengandung alkokohol, akan tetapi yang kita pertanyakan: Apakah semua alkohol adalah khamar?

Tentu tidak karena banyak sekali makanan di sekitar kita yang mengandung alkohol, sebut saja di antaranya tape, durian, nasi, dan semacamnya yang dalam pembuatan terdapat proses pembentukan alkohol.


Tidak ada satupun dalil dari Alkitab dan sunnah yang mengharamkan alkohol, akan tetapi yang ada hanya pengharam khamar, yaitu semua segala sesuatu yang memabukkan. Jadi khamar diharamkan karena dia memabukkan, bukan karena dia mengandung alkohol. Karenanya para ulama mengharamkan ganja dan teman-temannya dengan dalil bahwa dia termasuk khamar, padahal di dalamnya tidak mengandung alkohol.

Sebagian ustadz mengabarkan kepada kami bahwa LPPOM MUI memberikan kadar maksimal 2 %, yakni jika kurang dari itu maka tidak dianggap haram.
Intinya, tidak semua alkohol adalah khamar, akan tetapi dia berubah menjadi khamar ketika mencapai ukuran tertentu, wallahu a’lam.



Pertanyaan :
ust, apakah ini tdk bertentangan dengan artikel jawaban atas pertanyaan :hukum parfum berakohol?  http://al-atsariyyah.com/?p=284karena dinasehatkan untuk meninggalkan minyak wangi yang mengandung alkohol.
mohon penjelasan..

Jawab : Sebelumnya kami ingatkan bahwa itu jawaban pada artikel ‘hukum parfum berakohol’ adalah jawaban dari Asy-Syaikh Abdurrahman Al-Mar’i.
Insya Allah tidak bertentangan. Hal itu karena ada sebagian ulama lain di antara
Asy-Syaikh Ibnu Baz dan Asy-Syaikh Muqbil yang melarang alkohol secara mutlak. Maka nasehat Asy-Syaikh Abdurrahman untuk meninggalkan parfum yang beralkohol adalah saran agar untuk keluar dari lingkup perbedaan pendapat di kalangan ulama, dan bukan merupakan larangan untuk menggunakannya.
Karena sebagaimana yang telah diketahui bahwa beliau tidak mengharamkan alkohol secara mutlak, dan sesuatu yang tidak haram tidak ada alasan untuk meninggalkannya kecuali dari sisi afdhaliah (yang paling afdhal) atau wara` (berhati-hati). Wallahu a’lam.
Sumber : http://al-atsariyyah.com/?p=1553
* * *

Alkohol dalam Obat dan Parfum

Penulis: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari
Banyak pertanyaan seputar alkohol yang masuk ke meja redaksi, kaitannya dengan obat, kosmetika, atau pun lainnya. Berikut ini penjelasan Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari
Alhamdulillah, para ulama besar abad ini telah berbicara tentang permasalahan alkohol1, maka di sini kita nukilkan fatwa-fatwa mereka sebagai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.

Terdapat perbedaan ijtihad di antara mereka dalam memandang permasalahan ini. Asy-Syaikh Ibnu Baz Rahimahullah berpendapat bahwa sesuatu yang telah bercampur dengan alkohol tidak boleh dimanfaatkan, meskipun kadar alkoholnya rendah, dalam arti tidak mengubahnya menjadi sesuatu yang memabukkan. Karena hal ini tetap masuk dalam hadits

مَا أَسْكَرَ كَثِيْرُهُ فَقَلِيْلُهُ حَرَامٌ

“Sesuatu yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnyapun haram.”2

Ketika beliau ditanya tentang obat-obatan yang sebagiannya mengandung bahan pembius dan sebagian lainnya mengandung alkohol, dengan perbandingan kadar campuran yang beraneka ragam, maka beliau menjawab: “Obat-obatan yang memberi rasa lega dan mengurangi rasa sakit penderita, tidak mengapa digunakan sebelum dan sesudah operasi. Kecuali jika diketahui bahwa obat-obatan tersebut dari “Sesuatu yang banyaknya memabukkan” maka tidak boleh digunakan berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam:

مَا أَسْكَرَ كَثِيْرُهُ فَقَلِيْلُهُ حَرَامٌ

“Sesuatu yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnyapun haram.”

Adapun jika obat-obatan itu tidak memabukkan dan banyaknya pun tidak memabukkan, hanya saja berefek membius (menghilangkan rasa) untuk mengurangi beban rasa sakit penderita maka yang seperti ini tidak mengapa.”(Majmu’ Fatawa, 6/18)

Juga ketika beliau ditanya tentang parfum yang disebut
الْكُلُوْنِيَا
(cologne), beliau berkata: “Parfum family:traditional arabic’>
الْكُلُوْنِيَا

(cologne) yang mengandung alkohol tidak boleh (haram) untuk digunakan. Karena telah tetap (jelas) di sisi kami berdasarkan keterangan para dokter yang ahli di bidang ini bahwa parfum jenis tersebut memabukkan karena mengandung “spiritus” yang dikenal. Oleh sebab itu, haram bagi kaum lelaki dan wanita untuk menggunakan parfum jenis tersebut…

Kalau ada parfum jenis cologne yang tidak memabukkan maka tidak haram menggunakannya. Karena hukum itu berputar sesuai dengan ‘illah-nya3, ada atau tidaknya ‘illah tersebut (kalau ‘illah itu ada pada suatu perkara maka perkara itu memiliki hukum tersebut, kalau tidak ada maka hukum itu tidak berlaku padanya).” (Majmu’ Fatawa , 6/396 dan 10/38-39)

Dan yang lebih jelas lagi adalah jawaban beliau pada Majmu’ Fatawa (5/382, dan 10/41) beliau berkata: ”Pada asalnya segala jenis parfum dan minyak wangi yang beredar di khalayak manusia hukumnya halal. Kecuali yang diketahui mengandung sesuatu yang merupakan penghalang untuk menggunakannya, karena ‘sesuatu’ itu memabukkan atau banyaknya memabukkan atau karena ‘sesuatu’ itu adalah najis, dan yang semacamnya…

Jadi, jika seseorang mengetahui ada parfum yang mengandung ‘sesuatu’ berupa bahan memabukkan atau benda najis yang menjadi penghalang untuk menggunakannya, maka diapun meninggalkannya (tidak menggunakanya) seperti cologne. Karena telah tetap (jelas) di sisi kami berdasarkan persaksian para dokter (yang ahli di bidang ini) bahwa parfum ini tidak terbebas dari bahan memabukkan karena mengandung ‘spiritus’ berkadar tinggi, yang merupakan bahan memabukkan, sehingga wajib untuk ditinggalkan (tidak digunakan). Kecuali jika ditemukan ada parfum jenis ini yang terbebas dari bahan memabukkan (maka tentunya tidak mengapa untuk digunakan). Dan jenis-jenis parfum yang lain sebagai gantinya, sekian banyak yang dihalalkan oleh Allah Subhaanahu wata’ala, walhamdulillah.

Demikian pula halnya, segala macam minuman dan makanan yang mengandung bahan memabukkan, wajib untuk ditinggalkan. Kaidahnya adalah: “Sesuatu yang banyaknya memabukkan maka sedikitnya pun haram”, sebagaimana sabda Rasulullah n

مَا أَسْكَرَ كَثِيْرُهُ فَقَلِيْلُهُ حَرَامٌ

“Sesuatu yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnyapun haram.”

Dan hanya Allah k lah yang memberi taufik.”

Demikian pula yang terpahami dari fatwa guru kami Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i Rahimahullah (dalam Ijabatus Sa`il hal. 697) bahwa pendapat beliau sama dengan pendapat gurunya yaitu Asy-Syaikh Ibnu Baz Rahimahullah ketika ditanya tentang cologne. Beliau menjawab (tanpa rincian) bahwa tidak boleh menggunakannya dan tidak boleh memperjualbelikannya, berdasarkan hadits Anas bin Malik z:
لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْخَمْرِ عَشَرَةً: عَاصِرُهَا وَمُعْتَصِرُهَا وَشَارِبُهَا وَحَامِلُهَا وَالْمَحْمُولَةُ إِلَيْهِ وَسَاقِيْهَا وَبَائِعُهَا وَآكِلُ ثَمَنِهَا وَالْمُشْتَرِي لَهَا وَالْمُشْتَرَاةُ لَهُ
“Rasulullah n melaknat 10 jenis orang karena khamr: yang memprosesnya (membuatnya), yang minta dibuatkan, yang meminumnya, yang membawanya, yang dibawakan untuknya, yang menghidangkannya, yang menjualnya, yang makan (menikmati) harga penjualannya, yang membelinya dan yang dibelikan untuknya.”4

Sementara itu, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin Rahimahullah dan Asy-Syaikh Al-Albani Rahimahullah berpendapat bahwa pada permasalahan ini ada rincian, sebagaimana yang akan kita simak dengan jelas dari fatwa keduanya.

Asy-Syaikh Ibnu ‘UtsaiminRahimahullah dalam Asy-Syarhul Mumti’ (6/178) cetakan Darul Atsar, berkata: “Bagaimana menurut kalian tentang sebagian obat-obatan yang ada pada masa ini yang mengandung alkohol, terkadang digunakan pada kondisi darurat?
Kami nyatakan: Menurut kami, obat-obatan ini tidak memabukkan seperti mabuk yang diakibatkan oleh khamr, melainkan hanya berefek mengurangi kesadaran penderita dan mengurangi rasa sakitnya. Jadi ini mirip dengan obat bius yang berefek menghilangkan rasa sakit (sehingga penderita tidak merasakan sakit sama sekali) tanpa disertai rasa nikmat dan terbuai.

Telah diketahui bahwa hukum yang bergantung pada suatu ‘illah5, jika ‘illah tersebut tidak ada maka hukumnya pun tidak ada. Nah, selama ‘illah suatu perkara dihukumi khamr adalah “memabukkan”, sedangkan obat-obatan ini tidak memabukkan, berarti tidak termasuk kategori khamr yang haram. Wallahu a’lam. Wajib bagi kita untuk mengetahui perbedaan antara pernyataan: “Sesuatu yang banyaknya memabukkan maka sedikitnya pun haram” dengan pernyataan: “Sesuatu yang memabukkan dan dicampur dengan bahan yang lain maka haram.” Karena pernyataan yang pertama artinya minuman itu sendiri (adalah merupakan khamr), apabila anda minum banyak tentu anda mabuk, dan apabila anda minum sedikit maka anda tidak mabuk, namun Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam mengatakan “Sedikitnyapun haram.” (Kenapa demikian padahal yang sedikit tersebut tidak memabukkan?) Karena itu merupakan dzari’ah (artinya bahwa yang sedikit itu merupakan wasilah/ perantara yang akan menyeret pelakunya sampai akhirnya dia minum banyak, sehingga diharamkan). Adapun mencampur dengan bahan lain dengan perbandingan kadar alkoholnya sedikit sehingga tidak menjadikan bahan tersebut memabukkan maka yang seperti ini tidak mengubah bahan tersebut menjadi khamr (yang haram). Jadi ibaratnya seperti benda najis yang jatuh ke dalam air (tapi kadar najisnya sedikit) dan tidak menajisi (merusak kesucian) air tersebut (karena warna, bau, ataupun rasanya tidak berubah) maka air tersebut tidak menjadi najis karenanya (tetap suci dan mensucikan).”

Asy-Syaikh Al-Albani Rahimahullah ketika ditanya tentang berbagai parfum atau minyak wangi yang mengandung alkohol, maka beliau menjawab: “Apabila kadar alkohol yang terkandung di dalamnya menjadikan parfum-parfum yang harum itu sebagai cairan yang memabukkan, dalam arti kalau diminum oleh seorang pecandu khamr dan ternyata memberi pengaruh seperti pengaruh khamr (yaitu mengakibatkan dia mabuk, maka parfum-parfum tersebut hukumnya tidak boleh (haram untuk digunakan). Adapun jika kadar alkoholnya sedikit (dalam arti tidak mengubah parfum-parfum tersebut menjadi memabukkan) maka hukumnya boleh. (Kaset Silsilatul Huda wan Nur)
Kemudian kita akhiri pembahasan ini dengan fatwa Asy-Syaikh Al-Albani v yang sangat rinci. Beliau Rahimahullah berkata: “Untuk memahami makna hadits:

مَا أَسْكَرَ كَثِيْرُهُ فَقَلِيْلُهُ حَرَامٌ

“Sesuatu yang banyaknya memabukkan maka sedikitnya pun haram.”

Mari kita mendatangkan contoh: Kalau ada 1 liter air yang mengandung 50 gram bahan memabukkan yang kita namakan alkohol, maka cairan ini –yang tersusun dari air dan alkohol– berubah menjadi memabukkan. Namun jika seseorang minum sedikit maka dia tidak akan mabuk. Lain halnya jika dia minum dengan kadar yang lazim diminum oleh seseorang maka dia akan mabuk, dengan demikian menjadilah yang sedikit tadi haram. Sebaliknya, kalau ada 1 liter air mengandung 5 gram alkohol (misalnya). Jika seseorang minum 1 liter air tersebut sampai habis dia tidak mabuk, maka yang seperti ini halal untuk diminum.
Selanjutnya, apakah boleh bagi seorang muslim mengambil 1 liter air kemudian menumpahkan 5 gram alkohol ke dalamnya dengan alasan bahwa 5 gram alkohol tersebut tidak mengubah 1 liter air yang ada menjadi memabukkan?

Jawabannya: Tidak boleh. Kenapa tidak boleh? Karena tidak boleh bagimu untuk memiliki bahan yang memabukkan yang merupakan inti dari khamr, yaitu alkohol. Jadi kegiatan mencampur alkohol dengan bahan lain tidak boleh dalam syariat Islam…

Telah kami nyatakan bahwa obat-obatan yang ada di apotek-apotek pada masa ini –bahkan boleh jadi kebanyakannya– mengandung alkohol, atau tertera padanya tulisan perbandingan kadar alkoholnya: 5 gram, 10 gram… Apakah kita mengatakan bahwa obat-obatan ini jika diminum seorang sehat ataupun sakit dengan kadar yang banyak dan ternyata dia mabuk, berarti tidak boleh digunakan karena memabukkan, meskipun dia hanya menelan 1 sendok saja? Inilah yang dimaksudkan dengan hadits “Sesuatu yang banyaknya memabukkan maka sedikitnya pun haram.” Adapun jika perbandingan alkoholnya sedikit –dalam arti berapapun yang dia minum tidak menjadikannya mabuk– maka boleh menggunakannya, meskipun dia minum banyak.

Namun perkara lain (yang penting untuk diingat) sama dengan apa yang telah saya sebutkan sebelumnya, bahwa obat-obatan yang mengandung alkohol dengan perbandingan yang tidak melanggar syariat sesuai dengan rincian yang disebutkan, tidak boleh bagi seorang apoteker muslim untuk meracik obat yang seperti itu. Karena tidak boleh ada alkohol di rumah seorang muslim ataupun di tempat kerjanya. Haram baginya untuk membelinya atau membuatnya sendiri. Dan ini perkara yang jelas karena Rasulullah n bersabda:

لَعَنَ اللهُ فِي الْخَمْرِ عَشَرَةً

“Allah melaknat 10 jenis orang karena khamr…”7

Seorang apoteker yang hendak meracik obat dan mencampurnya dengan alkohol yang memabukkan itu, baik dengan cara membuat alkohol sendiri (dengan proses pembuatan tertentu) atau membeli alkohol yang sudah jadi, termasuk dalam salah satu dari 10 jenis orang yang dilaknat dalam hadits tersebut.
Lain halnya apabila seseorang membeli obat yang sudah jadi, dengan kadar alkohol yang rendah yang tidak menjadikan banyaknya obat tersebut memabukkan, maka ini boleh.” (Kaset Silsilatul Huda wan Nur)

Dan kami memandang bahwa pendapat Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsamin Rahimahullah  dan Asy-Syaikh Al-Albani Rahimahullah, lebih dekat kepada kebenaran.

Wallahu a’lam.

1 Perlu diketahui bahwa alkohol (alkanol) ada beberapa golongan. Di antaranya etanol (inilah yang dijadikan sebagai zat pelarut, bahan bakar, atau zat asal untuk preparat-preparat farmasi, dan sebagian besar digunakan untuk minuman keras), spiritus, dsb., sebagaimana diterangkan dalam buku-buku kimia dan farmasi.

2 Diriwayatkan oleh Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dari Jabir bin Abdillah c. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i dalam Ash-Shahihul Musnad (1/160-161). Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani, dan beliau menshahihkannya dengan syawahidnya dari beberapa shahabat yang lain (Al-Irwa‘, 8/42-43).

3 ‘Illah suatu hukum adalah sebab penentu suatu perkara memiliki hukum tersebut.

4 Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (1318) dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil Rahimahullah dalam kitabnya Ash-Shahihul Musnad (1/57) dan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi. Hadits yang semakna dengan hadits ini juga diriwayatkan dengan lafadz
لَعَنَ اللهُ …
(Allah melaknat…) dari Ibnu ‘Umar c, oleh Ath-Thahawi, Al-Hakim, dan yang lainnya, dishahihkan oleh Al-Albani dengan keseluruhan jalan-jalannya dalam Al-Irwa` (5/365-367).

5 Lihat catatan kaki no. 3

6 Lihat haditsnya secara lengkap pada fatwa Asy-Syaikh Muqbil di halaman sebelumnya.
Sumber : http://asysyariah.com/print.php?id_online=312
* * *

Najiskah Alkohol?

Penulis : Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari

Apakah alkohol yang digunakan untuk disinfeksi alat-alat medis termasuk najis?

(‘Aisyah, Yogyakarta)
Jawab:
Alhamdulillah. Telah kita ketahui pada pembahasan Problema Anda edisi lalu bahwa alkohol merupakan bahan memabukkan yang merupakan inti dari khamr, sehingga haram bagi seorang muslim untuk memiliki alkohol dengan cara apa pun, baik dengan membuatnya sendiri, membelinya, atau dengan cara yang lain.
Desinfeksi alat-alat medis bukanlah alasan yang ditolerir untuk bisa menggunakan alkohol, dengan dua alasan:

1. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam  bersabda:
إِنَّهُ لَيْسَ بِدَوَاءٍ وَلَكِنَّهُ دَاءًٌ
“Sesungguhnya khamr itu bukan obat, melainkan penyakit.”
Beliau mengatakan hal ini ketika Thariq bin Suwaid Al-Ju’fi bertanya tentang pembuatan khamr untuk pengobatan. (HR. Muslim, no. 1984)
Dan masih ada hadits-hadits lainnya yagn menunjukkan haramnya pengobatan dengan sesuatu yang haram.

2. Kondisi darurat yang dengan itu diperbolehkan menggunakan sesuatu yang haram, adalah jika memenuhi dua persyaratan, sebagaimana ditegaskan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin Rahimahullah dalam Asy-Syarhul Mumti’ (6/330, cetakan Darul Atsar):
a. Seseorang terpaksa menggunakannya jika tidak ada alternatif lain.
b. Ada jaminan/ kejelasan bahwa dengan itu kondisi darurat akan benar-benar teratasi.
Padahal fakta membuktikan bahwa penanganan medis bukanlah satu-satunya alternatif kesembuhan. Karena tidak sedikit penderita yang sembuh tanpa penanganan medis. Melainkan hanya dengan rutin mengkonsumsi obat-obat nabawi atau ramuan-ramuan tertentu disertai kesungguhan dalam menghindari pantangan penyakit yang dideritanya. Anggaplah pada kondisi darurat tertentu terkadang seseorang terpaksa harus menjalani penanganan medis, namun –alhamdulillah– masih banyak alternatif lain selain alkohol untuk disinfeksi alat-alat medis.

Adapun najis atau tidaknya alkohol, maka ini kembali kepada permasalahan najis atau tidaknya khamr. Jumhur ulama, termasuk imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad rahimahumullah) berpendapat bahwa khamr adalah najis. Dan ini dibenarkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Mereka berdalilkan firman Allah ubhaanahu wa ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَاْلأَنْصَابُ وَاْلأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, hanyalah sesungguhnya khamr, judi, patung-patung yang disembah, dan azlam1 adalah rijs, merupakan amalan setan.” (Al-Ma`idah: 90)

Namun yang benar adalah pendapat Rabi’ah (guru Al-Imam Malik), Al-Laits bin Sa’d Al-Mishri, Al-Muzani (sahabat Al-Imam Asy-Syafi’i) dan Dawud Azh-Zhahiri, bahwa khamr tidak najis. Ini yang dipilih oleh Al-Imam Asy-Syaukani, Asy-Syaikh Al-Albani, dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah. Karena hukum asal segala sesuatu adalah suci kecuali ada dalil yang menunjukkan najisnya. Karena tidak ada dalil yang menunjukkan najisnya khamr, maka kita menghukuminya dengan hukum asal.
Meskipun khamr haram namun tidak berarti najis, karena tidak ada konsekuensi bahwa sesuatu yang haram mesti najis. Al-Imam Ash-Shan’ani dan Al-Imam Asy-Syaukani menjelaskan kekeliruan anggapan sebagian ulama bahwa sesuatu yang haram konsekuensinya menjadi najis. Yang benar, hukum asal segala sesuatu adalah suci dan keharamannya tidaklah otomatis menjadikan hal itu najis.
Sebagai contoh, emas dan kain sutera telah disepakati dan diketahui bahwa keduanya suci, meskipun haram bagi kaum lelaki untuk mengenakannya. Namun sebaliknya, najisnya sesuatu berkonsekuensi bahwa sesuatu itu haram.

Adapun dalil yang digunakan oleh jumhur ulama, maka hal itu adalah ijtihad mereka –rahimahumullah– dalam memahami ayat tersebut. Padahal najis yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah najis maknawi, artinya minum khamr adalah perbuatan najis (kotor) yang haram, meskipun zat khamr itu sendiri adalah suci. Pemahaman ini didukung dua faktor:

1. Khamr dalam ayat tersebut disejajarkan dengan najisnya alat-alat judi, berhala-berhala sesembahan, dan anak-anak panah yang digunakan untuk mengundi nasib. Padahal disepakati bersama bahwa benda-benda tersebut adalah suci, yang najis adalah perbuatan judinya, perbuatan menyembah berhala, dan perbuatan mengundi nasib. Demikian pula dengan khamr. Yang najis adalah perbuatan minum khamr, bukan khamr itu sendiri.

2. Kata rijs (yang diartikan najis) dalam ayat di atas disifati dengan kalimat berikutnya, yaitu
مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ
(merupakan amalan setan). Jadi yang dimaksud adalah amalannya bukan zatnya.

Kesimpulannya, bahwa ayat tersebut tidak cukup sebagai dalil untuk menggeser hukum asal tadi.
Justru terdapat hadits-hadits shahih yang menunjukkan sucinya khamr, sehingga makin menguatkan hukum asal tersebut. Hadits-hadits itu di antaranya:

1. Hadits Anas bin Malik Radhiallaahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari Rahimahullah dalam Shahih-nya, Kitabul Mazhalim, Bab Shubbil Khamri fi Ath-Thariq no. 2464, juga hadits Abu Sa’id Al-Khudri Radhiallaahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya, Kitabul Musaqat, Bab Tahrimi Bai’il Khamr no. 1578. Disebutkan dalam kedua hadits itu bahwa para shahabat menumpahkan khamr mereka di jalan-jalan ketika diharamkannya khamr. Ini menunjukkan bahwa khamr bukan najis, karena jalan-jalan yang dilewati kaum muslimin tidak boleh dijadikan tempat pembuangan najis.

Bila ditanyakan: “Apakah hal itu dengan sepengetahuan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam?” Maka dijawab: Jika Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam mengetahuinya berarti hal itu dengan persetujuan beliau Shallallaahu ‘alaihi wasallam. Berarti hadits tersebut marfu’ secara hukum. Bila tidak diketahui oleh beliau Shallallaahu ‘alaihi wasallam, maka sesungguhnya Allah Subhaanahu wa ta’ala mengetahuinya, dan Allah Subhaanahu wa ta’ala tidak akan membiarkannya bila memang hal itu adalah suatu kemungkaran, karena waktu itu merupakan masa turunnya wahyu.

2. Hadits Ibnu ‘Abbas Radhiallaahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya, Kitabul Musaqat, Bab Tahrimi Bai’il Khamr no. 1579, bahwa seorang laki-laki menghadiahkan sebuah wadah berisi khamr kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam. Maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata: “Tidakkah engkau mengetahui bahwa khamr telah diharamkan?” Kemudian ada seseorang yang membisiki laki-laki tersebut untuk menjualnya. Maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ الَّذِي حَرَّمَ شُرْبَهَا حَرَّمَ بَيْعَهَا

“Sesungguhnya Dzat Yang mengharamkan untuk meminumnya juga mengharamkan untuk menjualnya.”

Kemudian Ibnu ‘Abbas Radhiallaahu ‘anhu berkata:

فَفَتَحَ الْمَزَادَ حَتَّى ذَهَبَ مَا فِيْهَا

“Maka lelaki itu membuka wadah khamr tersebut dan menumpahkan isinya hingga habis.”
Kejadian ini disaksikan oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan beliau tidak memerintahkan kepadanya untuk mencuci wadah tersebut. Ini menunjukkan bahwa khamr tidaklah najis. Wallahu a’lam bish-shawab.

Maraji’/ Sumber Bacaan:
 Al-Majmu’ lin Nawawi, 2/581-582
 Subulus Salam, penjelasan hadits kedua dari Bab Izalatun Najasah, 1/55-56
 Ad-Darari Al-Mudhiyyah, hal.19-20
 Tamamul Minnah, hal. 54-55
 Asy-Syarhul Mumti’, 1/366-367
1 Azlam adalah tiga batang anak panah yang tidak berbulu, tertulis pada salah satunya “Lakukan”, yang kedua “Jangan lakukan”, dan yang ketiga kosong tanpa tulisan. Seseorang berbuat sesuai dengan anak panah yang terambil.

Sumber : http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=311 

Hukum Bekerja di Perusahaan Asing Non-muslim: Apakah termasuk bentuk loyalitas kepada mereka ?

Hukum Bekerja di Perusahaan Asing  Non-muslim: Apakah termasuk bentuk loyalitas kepada mereka ?
 
Bismillah.

Ustadz, ana mau menanyakan apa hukumnya bekerja di perusahaan asing atau bekerja pada perusahaan yang mana atasan kita adalah non-muslim.

Allah Subhanahu wata’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاء بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin( mu). Sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-Ma’idah : 51)

Atas perhatiannya ana ucapkan Jazakumullah khoiron.

Abu Rafi aburafxxxxx@yahoo.co.id


Jawaban Al-Ustadz Dzulqornain Abu Muhammad

Bismillah,
Kata pemimpin dalam Ayat yang antum sebutkan adalah salah penerjemahan. Sebab dalam ayat disebut dengan kata ‘auliaa`’, dan dia adalah bentuk jamak dari kata ‘wali’ yang bermakna orang yang kita berwala` (berloyalitas) kepadanya. Sedang Wala’ itu bermakna memberi loyalitas, kecintaan dan semisalnya.

Maka dalam ayat ditegaskan pelarangan memberi wala’ kepada orang-orang kafir. Dan memberi wala` kepada orang kafir terbagi dua,

Satu, Memberi wala` kepada orang kafir karena kecintaan kepada mereka atau cinta kepada kekufuran, atau ridho kekufuran di atas keislaman. Ini hukumnya adalah kafir mengeluarkan dari agama Islam. Ini makna dalam ayat yang antum sebutkan.

Dua, Memberi wala` karena dunia dan bukan karena agama atau keyakinan. Ini tidak mengeluarkan dari agama tapi tergolong dosa besar. Sebagaimana dalam Surah Al-Mumtahanah: 1 dan kisah Ibnu Abi Balta’ah dalam riwayat Muslim.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاء تُلْقُونَ إِلَيْهِم بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءكُم مِّنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ أَن تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ رَبِّكُمْ إِن كُنتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَاداً فِي سَبِيلِي وَابْتِغَاء مَرْضَاتِي تُسِرُّونَ إِلَيْهِم بِالْمَوَدَّةِ وَأَنَا أَعْلَمُ بِمَا أَخْفَيْتُمْ وَمَا أَعْلَنتُمْ وَمَن يَفْعَلْهُ مِنكُمْ فَقَدْ
ضَلَّ سَوَاء السَّبِيلِ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus. (Al-Mumtahanah : 1)

Adapun bekerja kepada orang kafir dan bermuamalat dengan mereka tidak mengapa selama hanya berkaitan dengan dunia dan tidak bentuk berloyalitas kepada mereka. Dan pembolehan ini ditunjukkan oleh banyak dalil.  Dan Nabi sendiri bermuamalah dengan orang-orang Yahudi sebagaimana yang dimaklum penjelasannya dalam beberapa hadits.

Wallahu A’lam
Makassar, 3 Jumadi Tsaniyah 1430, 27 May 2009
SUMBER : milinglist nashihah@yahoogroups.com versi offline dikumpulkan kembali oleh dr.Abu Hana untuk http://kaahil.wordpress.com

Minggu, 10 Januari 2010

Ukhuwah yang Membuahkan Mahabbah dan Rahmah

Di dalam Al-Qur’an, Allah Siubhanahu wa Ta’ala banyak memuji para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang mana mereka adalah murid-murid Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan Allah Siubhanahu wa Ta’ala juga telah menyebutkan dan menceritakan tentang keutamaan-keutamaan mereka di dalam kitab Taurat dan Injil. Sebagaimana di dalam firman-Nya:

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا


“Muhammad itu adalah utusan Allah. Dan orang-orang yang bersama dengannya adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya. Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. 


Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Fath: 29)

Mereka adalah generasi yang mendapatkan keutamaan-keutamaan yang tidak mungkin didapatkan oleh generasi-generasi sebelum maupun sesudahnya. Generasi yang terbaik setelah para nabi dan para rasul ‘alaihimussalam.


وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ


“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 100)


Oleh karena itulah Allah Siubhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk beriman sebagaimana keimanan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Terekam dalam firman-Nya:


فَإِنْ ءَامَنُوا بِمِثْلِ مَا ءَامَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ


“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk. Dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (Al-Baqarah: 137)


وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ


“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, serta ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Luqman: 15)


Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu mengatakan: “Dan seluruh sahabat radhiyallahu ‘anhum adalah orang-orang yang kembali kepada Allah Siubhanahu wa Ta’ala. Maka wajib untuk mengikuti jalan, ucapan-ucapan, dan keyakinan mereka. Ini adalah perkara yang paling besarnya.” (I’lamul Muwaqqi’in 4/120)
 

Dan Allah Siubhanahu wa Ta’ala melalui lisan rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk berdoa dalam setiap rakaat agar kita mendapatkan hidayah ke jalan mereka radhiyallahu ‘anhum, yang telah mengantarkan mereka untuk mendapatkan kenikmatan ilmu yang bermanfaat dan amalan yang shalih.

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ. صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ


“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka.” (Al-Fatihah: 6-7)


Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: “Barangsiapa yang mengikuti/meneladani, maka hendaknya dia meneladani orang yang telah mati. Yaitu mereka para sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah generasi terbaiknya umat ini. Hati-hati mereka paling bersih. Ilmunya paling dalam dan yang paling sedikit takallufnya (membebani diri). Yaitu kaum yang Allah Siubhanahu wa Ta’ala telah memilih mereka untuk menjadi para sahabat nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka (berjalan) di atas petunjuk yang lurus, demi Allah Siubhanahu wa Ta’ala Dzat yang memiliki Ka’bah.”
Allah Siubhanahu wa Ta’ala juga menyatakan bahwa mengikuti jalan dan pemahaman yang tidak dijalani dan tidak dimiliki oleh para sahabat adalah kesesatan.
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam. Dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa’: 115)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan dengan jelas dan tegas bahwa tidak ada jalan yang selamat kecuali jalan yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Terkhusus pada zaman-zaman di mana merebak berbagai macam fitnah yang bersumber dari syubhat dan syahwat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Maka barangsiapa yang hidup di antara kalian niscaya akan melihat perselisihan yang banyak. Maka hendaklah kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Peganglah dia dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian.”
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullahu berkata: “Ini adalah berita dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perkara yang pasti terjadi pada umatnya setelah beliau meninggal. Yaitu, banyak terjadi perselisihan di dalam prinsip-prinsip agama dan cabang-cabangnya, di dalam ucapan, perbuatan, maupun keyakinan. Dan hal ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perpecahan yang akan terjadi pada umatnya menjadi 73 golongan, semuanya di dalam neraka kecuali satu golongan. Golongan tersebut adalah siapa saja yang berada di atas jalan yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum di atasnya.
Dan demikianlah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits ini memerintahkan agar kita berpegang teguh dengan Sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah Khulafa’ Ar-Rasyidin setelah beliau meninggal. Maka hal ini mencakup seluruh perkara yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para khalifahnya di atasnya, baik berupa keyakinan, amalan, maupun ucapan. Inilah sunnah yang sempurna.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 2/120)
Allah Siubhanahu wa Ta’ala memuji jiwa pendidik dan sifat rahmah yang ada pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap umatnya agar kita meneladani beliau di dalam dakwah dan tarbiyah yang kita tegakkan, sehingga kita mendapatkan keberhasilan dan kesuksesan.
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (At-Taubah: 128)
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَثَلِي وَمَثَلُكُمْ كَمَثَلِ رَجُلٍ أَوْقَدَ نَارًا فَجَعَلَ الْجَنَادِبُ وَالْفَرَاشُ يَقَعْنَ فِيهَا وَهُوَ يَذُبُّهُنَّ عَنْهَا وَأَنَا آخِذٌ بِحُجَزِكُمْ عَنْ النَّارِ وَأَنْتُمْ تَفَلَّتُونَ مِنْ يَدِي
“Permisalan antara aku dan kalian seperti orang yang menyalakan api (di malam hari di tempat yang terbuka). Maka mulailah serangga-serangga dan anai-anai masuk ke dalam api tersebut padahal orang itu telah menghalaunya (agar tidak masuk ke dalam api). Dan aku pegangi pinggang-pinggang kalian supaya kalian tidak masuk ke dalam api neraka. Sedangkan kalian senantiasa berusaha untuk melepaskan diri dari tanganku.” (HR. Muslim)
Para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang dibimbing dan dididik oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung, dengan izin Allah Siubhanahu wa Ta’ala semata, mereka menjadi generasi yang terbaik dalam keilmuan dan amalan. Mereka adalah generasi yang dimuliakan dan didamba-dambakan. Kalau kita membaca kisah-kisah yang shahih tentang mereka, tentu kita akan mendapatkan berbagai macam bimbingan dan pelajaran yang menakjubkan.
Di antara ciri-ciri khas yang paling menonjol dalam kehidupan muamalah di antara mereka adalah sikap saling mencintai (tahabub) dan saling merahmati (tarahum). Sebagaimana apa yang Allah Siubhanahu wa Ta’ala firmankan tentang mereka:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
“Muhammad itu adalah utusan Allah. Dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (Al-Fath: 29)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir.” (Al-Ma’idah: 54)
Yaitu kehidupan yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat permisalan tentangnya seperti satu tubuh, sebagaimana dalam sabdanya:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Permisalan orang-orang yang beriman dalam cinta-mencintai, rahmat-merahmati, dan sayang-menyayangi di antara mereka seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh merintih, niscaya seluruh anggota tubuh yang lain akan turut merasakannya dengan tidak bisa tidur pada malam hari dan rasa demam badannya.” (Muttafaq ‘alaih dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu)
Allah Siubhanahu wa Ta’ala menceritakan tentang bukti kecintaan Al-Anshar terhadap Muhajirin radhiyallahu ‘anhum di dalam firman-Nya:
وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ. وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha penyantun lagi Maha penyayang’.” (Al-Hasyr: 9-10)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Datang seseorang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian dia berkata:
“Sesungguhnya aku orang yang fakir (dan dalam kesulitan hidup).” Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus utusan kepada sebagian istri beliau, maka istri beliau menjawab: “Demi Dzat yang mengutusmu dengan membawa kebenaran, saya tidak memiliki kecuali air minum.” Kemudian beliau mengutus ke istri yang lainnya, maka istri tersebut menjawab dengan jawaban yang sama. Sehingga istri-istri beliau semuanya menjawab dengan jawaban yang sama: “Demi Dzat yang mengutusmu dengan membawa kebenaran, saya tidak memiliki kecuali air minum.”
Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Siapa yang akan menjamu tamu ini?” Maka ada seorang Anshar menjawab: “Saya, wahai Rasulullah.” Dia lalu berangkat bersama dengan tamu tersebut ke rumahnya. Kemudian dia berkata kepada istrinya: “Muliakanlah tamu Rasulullah ini!”
Dalam riwayat yang lain dia berkata kepada istrinya: “Apakah kamu memiliki sesuatu?” Istrinya menjawab: “Tidak, kecuali makan malam anak-anak kita.”
Dia berkata: “Beri mereka (anak-anak) sesuatu yang membuat mereka lupa. Apabila mereka ingin makan malam, tidurkanlah mereka. Dan apabila tamu kita telah masuk, matikan pelita dan tampakkanlah bahwa kita telah makan!”
Kemudian anak-anak mereka tidur dan tamu tersebut makan, sehingga suami istri tersebut tidur dalam keadaan lapar. Maka tatkala masuk pagi hari, dia datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau bersabda: “Sungguh-sungguh Allah Siubhanahu wa Ta’ala takjub dengan perbuatan kalian terhadap tamu tersebut tadi malam.” (Riyadhus Shalihin 569)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa membimbing, menuntun, dan mengarahkan para sahabat radhiyallahu ‘anhum bagaimana mereka saling merahmati dan saling mencintai karena Allah Siubhanahu wa Ta’ala semata. Dan di antara bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap mereka radhiyallahu ‘anhum pada khususnya dan bagi umat secara umum adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak sempurna keimanan salah seorang di antara kalian, sampai dia mencintai untuk saudaranya sebagaimana dia mencintai untuk dirinya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullahu menjelaskan: “Dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu terdapat dalil yang menunjukkan bahwa seorang mukmin akan senang terhadap segala sesuatu yang menyenangkan saudaranya yang mukmin, dan dia menginginkan untuk saudaranya sebagaimana dia menginginkan untuk dirinya dari berbagai macam kebaikan. Ini semuanya bersumber dari hati yang selamat dari penyakit khianat, iri, dan dengki. Karena penyakit hasad (iri dan dengki) akan mengharuskan pemiliknya untuk membenci orang yang mengungguli dia dalam kebaikan atau menyamainya. Dia ingin menjadi orang yang berbeda dengan orang lain dengan keutamaan-keutamaan yang ada pada dirinya. Sedangkan keimanan menuntut perkara yang bertolak belakang dengan perkara tersebut. Yaitu dia ingin saudara-saudaranya yang beriman seluruhnya, sama-sama mendapatkan kebaikan yang Allah Siubhanahu wa Ta’ala telah berikan kepada dirinya dengan tanpa mengurangi akan haknya. Dan Allah Siubhanahu wa Ta’ala memuji hamba-Nya yang tidak menginginkan kesombongan dan kerusakan di muka bumi, di dalam firman-Nya:
تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi.” (Al-Qashash: 83) [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 1/171]
Berkata sebagian salaf rahimahumullah: “Orang-orang yang mencintai karena Allah Siubhanahu wa Ta’ala, maka mereka akan memerhatikan segala sesuatu dengan nur (ilmu) dari Allah Siubhanahu wa Ta’ala. Mereka akan bersikap belas kasih terhadap orang-orang yang bermaksiat kepada Allah Siubhanahu wa Ta’ala, namun mereka membenci amalan-amalannya. Mereka belas kasihan terhadap ahlul maksiat itu agar meninggalkan perbuatan-perbuatan tersebut dengan nasihat-nasihat yang mereka lakukan, karena mereka pun belas kasihan terhadap badan-badan ahlul maksiat kalau disentuh api neraka.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 1/172)
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullahu berkata: “Maka seharusnya seorang muslim mencintai kebaikan untuk saudaranya sebagaimana dia mencintai kebaikan untuk dirinya, dan membenci kejelekan untuk saudaranya sebagaimana dia membenci kejelekan untuk dirinya. Maka apabila dia melihat kekurangan atau kesalahan pada saudaranya yang muslim, niscaya dia akan berusaha dengan sekuat tenaga untuk memperbaiki.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 1/172)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Sepantasnya hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu (di atas) dipahami sesuai dengan keumuman persaudaraan (karena nasab ataupun agama), sehingga mencakup yang muslim maupun yang kafir. Maka seorang muslim itu mencintai untuk saudaranya yang kafir sebagaimana dia mencintai untuk dirinya. Dia mencintai saudaranya agar masuk Islam, sebagaimana dia mencintai untuk saudaranya agar tetap komitmen atau istiqamah dengan Islam. Oleh karena inilah, doa seorang muslim agar saudaranya yang kafir mendapatkan hidayah adalah perkara yang disunnahkan.” (Syarh Matan Arba’in lin Nawawi)
Faktor-faktor yang akan menumbuh-suburkan serta mengokohkan sikap saling merahmati dan saling mencintai karena Allah Siubhanahu wa Ta’ala semata di antaranya:
1. Aqidah yang benar, manhaj (jalan) yang lurus, serta akhlak yang mulia
Dakwah salafiyyah yang mencontoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dakwah yang menebarkan bibit-bibit saling merahmati dan saling mencintai karena Allah Siubhanahu wa Ta’ala, dakwah yang menyentuh hati hamba-Nya. Itulah dakwah yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya radhiyallahu ‘anhum, sebagaimana firman-Nya:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Ali ‘Imran: 103)
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ؛ أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Ada tiga perkara, barangsiapa yang perkara tersebut ada pada dirinya, niscaya dia akan mendapatkan manisnya iman. Allah Siubhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya adalah yang paling dia cintai daripada kecintaan dia kepada selain keduanya. Dan dia mencintai seseorang, di mana dia tidaklah mencintainya kecuali karena Allah Siubhanahu wa Ta’ala. Dan dia sangat benci untuk kembali kepada kekafiran setelah Allah Siubhanahu wa Ta’ala menyelamatkannya dari kekafiran tersebut, sebagaimana dia sangat benci untuk dilemparkan ke dalam api.”
Para dai yang mengajak umat untuk beraqidah yang shahihah, bermanhaj yang salimah (selamat), dan berakhlak yang jamilah, mereka adalah orang-orang yang paling peduli terhadap umat dan yang paling belas kasih terhadap mereka, sebagaimana firman Allah Siubhanahu wa Ta’ala:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?’.” (Fushshilat: 33)
Dan Allah Siubhanahu wa Ta’ala memerintahkan Rasul-Nya (sebagai suri tauladan mereka) dengan firman-Nya:
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.” (Asy-Syu’ara’: 215)

2. Menebarkan salam di antara kaum muslimin
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلَا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا، أَوَ لَا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ؟ أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ
“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman. Dan kalian tidak akan beriman (dengan iman yang sempurna) sampai kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu, yang apabila kalian melakukannya niscaya kalian akan saling mencintai? Tebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu berkata: “Maka terdapat di dalam hadits ini dalil yang menunjukkan bahwa saling mencintai (mahabbah) karena Allah Siubhanahu wa Ta’ala adalah termasuk kesempurnaan iman. Bahwa iman seorang hamba tidak akan sempurna sampai dia mencintai saudaranya karena Allah Siubhanahu wa Ta’ala. Dan termasuk sebab-sebab yang akan menumbuhkan kecintaan adalah menebarkan salam di antara saudara-saudaranya muslim, yaitu menampakkan salam tersebut kepada mereka. Di mana dia mengucapkan salam kepada orang yang dijumpainya, baik dia kenal ataukah tidak. Maka inilah di antara sebab yang akan menumbuhkan mahabbah.” (Syarh Riyadhush Shalihin 2/127)

3. Saling membantu dalam kebaikan dan ketakwaan
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al-Ma’idah: 2)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
“Dan Allah Siubhanahu wa Ta’ala senantiasa menolong hamba selama hamba tersebut berusaha menolong saudaranya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu berkata: “Maka perkara yang wajib untuk dilakukan oleh seorang muslim adalah senantiasa berusaha melakukan sebab-sebab yang akan menumbuhkan kasih sayang di antara kaum muslimin. Karena bukan termasuk perkara yang masuk di akal dan bukan pula termasuk adab kebiasaan yang terjadi, seseorang biasa saling membantu bersama orang yang dia tidak mencintainya. Dan tidak mungkin bisa saling membantu (ta’awun) dalam kebaikan dan ketakwaan kecuali dengan sebab saling mencintai. Oleh karena inilah mahabbah (saling mencintai) karena Allah Siubhanahu wa Ta’ala termasuk sebagian tanda kesempurnaan iman.” (Syarh Riyadhush Shalihin 2/127)

4. Saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran
Nasihat itu maknanya adalah seorang muslim mencintai kebaikan untuk saudaranya, mengajak, membimbing, menjelaskan, dan mendorong saudaranya tersebut untuk melakukan kebaikan itu. (Syarh Riyadhush Shalihin 1/458)
Allah Siubhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (Al-’Ashr: 3)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الدِّينُ النَّصِيحَةُ. قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: لِلهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُولِهِ، وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
“Agama itu adalah nasihat.” Kami bertanya: “Untuk siapa?” Beliau bersabda: “Untuk Allah, untuk kitab-Nya, untuk Rasul-Nya, dan untuk pemimpin muslimin serta orang-orang awamnya.” (HR. Muslim dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus Ad-Dari radhiyallahu ‘anhu)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu berkata: “Adapun nasihat bagi kaum muslimin secara keseluruhan adalah kamu mencintai kebaikan untuk mereka sebagaimana kamu mencintai kebaikan untuk dirimu. Kamu bimbing mereka kepada kebaikan. Kamu tunjukkan mereka kepada kebenaran apabila mereka tersesat dari kebenaran tersebut. Kamu ingatkan mereka dengan kebenaran kalau mereka lupa. Dan kamu jadikan mereka sebagai saudara-saudaramu. Karena Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya.” (Muttafaq ‘alaih dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma)
Beliau rahimahullahu juga menyatakan: “Dan ketahuilah bahwa nasihat adalah pembicaraan yang dilakukan antara kamu dengan saudaramu dengan diam-diam. Karena kalau kamu menasihatinya dengan diam-diam, niscaya kamu akan dapat memengaruhinya dalam keadaan dia yakin bahwa kamu adalah pemberi nasihat. Akan tetapi apabila engkau berbicara tentang kekurangan atau kesalahan dia di muka umum, maka rasa egonya bisa menyeret dia untuk berbuat dosa sehingga dia tidak akan menerima nasihat karena dia mengira bahwa yang kamu inginkan hanyalah balas dendam, mencelanya, atau menjatuhkan kedudukannya di hadapan manusia. Sehingga dia tidak mau menerima nasihat. Akan tetapi kalau nasihat tersebut dilakukan dengan diam-diam antara kamu dengan dia, niscaya dia (insya Allah) akan menghargai dan menerimanya.” (Syarh Riyadhush Shalihin 1/465-466)

5. Saling mengunjungi
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أَنَّ رَجُلًا زَارَ أَخًا لَهُ فِي قَرْيَةٍ أُخْرَى فَأَرْصَدَ اللهُ لَهُ عَلَى مَدْرَجَتِهِ مَلَكًا، فَلَمَّا أَتَى عَلَيْهِ قَالَ: أَيْنَ تُرِيدُ؟ قَالَ: أُرِيدُ أَخًا لِي فِي هَذِهِ الْقَرْيَةِ. قَالَ: هَلْ لَكَ عَلَيْهِ مِنْ نِعْمَةٍ تَرُبُّهَا؟ قَالَ: لَا غَيْرَ أَنِّي أَحْبَبْتُهُ فِي اللهِ عَزَّ وَجَلَّ. قَالَ: فَإِنِّي رَسُولُ اللهِ إِلَيْكَ بِأَنَّ اللهَ قَدْ أَحَبَّكَ كَمَا أَحْبَبْتَهُ فِيهِ
Ada seseorang mengunjungi saudaranya di sebuah desa. Maka Allah Siubhanahu wa Ta’ala mengutus malaikat-Nya untuk menjaganya di dalam perjalanannya. Maka tatkala malaikat tersebut menemuinya, malaikat itu bertanya: “Kamu hendak pergi ke mana?” Dia menjawab: “Aku ingin mengunjungi saudaraku di desa ini.” Malaikat itu bertanya lagi: “Apakah kamu memiliki suatu kenikmatan yang bisa diberikan kepadanya?” Dia menjawab: “Tidak. Hanya saja aku mencintai dia karena Allah Siubhanahu wa Ta’ala.” Maka malaikat itu menyatakan: “Aku adalah utusan Allah Siubhanahu wa Ta’ala kepadamu (untuk mengabarkan kepadamu) bahwa Allah Siubhanahu wa Ta’ala sungguh mencintaimu sebagaimana kamu mencintainya karena-Nya.” (HR. Muslim)
Maka perhatikanlah kisah ziarah mubarakah (penuh berkah) yang dilakukan oleh kedua amirul mukminin Abu Bakr dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma kepada Ummu Aiman radhiyallahu ‘anha. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:
Abu Bakr berkata kepada ‘Umar setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal: “Berangkatlah bersama kami mengunjungi Ummu Aiman sebagaimana biasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengunjunginya.” Maka setelah keduanya sampai, Ummu Aiman menangis. Keduanya bertanya: “Apa yang menjadikan kamu menangis? Tidakkah kamu yakin bahwa apa yang di sisi Allah Siubhanahu wa Ta’ala itu lebih baik bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Ummu Aiman radhiyallahu ‘anha menjawab: “Aku menangis bukan karena aku tidak meyakini bahwa apa yang ada di sisi Allah Siubhanahu wa Ta’ala itu lebih baik bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi aku menangis karena wahyu telah terputus dari langit.” Maka dia menyebabkan keduanya (Abu Bakr dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma) menangis. Sehingga mulailah keduanya menangis bersamanya. (HR. Muslim 3454)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata: “Ziarah (kunjungan) itu memiliki banyak faedah, di antaranya: akan membuahkan pahala yang besar, melunakkan dan menyatukan hati, mengingatkan saudaranya yang lupa, memperingatkan saudaranya yang lalai, serta mengajarkan ilmu kepada saudaranya yang jahil. Dan di dalamnya ada kebaikan yang banyak. Orang yang mengamalkannya akan mengetahui kebaikan tersebut.” (Syarh Riyadhush Shalihin, 2/116)
Namun yang harus kita perhatikan dan ingatkan adalah jangan sampai ibadah yang demikian mulianya ini dipalingkan oleh setan sebagai ajang untuk ghibah1 (mengumpat), namimah (adu domba), atau membicarakan hal-hal yang tidak ada faedahnya serta belum jelas kebenarannya. Padahal hal-hal inilah yang akan menyusahkan pertanggungjawaban kita di hadapan Allah Siubhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana firman-Nya:
وَيَوْمَ يُحْشَرُ أَعْدَاءُ اللهِ إِلَى النَّارِ فَهُمْ يُوزَعُونَ. حَتَّى إِذَا مَا جَاءُوهَا شَهِدَ عَلَيْهِمْ سَمْعُهُمْ وَأَبْصَارُهُمْ وَجُلُودُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ. وَقَالُوا لِجُلُودِهِمْ لِمَ شَهِدْتُمْ عَلَيْنَا قَالُوا أَنْطَقَنَا اللهُ الَّذِي أَنْطَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ خَلَقَكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ. وَمَا كُنْتُمْ تَسْتَتِرُونَ أَنْ يَشْهَدَ عَلَيْكُمْ سَمْعُكُمْ وَلَا أَبْصَارُكُمْ وَلَا جُلُودُكُمْ وَلَكِنْ ظَنَنْتُمْ أَنَّ اللهَ لَا يَعْلَمُ كَثِيرًا مِمَّا تَعْمَلُونَ
Dan (ingatlah) hari (ketika) musuh-musuh Allah digiring ke dalam neraka lalu mereka dikumpulkan (semuanya). Sehingga apabila mereka sampai ke neraka, pendengaran, penglihatan, dan kulit mereka menjadi saksi terhadap mereka tentang apa yang telah mereka kerjakan. Dan mereka berkata kepada kulit mereka: “Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?” Kulit mereka menjawab: “Allah yang menjadikan segala sesuatu pandai berkata telah menjadikan kami pandai (pula) berkata, dan Dia-lah yang menciptakan kamu pada kali yang pertama dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan. Kamu sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari persaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu terhadapmu bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan. (Fushshilat: 19-22)
Disamping itu, kita harus menjauhi berbagai macam prasangka jelek terhadap saudara kita dan mencari-cari kelemahannya. Karena Allah Siubhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha penerima taubat lagi Maha penyayang.” (Al-Hujurat: 12)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَا مَعْشَرَ مَنْ أَسْلَمَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يُفْضِ الْإِيمَانُ إِلَى قَلْبِهِ، لَا تُؤْذُوا الْمُسْلِمِينَ وَلَا تُعَيِّرُوهُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنْ تَتَبَّعَ عَوْرَةَ أَخِيهِ الْمُسْلِمِ تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ وَلَوْ فِي جَوْفِ رَحْلِهِ
“Wahai sekalian orang yang telah masuk Islam dengan lisannya dalam keadaan imannya belum masuk ke dalam hatinya. Jangan kalian menyakiti orang-orang muslim. Jangan kalian merendahkan mereka. Dan jangan kalian mencari-cari kelemahannya. Karena barangsiapa mencari-cari kelemahan saudaranya yang muslim, niscaya Allah Siubhanahu wa Ta’ala akan mencari-cari kelemahannya. Dan barangsiapa yang Allah Siubhanahu wa Ta’ala mencari-cari kelemahannya, niscaya Allah Siubhanahu wa Ta’ala akan membongkar kelemahan atau kekurangannya walaupun dia berada di dalam rumahnya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2032)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu berkata: “Termasuk tabiat manusia biasa, ada pada dirinya kekurangan, kelemahan, dan kesalahan. Maka yang wajib bagi seorang muslim terhadap saudaranya adalah menutupi kelemahannya dan tidak menyebarkan kelemahan tersebut kecuali dalam keadaan darurat. Maka apabila keadaan darurat tersebut mengharuskan untuk membongkar aibnya dan menyebarkannya, niscaya dia akan melakukannya (demi kepentingan yang syar’i). Akan tetapi kalau bukan karena keadaan darurat, maka yang lebih utama adalah menutupi kekurangan tersebut. Dia adalah manusia biasa. Barangkali dia berbuat salah karena dorongan syahwat atau syubhat yang ada pada dirinya, di mana al-haq tersamar baginya. Maka kemudian dia berbicara dengan ucapan yang batil atau melakukan perbuatan yang menyimpang. Sedangkan seorang mukmin diperintahkan untuk menutupi kekurangan saudaranya. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَا يَسْتُرُ عَبْدٌ عَبْدًا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Tidaklah seorang hamba menutupi kekurangan hamba yang lainnya di dunia kecuali Allah akan menutupi kekurangan atau kesalahan dia pada hari kiamat.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

6. Menunaikan hak-hak saudara
Dengan ditunaikannya hak-haknya, maka akan menguatkan ikatan persaudaraan dan kecintaan pada masing-masingnya. Dan adapun sebagian hak-hak seorang muslim yang wajib untuk ditegakkan adalah sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ؛ رَدُّ السَّلَامِ، وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ، وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ، وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ، وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ
“Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada lima: membalas salam, menjenguk orang sakit, mengikuti jenazah, memenuhi undangan, dan menjawab orang yang bersin.”
Dalam riwayat Muslim:
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ. قِيلَ: مَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ، وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ، وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ، وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللهَ فَسَمِّتْهُ، وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ، وَإِذَا مَاتَ فَاتَّبِعْهُ
“Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada enam. Ditanyakan: “Apa saja wahai Rasulullah?” Beliau berkata: “Bila engkau bertemu dengannya maka ucapkanlah salam kepadanya, bila dia mengundangmu maka penuhilah undangannya, bila dia meminta nasihat maka berilah dia nasihat, bila dia bersin lalu memuji Allah maka jawablah, bila dia sakit maka jenguklah, dan bila dia mati maka ikutilah (jenazahnya).”
Akhirnya, kita memohon kepada Allah Siubhanahu wa Ta’ala, agar Dia melimpahkan hidayah taufiq kepada kita semua untuk menerima segala sesuatu yang Dia cintai dan Dia ridhai, serta menjadikan kita sebagai da’i yang ikhlas, dan menjauhkan kita dari berbagai macam tipu daya setan dari golongan jin dan manusia. Kita pun memohon hanya kepada Allah Siubhanahu wa Ta’ala semata untuk melunakkan hati kita dan menyatukannya di atas kebenaran. 


Amin ya Rabbal ‘alamin.




http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=886