Selasa, 19 Januari 2010

HUKUM ALKOHOL : Najiskah Alkohol? Sahkah Sholat karena menggunakan deodoran beralkohol? Bolehkah Digunakan dalam Parfum, Minyak Wangi, Kosmetika, Obat dan Peralatan Medis?

HUKUM ALKOHOL : Najiskah Alkohol? Sahkah Sholat karena menggunakan deodoran beralkohol? Bolehkah Digunakan dalam Parfum, Minyak Wangi, Kosmetika, Obat dan Peralatan Medis? 


Berikut ini kami kumpulkan beberapa tulisan dan penjelasan Asatidz yang membawakan Fatwa Ulama Ahlussunnah mengenai pembahasan HUKUM ALKOHOL, baik digunakan dalam parfum, kosmetika, obat maupun untuk desinfektan peralatan medis.
1. Hukum Obat dan Parfum Beralkohol

2. Najiskah Alkohol

3. Alkohol Dalam Obat dan Parfum
Semoga Bermanfaat.
————-

Hukum Obat dan Parfum Beralkohol

Penulis : Al-Ustadz Abu Muawiah Hammad

Pertanyaan:
Apa hukum menggunakan obat-obatan dan wangi-wangian yang mengandung alkohol?
Abu Abdil Aziz (0815209????)

Jawab:
Adapun hukum alkohol dijadikan campuran obat atau wangi-wangian, maka berikut jawaban dari Syaikh Yahya Al-Hajuri dan Syaikh Abdurrahman Al-Mar’i:
Syaikh Yahya bin ‘Ali Al-Hajury -hafizhohullah- menjawab dengan nash sebagai berikut:
“Apabila alkohol tersebut sedikit dan larut di dalamnya sehingga tidak meninggalkan bekas sama sekali apalagi memberikan efek atau pengaruh maka itu tidaklah mengapa. Adapun apabila alkohol tersebut terdapat di dalam obat sehingga memberikan pengaruh terhadap pemakai apakah karena dosisnya di dalam obat tersebut 50% atau kurang maka hukumnya tidak boleh”.
Permasalahan ini juga telah ditanyakan kepada Syaikh ‘Abdurrahman bin ‘Umar bin Mar’iy Al-’Adany yang diberi gelar oleh Syaikh Yahya sebagai Faqihud Dar .
Beliau menjawab semakna dengan jawaban Syaikh Yahya di atas dan beliau menambahkan, “Dan itu sama seperti air yang masuk ke dalamnya beberapa tetes urine (air seni). Apabila air tersebut berubah dari asalnya maka air tersebut menjadi najis dan apabila air seni tersebut tidak mengubah dan tidak memberikan pengaruh terhadapnya maka air tersebut tetap pada hukum asalnya”.

Dan beliau (Syaikh ‘Abdurrahman) juga pernah ditanya dengan nash pertanyaan berikut:
“Darimana kita bisa mengetahui bahwa alkohol tersebut sudah terurai dengan zat yang lain ?”

Beliau menjawab:
“(Diketahui) dengan salah satu dari dua perkara (berikut) :
1. Kita menerapkan kaidah yang berbunyi “Apa-apa yang dalam jumlah banyak memabukkan maka dalam jumlah sedikit juga haram”. Maka minyak wangi ini (yang bercampur dengan alkohol-pent.) jika dalam jumlah banyak bisa memabukkan maka dalam jumlah kecil juga tidak boleh menjualnya, tidak boleh membelinya, dan tidak boleh menggunakannya. Dan yang nampak bahwa hal tersebut berjenjang, karena di antara minyak wangi ini ada yang terdapat alkohol di dalamnya dengan kadar 15 %, di antaranya ada yang 2 % dan di antaranya ada yang 6 %, yang jelas inilah kaidah yang difatwakan oleh para ulama.

2. Dengan meneliti minyak wangi ini melalui cara-cara penelitian modern. Jika diketahui dengannya bahwa alkohol ini tidak menyatu dengan zat minyak wangi maka boleh menggunakannya, jika tidak diketahui maka tidak (boleh).
(Adapun) Obat-obatan yang mengandung alkohol, maka rinciannya seperti rincian pada minyak wangi (di atas).
Dan yang nasihatkan adalah meninggalkan penggunaan minyak wangi dan obat-obatan yang terdapat alkohol di dalamnya”.
Sumber : http://al-atsariyyah.com/?p=284
* * *

Najiskah Alkohol?

Penulis : Al-Ustadz Abu Muawiah Hammad

Tanya:
Bismillah,
Ustadz sahkah shalat seseorang sedangkan orang itu memakai deodorant yang mengandung alkohol?
“Ummahat”

Jawab:
Sebenarnya masalah ini dipermasalahkan oleh sebagian orang karena mengira alcohol itu adalah khamar sementara khamar itu adalah najis, karenanya tidak boleh membawa benda beralkohol di dalam shalat.
Hanya saja telah kami jelaskan sebelumnya bahwa alcohol itu tidak identik dengan khamar, karena alcohol hanya menjadi khamar (memabukkan) ketika mencapai ukuran tertentu. Silakan baca keterangannya di sini: http://al-atsariyyah.com/?p=284

Kalaupun anggaplah alcohol itu khamar, maka harus dibahas lagi apakah khamar itu betul najis, dan yang benarnya bahwa khamar bukanlah najis. Ini adalah pendapat Al-Muzani dari Asy-Syafi’iyah dan Daud Azh-Zhahiri. Mereka berdalilkan dengan hadits Anas ketika beliau menceritakan kisah pengharaman khamar awal kali:
فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُنَادِيًا يُنَادِي أَلَا إِنَّ الْخَمْرَ قَدْ حُرِّمَتْ قَالَ فَقَالَ لِي أَبُو طَلْحَةَ اخْرُجْ فَأَهْرِقْهَا فَخَرَجْتُ فَهَرَقْتُهَا فَجَرَتْ فِي سِكَكِ الْمَدِينَةِ
“Kemudian Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan seorang penyeru untuk menyerukan bahwa khamar telah diharamkan”. Anas berkata, “Maka Abu Tholhah berkata kepadaku, “Keluar dan tumpahkanlah”. Maka aku keluar lalu aku tumpahkan. Maka khamar mengalir di jalan-jalan kota Madinah.” (HR. Al-Bukhari no. 2884, 4254 dan Muslim no. 3662)

Imam Al-Bukhari memberikan judul bab pada tempat yang pertama: Bab Menumpahkan Khamar di Jalan. Sisi pendalilan dari hadits ini bahwa khamar bukanlah najis adalah karena khamar-khamar tersebut di buang ke jalanan, sementara telah ada larangan dari Nabi -alaihishshalatu wassalam- untuk membuang najis di jalan yang dilalui oleh kaum muslimin, jadi khamar tidak mungkin najis.
Sisi pendalilan yang kedua bahwa Nabi -alaihishshalatu wassalam- tidak memerintahkan mereka untuk mencuci bejana-bejana bekas penyimpanan khamar mereka, seandainya dia najis maka tentunya tempat penyimpanannya harus dicuci. Jika ada yang mengatakan bahwa perintahnya diundurkan, maka kita katakan bahwa itu bertentangan dengan sifat amanah Nabi -alaihishshalatu wassalam-, karena seorang nabi tidak boleh mengundurkan penjelasan sesuatu dari waktu penjelasan itu dibutuhkan. Dan di sini mereka sangat membutuhkan penjelasan tersebut karena mereka akan segera memakai bejana mereka, wallahu a’lam.

Jadi, khamar bukanlah najis dan inilah pendapat yang dikuatkan oleh Asy-Syaukani dan Ash-Shan’ani -rahimahumallah-. Hanya saja perlu diingatkan bahwa kewajiban seorang muslim ketika melihat khamar adalah menumpahkannya (jika dia berhak melakukannya) sebagaimana perbuatan para sahabat di atas. Karenanya walaupun dia bukan najis, akan tetapi seorang muslim tidak boleh membawanya apalagi memasukkannya ke dalam rumahnya.

Kesimpulannya: Tidak mengapa memakai parfum atau deodorant yang mengandung alcohol dan shalatnya tidak makruh sama sekali, karena dia bukanlah khamar. Wallahu Ta’ala a’lam.


Pertanyaan :
afwan ustadz,cm ingin meluruskan sedikit. dari apa yg pernah ana pelajari dr ilmu kimia, bahwa alkohol itu adalah komponen utama dlm khamar. jadi, suatu cairan/minuman itu bisa mengakibatkan mabuk apabila didalamnya ada alkohol dg kadar tertentu. untuk itu badan POM sendiri telah mengelompokkan minuman keras dlm bbrp kategori. misal: miras kategori A itu kadar alkoholnya maksimal 5%, kategori B kadar alkohol 5-10% dst. allahu a’lamJawab : Syah-syah saja kalau setiap khamar mengandung alkokohol, akan tetapi yang kita pertanyakan: Apakah semua alkohol adalah khamar?

Tentu tidak karena banyak sekali makanan di sekitar kita yang mengandung alkohol, sebut saja di antaranya tape, durian, nasi, dan semacamnya yang dalam pembuatan terdapat proses pembentukan alkohol.


Tidak ada satupun dalil dari Alkitab dan sunnah yang mengharamkan alkohol, akan tetapi yang ada hanya pengharam khamar, yaitu semua segala sesuatu yang memabukkan. Jadi khamar diharamkan karena dia memabukkan, bukan karena dia mengandung alkohol. Karenanya para ulama mengharamkan ganja dan teman-temannya dengan dalil bahwa dia termasuk khamar, padahal di dalamnya tidak mengandung alkohol.

Sebagian ustadz mengabarkan kepada kami bahwa LPPOM MUI memberikan kadar maksimal 2 %, yakni jika kurang dari itu maka tidak dianggap haram.
Intinya, tidak semua alkohol adalah khamar, akan tetapi dia berubah menjadi khamar ketika mencapai ukuran tertentu, wallahu a’lam.



Pertanyaan :
ust, apakah ini tdk bertentangan dengan artikel jawaban atas pertanyaan :hukum parfum berakohol?  http://al-atsariyyah.com/?p=284karena dinasehatkan untuk meninggalkan minyak wangi yang mengandung alkohol.
mohon penjelasan..

Jawab : Sebelumnya kami ingatkan bahwa itu jawaban pada artikel ‘hukum parfum berakohol’ adalah jawaban dari Asy-Syaikh Abdurrahman Al-Mar’i.
Insya Allah tidak bertentangan. Hal itu karena ada sebagian ulama lain di antara
Asy-Syaikh Ibnu Baz dan Asy-Syaikh Muqbil yang melarang alkohol secara mutlak. Maka nasehat Asy-Syaikh Abdurrahman untuk meninggalkan parfum yang beralkohol adalah saran agar untuk keluar dari lingkup perbedaan pendapat di kalangan ulama, dan bukan merupakan larangan untuk menggunakannya.
Karena sebagaimana yang telah diketahui bahwa beliau tidak mengharamkan alkohol secara mutlak, dan sesuatu yang tidak haram tidak ada alasan untuk meninggalkannya kecuali dari sisi afdhaliah (yang paling afdhal) atau wara` (berhati-hati). Wallahu a’lam.
Sumber : http://al-atsariyyah.com/?p=1553
* * *

Alkohol dalam Obat dan Parfum

Penulis: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari
Banyak pertanyaan seputar alkohol yang masuk ke meja redaksi, kaitannya dengan obat, kosmetika, atau pun lainnya. Berikut ini penjelasan Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari
Alhamdulillah, para ulama besar abad ini telah berbicara tentang permasalahan alkohol1, maka di sini kita nukilkan fatwa-fatwa mereka sebagai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.

Terdapat perbedaan ijtihad di antara mereka dalam memandang permasalahan ini. Asy-Syaikh Ibnu Baz Rahimahullah berpendapat bahwa sesuatu yang telah bercampur dengan alkohol tidak boleh dimanfaatkan, meskipun kadar alkoholnya rendah, dalam arti tidak mengubahnya menjadi sesuatu yang memabukkan. Karena hal ini tetap masuk dalam hadits

مَا أَسْكَرَ كَثِيْرُهُ فَقَلِيْلُهُ حَرَامٌ

“Sesuatu yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnyapun haram.”2

Ketika beliau ditanya tentang obat-obatan yang sebagiannya mengandung bahan pembius dan sebagian lainnya mengandung alkohol, dengan perbandingan kadar campuran yang beraneka ragam, maka beliau menjawab: “Obat-obatan yang memberi rasa lega dan mengurangi rasa sakit penderita, tidak mengapa digunakan sebelum dan sesudah operasi. Kecuali jika diketahui bahwa obat-obatan tersebut dari “Sesuatu yang banyaknya memabukkan” maka tidak boleh digunakan berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam:

مَا أَسْكَرَ كَثِيْرُهُ فَقَلِيْلُهُ حَرَامٌ

“Sesuatu yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnyapun haram.”

Adapun jika obat-obatan itu tidak memabukkan dan banyaknya pun tidak memabukkan, hanya saja berefek membius (menghilangkan rasa) untuk mengurangi beban rasa sakit penderita maka yang seperti ini tidak mengapa.”(Majmu’ Fatawa, 6/18)

Juga ketika beliau ditanya tentang parfum yang disebut
الْكُلُوْنِيَا
(cologne), beliau berkata: “Parfum family:traditional arabic’>
الْكُلُوْنِيَا

(cologne) yang mengandung alkohol tidak boleh (haram) untuk digunakan. Karena telah tetap (jelas) di sisi kami berdasarkan keterangan para dokter yang ahli di bidang ini bahwa parfum jenis tersebut memabukkan karena mengandung “spiritus” yang dikenal. Oleh sebab itu, haram bagi kaum lelaki dan wanita untuk menggunakan parfum jenis tersebut…

Kalau ada parfum jenis cologne yang tidak memabukkan maka tidak haram menggunakannya. Karena hukum itu berputar sesuai dengan ‘illah-nya3, ada atau tidaknya ‘illah tersebut (kalau ‘illah itu ada pada suatu perkara maka perkara itu memiliki hukum tersebut, kalau tidak ada maka hukum itu tidak berlaku padanya).” (Majmu’ Fatawa , 6/396 dan 10/38-39)

Dan yang lebih jelas lagi adalah jawaban beliau pada Majmu’ Fatawa (5/382, dan 10/41) beliau berkata: ”Pada asalnya segala jenis parfum dan minyak wangi yang beredar di khalayak manusia hukumnya halal. Kecuali yang diketahui mengandung sesuatu yang merupakan penghalang untuk menggunakannya, karena ‘sesuatu’ itu memabukkan atau banyaknya memabukkan atau karena ‘sesuatu’ itu adalah najis, dan yang semacamnya…

Jadi, jika seseorang mengetahui ada parfum yang mengandung ‘sesuatu’ berupa bahan memabukkan atau benda najis yang menjadi penghalang untuk menggunakannya, maka diapun meninggalkannya (tidak menggunakanya) seperti cologne. Karena telah tetap (jelas) di sisi kami berdasarkan persaksian para dokter (yang ahli di bidang ini) bahwa parfum ini tidak terbebas dari bahan memabukkan karena mengandung ‘spiritus’ berkadar tinggi, yang merupakan bahan memabukkan, sehingga wajib untuk ditinggalkan (tidak digunakan). Kecuali jika ditemukan ada parfum jenis ini yang terbebas dari bahan memabukkan (maka tentunya tidak mengapa untuk digunakan). Dan jenis-jenis parfum yang lain sebagai gantinya, sekian banyak yang dihalalkan oleh Allah Subhaanahu wata’ala, walhamdulillah.

Demikian pula halnya, segala macam minuman dan makanan yang mengandung bahan memabukkan, wajib untuk ditinggalkan. Kaidahnya adalah: “Sesuatu yang banyaknya memabukkan maka sedikitnya pun haram”, sebagaimana sabda Rasulullah n

مَا أَسْكَرَ كَثِيْرُهُ فَقَلِيْلُهُ حَرَامٌ

“Sesuatu yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnyapun haram.”

Dan hanya Allah k lah yang memberi taufik.”

Demikian pula yang terpahami dari fatwa guru kami Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i Rahimahullah (dalam Ijabatus Sa`il hal. 697) bahwa pendapat beliau sama dengan pendapat gurunya yaitu Asy-Syaikh Ibnu Baz Rahimahullah ketika ditanya tentang cologne. Beliau menjawab (tanpa rincian) bahwa tidak boleh menggunakannya dan tidak boleh memperjualbelikannya, berdasarkan hadits Anas bin Malik z:
لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْخَمْرِ عَشَرَةً: عَاصِرُهَا وَمُعْتَصِرُهَا وَشَارِبُهَا وَحَامِلُهَا وَالْمَحْمُولَةُ إِلَيْهِ وَسَاقِيْهَا وَبَائِعُهَا وَآكِلُ ثَمَنِهَا وَالْمُشْتَرِي لَهَا وَالْمُشْتَرَاةُ لَهُ
“Rasulullah n melaknat 10 jenis orang karena khamr: yang memprosesnya (membuatnya), yang minta dibuatkan, yang meminumnya, yang membawanya, yang dibawakan untuknya, yang menghidangkannya, yang menjualnya, yang makan (menikmati) harga penjualannya, yang membelinya dan yang dibelikan untuknya.”4

Sementara itu, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin Rahimahullah dan Asy-Syaikh Al-Albani Rahimahullah berpendapat bahwa pada permasalahan ini ada rincian, sebagaimana yang akan kita simak dengan jelas dari fatwa keduanya.

Asy-Syaikh Ibnu ‘UtsaiminRahimahullah dalam Asy-Syarhul Mumti’ (6/178) cetakan Darul Atsar, berkata: “Bagaimana menurut kalian tentang sebagian obat-obatan yang ada pada masa ini yang mengandung alkohol, terkadang digunakan pada kondisi darurat?
Kami nyatakan: Menurut kami, obat-obatan ini tidak memabukkan seperti mabuk yang diakibatkan oleh khamr, melainkan hanya berefek mengurangi kesadaran penderita dan mengurangi rasa sakitnya. Jadi ini mirip dengan obat bius yang berefek menghilangkan rasa sakit (sehingga penderita tidak merasakan sakit sama sekali) tanpa disertai rasa nikmat dan terbuai.

Telah diketahui bahwa hukum yang bergantung pada suatu ‘illah5, jika ‘illah tersebut tidak ada maka hukumnya pun tidak ada. Nah, selama ‘illah suatu perkara dihukumi khamr adalah “memabukkan”, sedangkan obat-obatan ini tidak memabukkan, berarti tidak termasuk kategori khamr yang haram. Wallahu a’lam. Wajib bagi kita untuk mengetahui perbedaan antara pernyataan: “Sesuatu yang banyaknya memabukkan maka sedikitnya pun haram” dengan pernyataan: “Sesuatu yang memabukkan dan dicampur dengan bahan yang lain maka haram.” Karena pernyataan yang pertama artinya minuman itu sendiri (adalah merupakan khamr), apabila anda minum banyak tentu anda mabuk, dan apabila anda minum sedikit maka anda tidak mabuk, namun Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam mengatakan “Sedikitnyapun haram.” (Kenapa demikian padahal yang sedikit tersebut tidak memabukkan?) Karena itu merupakan dzari’ah (artinya bahwa yang sedikit itu merupakan wasilah/ perantara yang akan menyeret pelakunya sampai akhirnya dia minum banyak, sehingga diharamkan). Adapun mencampur dengan bahan lain dengan perbandingan kadar alkoholnya sedikit sehingga tidak menjadikan bahan tersebut memabukkan maka yang seperti ini tidak mengubah bahan tersebut menjadi khamr (yang haram). Jadi ibaratnya seperti benda najis yang jatuh ke dalam air (tapi kadar najisnya sedikit) dan tidak menajisi (merusak kesucian) air tersebut (karena warna, bau, ataupun rasanya tidak berubah) maka air tersebut tidak menjadi najis karenanya (tetap suci dan mensucikan).”

Asy-Syaikh Al-Albani Rahimahullah ketika ditanya tentang berbagai parfum atau minyak wangi yang mengandung alkohol, maka beliau menjawab: “Apabila kadar alkohol yang terkandung di dalamnya menjadikan parfum-parfum yang harum itu sebagai cairan yang memabukkan, dalam arti kalau diminum oleh seorang pecandu khamr dan ternyata memberi pengaruh seperti pengaruh khamr (yaitu mengakibatkan dia mabuk, maka parfum-parfum tersebut hukumnya tidak boleh (haram untuk digunakan). Adapun jika kadar alkoholnya sedikit (dalam arti tidak mengubah parfum-parfum tersebut menjadi memabukkan) maka hukumnya boleh. (Kaset Silsilatul Huda wan Nur)
Kemudian kita akhiri pembahasan ini dengan fatwa Asy-Syaikh Al-Albani v yang sangat rinci. Beliau Rahimahullah berkata: “Untuk memahami makna hadits:

مَا أَسْكَرَ كَثِيْرُهُ فَقَلِيْلُهُ حَرَامٌ

“Sesuatu yang banyaknya memabukkan maka sedikitnya pun haram.”

Mari kita mendatangkan contoh: Kalau ada 1 liter air yang mengandung 50 gram bahan memabukkan yang kita namakan alkohol, maka cairan ini –yang tersusun dari air dan alkohol– berubah menjadi memabukkan. Namun jika seseorang minum sedikit maka dia tidak akan mabuk. Lain halnya jika dia minum dengan kadar yang lazim diminum oleh seseorang maka dia akan mabuk, dengan demikian menjadilah yang sedikit tadi haram. Sebaliknya, kalau ada 1 liter air mengandung 5 gram alkohol (misalnya). Jika seseorang minum 1 liter air tersebut sampai habis dia tidak mabuk, maka yang seperti ini halal untuk diminum.
Selanjutnya, apakah boleh bagi seorang muslim mengambil 1 liter air kemudian menumpahkan 5 gram alkohol ke dalamnya dengan alasan bahwa 5 gram alkohol tersebut tidak mengubah 1 liter air yang ada menjadi memabukkan?

Jawabannya: Tidak boleh. Kenapa tidak boleh? Karena tidak boleh bagimu untuk memiliki bahan yang memabukkan yang merupakan inti dari khamr, yaitu alkohol. Jadi kegiatan mencampur alkohol dengan bahan lain tidak boleh dalam syariat Islam…

Telah kami nyatakan bahwa obat-obatan yang ada di apotek-apotek pada masa ini –bahkan boleh jadi kebanyakannya– mengandung alkohol, atau tertera padanya tulisan perbandingan kadar alkoholnya: 5 gram, 10 gram… Apakah kita mengatakan bahwa obat-obatan ini jika diminum seorang sehat ataupun sakit dengan kadar yang banyak dan ternyata dia mabuk, berarti tidak boleh digunakan karena memabukkan, meskipun dia hanya menelan 1 sendok saja? Inilah yang dimaksudkan dengan hadits “Sesuatu yang banyaknya memabukkan maka sedikitnya pun haram.” Adapun jika perbandingan alkoholnya sedikit –dalam arti berapapun yang dia minum tidak menjadikannya mabuk– maka boleh menggunakannya, meskipun dia minum banyak.

Namun perkara lain (yang penting untuk diingat) sama dengan apa yang telah saya sebutkan sebelumnya, bahwa obat-obatan yang mengandung alkohol dengan perbandingan yang tidak melanggar syariat sesuai dengan rincian yang disebutkan, tidak boleh bagi seorang apoteker muslim untuk meracik obat yang seperti itu. Karena tidak boleh ada alkohol di rumah seorang muslim ataupun di tempat kerjanya. Haram baginya untuk membelinya atau membuatnya sendiri. Dan ini perkara yang jelas karena Rasulullah n bersabda:

لَعَنَ اللهُ فِي الْخَمْرِ عَشَرَةً

“Allah melaknat 10 jenis orang karena khamr…”7

Seorang apoteker yang hendak meracik obat dan mencampurnya dengan alkohol yang memabukkan itu, baik dengan cara membuat alkohol sendiri (dengan proses pembuatan tertentu) atau membeli alkohol yang sudah jadi, termasuk dalam salah satu dari 10 jenis orang yang dilaknat dalam hadits tersebut.
Lain halnya apabila seseorang membeli obat yang sudah jadi, dengan kadar alkohol yang rendah yang tidak menjadikan banyaknya obat tersebut memabukkan, maka ini boleh.” (Kaset Silsilatul Huda wan Nur)

Dan kami memandang bahwa pendapat Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsamin Rahimahullah  dan Asy-Syaikh Al-Albani Rahimahullah, lebih dekat kepada kebenaran.

Wallahu a’lam.

1 Perlu diketahui bahwa alkohol (alkanol) ada beberapa golongan. Di antaranya etanol (inilah yang dijadikan sebagai zat pelarut, bahan bakar, atau zat asal untuk preparat-preparat farmasi, dan sebagian besar digunakan untuk minuman keras), spiritus, dsb., sebagaimana diterangkan dalam buku-buku kimia dan farmasi.

2 Diriwayatkan oleh Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dari Jabir bin Abdillah c. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i dalam Ash-Shahihul Musnad (1/160-161). Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani, dan beliau menshahihkannya dengan syawahidnya dari beberapa shahabat yang lain (Al-Irwa‘, 8/42-43).

3 ‘Illah suatu hukum adalah sebab penentu suatu perkara memiliki hukum tersebut.

4 Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (1318) dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil Rahimahullah dalam kitabnya Ash-Shahihul Musnad (1/57) dan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi. Hadits yang semakna dengan hadits ini juga diriwayatkan dengan lafadz
لَعَنَ اللهُ …
(Allah melaknat…) dari Ibnu ‘Umar c, oleh Ath-Thahawi, Al-Hakim, dan yang lainnya, dishahihkan oleh Al-Albani dengan keseluruhan jalan-jalannya dalam Al-Irwa` (5/365-367).

5 Lihat catatan kaki no. 3

6 Lihat haditsnya secara lengkap pada fatwa Asy-Syaikh Muqbil di halaman sebelumnya.
Sumber : http://asysyariah.com/print.php?id_online=312
* * *

Najiskah Alkohol?

Penulis : Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari

Apakah alkohol yang digunakan untuk disinfeksi alat-alat medis termasuk najis?

(‘Aisyah, Yogyakarta)
Jawab:
Alhamdulillah. Telah kita ketahui pada pembahasan Problema Anda edisi lalu bahwa alkohol merupakan bahan memabukkan yang merupakan inti dari khamr, sehingga haram bagi seorang muslim untuk memiliki alkohol dengan cara apa pun, baik dengan membuatnya sendiri, membelinya, atau dengan cara yang lain.
Desinfeksi alat-alat medis bukanlah alasan yang ditolerir untuk bisa menggunakan alkohol, dengan dua alasan:

1. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam  bersabda:
إِنَّهُ لَيْسَ بِدَوَاءٍ وَلَكِنَّهُ دَاءًٌ
“Sesungguhnya khamr itu bukan obat, melainkan penyakit.”
Beliau mengatakan hal ini ketika Thariq bin Suwaid Al-Ju’fi bertanya tentang pembuatan khamr untuk pengobatan. (HR. Muslim, no. 1984)
Dan masih ada hadits-hadits lainnya yagn menunjukkan haramnya pengobatan dengan sesuatu yang haram.

2. Kondisi darurat yang dengan itu diperbolehkan menggunakan sesuatu yang haram, adalah jika memenuhi dua persyaratan, sebagaimana ditegaskan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin Rahimahullah dalam Asy-Syarhul Mumti’ (6/330, cetakan Darul Atsar):
a. Seseorang terpaksa menggunakannya jika tidak ada alternatif lain.
b. Ada jaminan/ kejelasan bahwa dengan itu kondisi darurat akan benar-benar teratasi.
Padahal fakta membuktikan bahwa penanganan medis bukanlah satu-satunya alternatif kesembuhan. Karena tidak sedikit penderita yang sembuh tanpa penanganan medis. Melainkan hanya dengan rutin mengkonsumsi obat-obat nabawi atau ramuan-ramuan tertentu disertai kesungguhan dalam menghindari pantangan penyakit yang dideritanya. Anggaplah pada kondisi darurat tertentu terkadang seseorang terpaksa harus menjalani penanganan medis, namun –alhamdulillah– masih banyak alternatif lain selain alkohol untuk disinfeksi alat-alat medis.

Adapun najis atau tidaknya alkohol, maka ini kembali kepada permasalahan najis atau tidaknya khamr. Jumhur ulama, termasuk imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad rahimahumullah) berpendapat bahwa khamr adalah najis. Dan ini dibenarkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Mereka berdalilkan firman Allah ubhaanahu wa ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَاْلأَنْصَابُ وَاْلأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, hanyalah sesungguhnya khamr, judi, patung-patung yang disembah, dan azlam1 adalah rijs, merupakan amalan setan.” (Al-Ma`idah: 90)

Namun yang benar adalah pendapat Rabi’ah (guru Al-Imam Malik), Al-Laits bin Sa’d Al-Mishri, Al-Muzani (sahabat Al-Imam Asy-Syafi’i) dan Dawud Azh-Zhahiri, bahwa khamr tidak najis. Ini yang dipilih oleh Al-Imam Asy-Syaukani, Asy-Syaikh Al-Albani, dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah. Karena hukum asal segala sesuatu adalah suci kecuali ada dalil yang menunjukkan najisnya. Karena tidak ada dalil yang menunjukkan najisnya khamr, maka kita menghukuminya dengan hukum asal.
Meskipun khamr haram namun tidak berarti najis, karena tidak ada konsekuensi bahwa sesuatu yang haram mesti najis. Al-Imam Ash-Shan’ani dan Al-Imam Asy-Syaukani menjelaskan kekeliruan anggapan sebagian ulama bahwa sesuatu yang haram konsekuensinya menjadi najis. Yang benar, hukum asal segala sesuatu adalah suci dan keharamannya tidaklah otomatis menjadikan hal itu najis.
Sebagai contoh, emas dan kain sutera telah disepakati dan diketahui bahwa keduanya suci, meskipun haram bagi kaum lelaki untuk mengenakannya. Namun sebaliknya, najisnya sesuatu berkonsekuensi bahwa sesuatu itu haram.

Adapun dalil yang digunakan oleh jumhur ulama, maka hal itu adalah ijtihad mereka –rahimahumullah– dalam memahami ayat tersebut. Padahal najis yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah najis maknawi, artinya minum khamr adalah perbuatan najis (kotor) yang haram, meskipun zat khamr itu sendiri adalah suci. Pemahaman ini didukung dua faktor:

1. Khamr dalam ayat tersebut disejajarkan dengan najisnya alat-alat judi, berhala-berhala sesembahan, dan anak-anak panah yang digunakan untuk mengundi nasib. Padahal disepakati bersama bahwa benda-benda tersebut adalah suci, yang najis adalah perbuatan judinya, perbuatan menyembah berhala, dan perbuatan mengundi nasib. Demikian pula dengan khamr. Yang najis adalah perbuatan minum khamr, bukan khamr itu sendiri.

2. Kata rijs (yang diartikan najis) dalam ayat di atas disifati dengan kalimat berikutnya, yaitu
مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ
(merupakan amalan setan). Jadi yang dimaksud adalah amalannya bukan zatnya.

Kesimpulannya, bahwa ayat tersebut tidak cukup sebagai dalil untuk menggeser hukum asal tadi.
Justru terdapat hadits-hadits shahih yang menunjukkan sucinya khamr, sehingga makin menguatkan hukum asal tersebut. Hadits-hadits itu di antaranya:

1. Hadits Anas bin Malik Radhiallaahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari Rahimahullah dalam Shahih-nya, Kitabul Mazhalim, Bab Shubbil Khamri fi Ath-Thariq no. 2464, juga hadits Abu Sa’id Al-Khudri Radhiallaahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya, Kitabul Musaqat, Bab Tahrimi Bai’il Khamr no. 1578. Disebutkan dalam kedua hadits itu bahwa para shahabat menumpahkan khamr mereka di jalan-jalan ketika diharamkannya khamr. Ini menunjukkan bahwa khamr bukan najis, karena jalan-jalan yang dilewati kaum muslimin tidak boleh dijadikan tempat pembuangan najis.

Bila ditanyakan: “Apakah hal itu dengan sepengetahuan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam?” Maka dijawab: Jika Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam mengetahuinya berarti hal itu dengan persetujuan beliau Shallallaahu ‘alaihi wasallam. Berarti hadits tersebut marfu’ secara hukum. Bila tidak diketahui oleh beliau Shallallaahu ‘alaihi wasallam, maka sesungguhnya Allah Subhaanahu wa ta’ala mengetahuinya, dan Allah Subhaanahu wa ta’ala tidak akan membiarkannya bila memang hal itu adalah suatu kemungkaran, karena waktu itu merupakan masa turunnya wahyu.

2. Hadits Ibnu ‘Abbas Radhiallaahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya, Kitabul Musaqat, Bab Tahrimi Bai’il Khamr no. 1579, bahwa seorang laki-laki menghadiahkan sebuah wadah berisi khamr kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam. Maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata: “Tidakkah engkau mengetahui bahwa khamr telah diharamkan?” Kemudian ada seseorang yang membisiki laki-laki tersebut untuk menjualnya. Maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ الَّذِي حَرَّمَ شُرْبَهَا حَرَّمَ بَيْعَهَا

“Sesungguhnya Dzat Yang mengharamkan untuk meminumnya juga mengharamkan untuk menjualnya.”

Kemudian Ibnu ‘Abbas Radhiallaahu ‘anhu berkata:

فَفَتَحَ الْمَزَادَ حَتَّى ذَهَبَ مَا فِيْهَا

“Maka lelaki itu membuka wadah khamr tersebut dan menumpahkan isinya hingga habis.”
Kejadian ini disaksikan oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan beliau tidak memerintahkan kepadanya untuk mencuci wadah tersebut. Ini menunjukkan bahwa khamr tidaklah najis. Wallahu a’lam bish-shawab.

Maraji’/ Sumber Bacaan:
 Al-Majmu’ lin Nawawi, 2/581-582
 Subulus Salam, penjelasan hadits kedua dari Bab Izalatun Najasah, 1/55-56
 Ad-Darari Al-Mudhiyyah, hal.19-20
 Tamamul Minnah, hal. 54-55
 Asy-Syarhul Mumti’, 1/366-367
1 Azlam adalah tiga batang anak panah yang tidak berbulu, tertulis pada salah satunya “Lakukan”, yang kedua “Jangan lakukan”, dan yang ketiga kosong tanpa tulisan. Seseorang berbuat sesuai dengan anak panah yang terambil.

Sumber : http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=311 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar