Di dalam Al-Qur’an, Allah Siubhanahu wa Ta’ala banyak
memuji para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang mana mereka adalah
murid-murid Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan Allah
Siubhanahu wa Ta’ala juga telah menyebutkan dan menceritakan tentang
keutamaan-keutamaan mereka di dalam kitab Taurat dan Injil. Sebagaimana
di dalam firman-Nya:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ
رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا
مِنَ اللهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ
السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي
الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ
فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ
الْكُفَّارَ وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Muhammad itu adalah utusan Allah. Dan orang-orang yang bersama
dengannya adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih
sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia
Allah dan keridhaan-Nya. Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka
dari bekas sujud.
Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan
sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan
tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi
besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan
hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati
orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah
menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang
shalih di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Fath: 29)
Mereka adalah generasi yang mendapatkan keutamaan-keutamaan yang tidak
mungkin didapatkan oleh generasi-generasi sebelum maupun sesudahnya.
Generasi yang terbaik setelah para nabi dan para rasul ‘alaihimussalam.
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ
وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا
عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ
خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di
antara orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun
ridha kepada Allah. Dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya. Mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 100)
Oleh karena itulah Allah Siubhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk
beriman sebagaimana keimanan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Terekam
dalam firman-Nya:
فَإِنْ ءَامَنُوا بِمِثْلِ مَا ءَامَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ
تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللهُ وَهُوَ
السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya,
sungguh mereka telah mendapat petunjuk. Dan jika mereka berpaling,
sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah
akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha mendengar lagi
Maha mengetahui.” (Al-Baqarah: 137)
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ
سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ
بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu
yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, janganlah kamu mengikuti
keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, serta ikutilah
jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah
kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
(Luqman: 15)
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu mengatakan: “Dan seluruh sahabat
radhiyallahu ‘anhum adalah orang-orang yang kembali kepada Allah
Siubhanahu wa Ta’ala. Maka wajib untuk mengikuti jalan, ucapan-ucapan,
dan keyakinan mereka. Ini adalah perkara yang paling besarnya.”
(I’lamul Muwaqqi’in 4/120)
Dan Allah Siubhanahu wa Ta’ala melalui lisan rasul-Nya Shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk berdoa dalam setiap rakaat
agar kita mendapatkan hidayah ke jalan mereka radhiyallahu ‘anhum, yang
telah mengantarkan mereka untuk mendapatkan kenikmatan ilmu yang
bermanfaat dan amalan yang shalih.
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ. صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah
Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka.” (Al-Fatihah: 6-7)
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: “Barangsiapa yang
mengikuti/meneladani, maka hendaknya dia meneladani orang yang telah
mati. Yaitu mereka para sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka adalah generasi terbaiknya umat ini. Hati-hati mereka paling
bersih. Ilmunya paling dalam dan yang paling sedikit takallufnya
(membebani diri). Yaitu kaum yang Allah Siubhanahu wa Ta’ala telah
memilih mereka untuk menjadi para sahabat nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Mereka (berjalan) di atas petunjuk yang lurus, demi Allah
Siubhanahu wa Ta’ala Dzat yang memiliki Ka’bah.”
Allah Siubhanahu wa Ta’ala juga menyatakan bahwa mengikuti jalan dan
pemahaman yang tidak dijalani dan tidak dimiliki oleh para sahabat
adalah kesesatan.
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى
وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى
وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya,
dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan
ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami
masukkan ia ke dalam Jahannam. Dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat
kembali.” (An-Nisa’: 115)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan dengan jelas dan
tegas bahwa tidak ada jalan yang selamat kecuali jalan yang ditempuh
oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat
radhiyallahu ‘anhum. Terkhusus pada zaman-zaman di mana merebak
berbagai macam fitnah yang bersumber dari syubhat dan syahwat.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ
الْمَهْدِيِّينَ تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Maka barangsiapa yang hidup di antara kalian niscaya akan melihat
perselisihan yang banyak. Maka hendaklah kalian berpegang dengan
sunnahku dan sunnah Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin yang mendapatkan petunjuk.
Peganglah dia dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian.”
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullahu berkata: “Ini adalah berita dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perkara yang pasti
terjadi pada umatnya setelah beliau meninggal. Yaitu, banyak terjadi
perselisihan di dalam prinsip-prinsip agama dan cabang-cabangnya, di
dalam ucapan, perbuatan, maupun keyakinan. Dan hal ini sesuai dengan
apa yang diriwayatkan dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
perpecahan yang akan terjadi pada umatnya menjadi 73 golongan, semuanya
di dalam neraka kecuali satu golongan. Golongan tersebut adalah siapa
saja yang berada di atas jalan yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum di atasnya.
Dan demikianlah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam
hadits ini memerintahkan agar kita berpegang teguh dengan Sunnah beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah Khulafa’ Ar-Rasyidin setelah
beliau meninggal. Maka hal ini mencakup seluruh perkara yang beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para khalifahnya di atasnya, baik
berupa keyakinan, amalan, maupun ucapan. Inilah sunnah yang sempurna.”
(Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 2/120)
Allah Siubhanahu wa Ta’ala memuji jiwa pendidik dan sifat rahmah yang
ada pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap umatnya agar
kita meneladani beliau di dalam dakwah dan tarbiyah yang kita tegakkan,
sehingga kita mendapatkan keberhasilan dan kesuksesan.
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri,
berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan
keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap
orang-orang mukmin.” (At-Taubah: 128)
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَثَلِي وَمَثَلُكُمْ كَمَثَلِ رَجُلٍ أَوْقَدَ نَارًا فَجَعَلَ
الْجَنَادِبُ وَالْفَرَاشُ يَقَعْنَ فِيهَا وَهُوَ يَذُبُّهُنَّ عَنْهَا
وَأَنَا آخِذٌ بِحُجَزِكُمْ عَنْ النَّارِ وَأَنْتُمْ تَفَلَّتُونَ مِنْ
يَدِي
“Permisalan antara aku dan kalian seperti orang yang menyalakan api (di
malam hari di tempat yang terbuka). Maka mulailah serangga-serangga dan
anai-anai masuk ke dalam api tersebut padahal orang itu telah
menghalaunya (agar tidak masuk ke dalam api). Dan aku pegangi
pinggang-pinggang kalian supaya kalian tidak masuk ke dalam api neraka.
Sedangkan kalian senantiasa berusaha untuk melepaskan diri dari
tanganku.” (HR. Muslim)
Para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang dibimbing dan dididik oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung, dengan izin
Allah Siubhanahu wa Ta’ala semata, mereka menjadi generasi yang terbaik
dalam keilmuan dan amalan. Mereka adalah generasi yang dimuliakan dan
didamba-dambakan. Kalau kita membaca kisah-kisah yang shahih tentang
mereka, tentu kita akan mendapatkan berbagai macam bimbingan dan
pelajaran yang menakjubkan.
Di antara ciri-ciri khas yang paling menonjol dalam kehidupan muamalah
di antara mereka adalah sikap saling mencintai (tahabub) dan saling
merahmati (tarahum). Sebagaimana apa yang Allah Siubhanahu wa Ta’ala
firmankan tentang mereka:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
“Muhammad itu adalah utusan Allah. Dan orang-orang yang bersama dengan
dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang
sesama mereka.” (Al-Fath: 29)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ
فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ
عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad
dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah
mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah
lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap
orang-orang kafir.” (Al-Ma’idah: 54)
Yaitu kehidupan yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat
permisalan tentangnya seperti satu tubuh, sebagaimana dalam sabdanya:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ
مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ
الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Permisalan orang-orang yang beriman dalam cinta-mencintai,
rahmat-merahmati, dan sayang-menyayangi di antara mereka seperti satu
tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh merintih, niscaya seluruh
anggota tubuh yang lain akan turut merasakannya dengan tidak bisa tidur
pada malam hari dan rasa demam badannya.” (Muttafaq ‘alaih dari
An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu)
Allah Siubhanahu wa Ta’ala menceritakan tentang bukti kecintaan
Al-Anshar terhadap Muhajirin radhiyallahu ‘anhum di dalam firman-Nya:
وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ
يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ
حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ
بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ
الْمُفْلِحُونَ. وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا
اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا
تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ
رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman
(Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai
orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan
dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang
Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri
mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan
itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah
orang-orang yang beruntung. Dan orang-orang yang datang sesudah mereka
(Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah
kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari
kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami
terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau
Maha penyantun lagi Maha penyayang’.” (Al-Hasyr: 9-10)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Datang seseorang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian dia berkata:
“Sesungguhnya aku orang yang fakir (dan dalam kesulitan hidup).” Maka
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus utusan kepada sebagian
istri beliau, maka istri beliau menjawab: “Demi Dzat yang mengutusmu
dengan membawa kebenaran, saya tidak memiliki kecuali air minum.”
Kemudian beliau mengutus ke istri yang lainnya, maka istri tersebut
menjawab dengan jawaban yang sama. Sehingga istri-istri beliau semuanya
menjawab dengan jawaban yang sama: “Demi Dzat yang mengutusmu dengan
membawa kebenaran, saya tidak memiliki kecuali air minum.”
Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Siapa yang akan
menjamu tamu ini?” Maka ada seorang Anshar menjawab: “Saya, wahai
Rasulullah.” Dia lalu berangkat bersama dengan tamu tersebut ke
rumahnya. Kemudian dia berkata kepada istrinya: “Muliakanlah tamu
Rasulullah ini!”
Dalam riwayat yang lain dia berkata kepada istrinya: “Apakah kamu
memiliki sesuatu?” Istrinya menjawab: “Tidak, kecuali makan malam
anak-anak kita.”
Dia berkata: “Beri mereka (anak-anak) sesuatu yang membuat mereka lupa.
Apabila mereka ingin makan malam, tidurkanlah mereka. Dan apabila tamu
kita telah masuk, matikan pelita dan tampakkanlah bahwa kita telah
makan!”
Kemudian anak-anak mereka tidur dan tamu tersebut makan, sehingga suami
istri tersebut tidur dalam keadaan lapar. Maka tatkala masuk pagi hari,
dia datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau
bersabda: “Sungguh-sungguh Allah Siubhanahu wa Ta’ala takjub dengan
perbuatan kalian terhadap tamu tersebut tadi malam.” (Riyadhus Shalihin
569)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa membimbing,
menuntun, dan mengarahkan para sahabat radhiyallahu ‘anhum bagaimana
mereka saling merahmati dan saling mencintai karena Allah Siubhanahu wa
Ta’ala semata. Dan di antara bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam terhadap mereka radhiyallahu ‘anhum pada khususnya dan bagi
umat secara umum adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak sempurna keimanan salah seorang di antara kalian, sampai dia
mencintai untuk saudaranya sebagaimana dia mencintai untuk dirinya.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullahu menjelaskan: “Dalam hadits Anas bin
Malik radhiyallahu ‘anhu terdapat dalil yang menunjukkan bahwa seorang
mukmin akan senang terhadap segala sesuatu yang menyenangkan saudaranya
yang mukmin, dan dia menginginkan untuk saudaranya sebagaimana dia
menginginkan untuk dirinya dari berbagai macam kebaikan. Ini semuanya
bersumber dari hati yang selamat dari penyakit khianat, iri, dan
dengki. Karena penyakit hasad (iri dan dengki) akan mengharuskan
pemiliknya untuk membenci orang yang mengungguli dia dalam kebaikan
atau menyamainya. Dia ingin menjadi orang yang berbeda dengan orang
lain dengan keutamaan-keutamaan yang ada pada dirinya. Sedangkan
keimanan menuntut perkara yang bertolak belakang dengan perkara
tersebut. Yaitu dia ingin saudara-saudaranya yang beriman seluruhnya,
sama-sama mendapatkan kebaikan yang Allah Siubhanahu wa Ta’ala telah
berikan kepada dirinya dengan tanpa mengurangi akan haknya. Dan Allah
Siubhanahu wa Ta’ala memuji hamba-Nya yang tidak menginginkan
kesombongan dan kerusakan di muka bumi, di dalam firman-Nya:
تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin
menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi.” (Al-Qashash:
83) [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 1/171]
Berkata sebagian salaf rahimahumullah: “Orang-orang yang mencintai
karena Allah Siubhanahu wa Ta’ala, maka mereka akan memerhatikan segala
sesuatu dengan nur (ilmu) dari Allah Siubhanahu wa Ta’ala. Mereka akan
bersikap belas kasih terhadap orang-orang yang bermaksiat kepada Allah
Siubhanahu wa Ta’ala, namun mereka membenci amalan-amalannya. Mereka
belas kasihan terhadap ahlul maksiat itu agar meninggalkan
perbuatan-perbuatan tersebut dengan nasihat-nasihat yang mereka
lakukan, karena mereka pun belas kasihan terhadap badan-badan ahlul
maksiat kalau disentuh api neraka.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 1/172)
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullahu berkata: “Maka seharusnya seorang
muslim mencintai kebaikan untuk saudaranya sebagaimana dia mencintai
kebaikan untuk dirinya, dan membenci kejelekan untuk saudaranya
sebagaimana dia membenci kejelekan untuk dirinya. Maka apabila dia
melihat kekurangan atau kesalahan pada saudaranya yang muslim, niscaya
dia akan berusaha dengan sekuat tenaga untuk memperbaiki.” (Jami’ul
‘Ulum wal Hikam 1/172)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Sepantasnya hadits Anas bin
Malik radhiyallahu ‘anhu (di atas) dipahami sesuai dengan keumuman
persaudaraan (karena nasab ataupun agama), sehingga mencakup yang
muslim maupun yang kafir. Maka seorang muslim itu mencintai untuk
saudaranya yang kafir sebagaimana dia mencintai untuk dirinya. Dia
mencintai saudaranya agar masuk Islam, sebagaimana dia mencintai untuk
saudaranya agar tetap komitmen atau istiqamah dengan Islam. Oleh karena
inilah, doa seorang muslim agar saudaranya yang kafir mendapatkan
hidayah adalah perkara yang disunnahkan.” (Syarh Matan Arba’in lin
Nawawi)
Faktor-faktor yang akan menumbuh-suburkan serta mengokohkan sikap
saling merahmati dan saling mencintai karena Allah Siubhanahu wa Ta’ala
semata di antaranya:
1. Aqidah yang benar, manhaj (jalan) yang lurus, serta akhlak yang mulia
Dakwah salafiyyah yang mencontoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah dakwah yang menebarkan bibit-bibit saling merahmati dan
saling mencintai karena Allah Siubhanahu wa Ta’ala, dakwah yang
menyentuh hati hamba-Nya. Itulah dakwah yang dicontohkan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya radhiyallahu
‘anhum, sebagaimana firman-Nya:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا
نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ
قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى
شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ
اللهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu
ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuh-musuhan, maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah
orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang
neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Ali
‘Imran: 103)
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ؛ أَنْ يَكُونَ
اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ
الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي
الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Ada tiga perkara, barangsiapa yang perkara tersebut ada pada dirinya,
niscaya dia akan mendapatkan manisnya iman. Allah Siubhanahu wa Ta’ala
dan Rasul-Nya adalah yang paling dia cintai daripada kecintaan dia
kepada selain keduanya. Dan dia mencintai seseorang, di mana dia
tidaklah mencintainya kecuali karena Allah Siubhanahu wa Ta’ala. Dan
dia sangat benci untuk kembali kepada kekafiran setelah Allah
Siubhanahu wa Ta’ala menyelamatkannya dari kekafiran tersebut,
sebagaimana dia sangat benci untuk dilemparkan ke dalam api.”
Para dai yang mengajak umat untuk beraqidah yang shahihah, bermanhaj
yang salimah (selamat), dan berakhlak yang jamilah, mereka adalah
orang-orang yang paling peduli terhadap umat dan yang paling belas
kasih terhadap mereka, sebagaimana firman Allah Siubhanahu wa Ta’ala:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru
kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata: ‘Sesungguhnya
aku termasuk orang-orang yang berserah diri?’.” (Fushshilat: 33)
Dan Allah Siubhanahu wa Ta’ala memerintahkan Rasul-Nya (sebagai suri tauladan mereka) dengan firman-Nya:
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.” (Asy-Syu’ara’: 215)
2. Menebarkan salam di antara kaum muslimin
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلَا تُؤْمِنُوا حَتَّى
تَحَابُّوا، أَوَ لَا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ
تَحَابَبْتُمْ؟ أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ
“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman. Dan kalian tidak
akan beriman (dengan iman yang sempurna) sampai kalian saling
mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu, yang apabila kalian
melakukannya niscaya kalian akan saling mencintai? Tebarkanlah salam di
antara kalian.” (HR. Muslim)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu berkata:
“Maka terdapat di dalam hadits ini dalil yang menunjukkan bahwa saling
mencintai (mahabbah) karena Allah Siubhanahu wa Ta’ala adalah termasuk
kesempurnaan iman. Bahwa iman seorang hamba tidak akan sempurna sampai
dia mencintai saudaranya karena Allah Siubhanahu wa Ta’ala. Dan
termasuk sebab-sebab yang akan menumbuhkan kecintaan adalah menebarkan
salam di antara saudara-saudaranya muslim, yaitu menampakkan salam
tersebut kepada mereka. Di mana dia mengucapkan salam kepada orang yang
dijumpainya, baik dia kenal ataukah tidak. Maka inilah di antara sebab
yang akan menumbuhkan mahabbah.” (Syarh Riyadhush Shalihin 2/127)
3. Saling membantu dalam kebaikan dan ketakwaan
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
(Al-Ma’idah: 2)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
“Dan Allah Siubhanahu wa Ta’ala senantiasa menolong hamba selama hamba
tersebut berusaha menolong saudaranya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu berkata:
“Maka perkara yang wajib untuk dilakukan oleh seorang muslim adalah
senantiasa berusaha melakukan sebab-sebab yang akan menumbuhkan kasih
sayang di antara kaum muslimin. Karena bukan termasuk perkara yang
masuk di akal dan bukan pula termasuk adab kebiasaan yang terjadi,
seseorang biasa saling membantu bersama orang yang dia tidak
mencintainya. Dan tidak mungkin bisa saling membantu (ta’awun) dalam
kebaikan dan ketakwaan kecuali dengan sebab saling mencintai. Oleh
karena inilah mahabbah (saling mencintai) karena Allah Siubhanahu wa
Ta’ala termasuk sebagian tanda kesempurnaan iman.” (Syarh Riyadhush
Shalihin 2/127)
4. Saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran
Nasihat itu maknanya adalah seorang muslim mencintai kebaikan untuk
saudaranya, mengajak, membimbing, menjelaskan, dan mendorong saudaranya
tersebut untuk melakukan kebaikan itu. (Syarh Riyadhush Shalihin 1/458)
Allah Siubhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (Al-’Ashr: 3)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الدِّينُ النَّصِيحَةُ. قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: لِلهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُولِهِ، وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
“Agama itu adalah nasihat.” Kami bertanya: “Untuk siapa?” Beliau
bersabda: “Untuk Allah, untuk kitab-Nya, untuk Rasul-Nya, dan untuk
pemimpin muslimin serta orang-orang awamnya.” (HR. Muslim dari Abu
Ruqayyah Tamim bin Aus Ad-Dari radhiyallahu ‘anhu)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu berkata:
“Adapun nasihat bagi kaum muslimin secara keseluruhan adalah kamu
mencintai kebaikan untuk mereka sebagaimana kamu mencintai kebaikan
untuk dirimu. Kamu bimbing mereka kepada kebaikan. Kamu tunjukkan
mereka kepada kebenaran apabila mereka tersesat dari kebenaran
tersebut. Kamu ingatkan mereka dengan kebenaran kalau mereka lupa. Dan
kamu jadikan mereka sebagai saudara-saudaramu. Karena Rasul Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya.” (Muttafaq ‘alaih dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma)
Beliau rahimahullahu juga menyatakan: “Dan ketahuilah bahwa nasihat
adalah pembicaraan yang dilakukan antara kamu dengan saudaramu dengan
diam-diam. Karena kalau kamu menasihatinya dengan diam-diam, niscaya
kamu akan dapat memengaruhinya dalam keadaan dia yakin bahwa kamu
adalah pemberi nasihat. Akan tetapi apabila engkau berbicara tentang
kekurangan atau kesalahan dia di muka umum, maka rasa egonya bisa
menyeret dia untuk berbuat dosa sehingga dia tidak akan menerima
nasihat karena dia mengira bahwa yang kamu inginkan hanyalah balas
dendam, mencelanya, atau menjatuhkan kedudukannya di hadapan manusia.
Sehingga dia tidak mau menerima nasihat. Akan tetapi kalau nasihat
tersebut dilakukan dengan diam-diam antara kamu dengan dia, niscaya dia
(insya Allah) akan menghargai dan menerimanya.” (Syarh Riyadhush
Shalihin 1/465-466)
5. Saling mengunjungi
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أَنَّ رَجُلًا زَارَ أَخًا لَهُ فِي قَرْيَةٍ أُخْرَى فَأَرْصَدَ اللهُ
لَهُ عَلَى مَدْرَجَتِهِ مَلَكًا، فَلَمَّا أَتَى عَلَيْهِ قَالَ: أَيْنَ
تُرِيدُ؟ قَالَ: أُرِيدُ أَخًا لِي فِي هَذِهِ الْقَرْيَةِ. قَالَ: هَلْ
لَكَ عَلَيْهِ مِنْ نِعْمَةٍ تَرُبُّهَا؟ قَالَ: لَا غَيْرَ أَنِّي
أَحْبَبْتُهُ فِي اللهِ عَزَّ وَجَلَّ. قَالَ: فَإِنِّي رَسُولُ اللهِ
إِلَيْكَ بِأَنَّ اللهَ قَدْ أَحَبَّكَ كَمَا أَحْبَبْتَهُ فِيهِ
Ada seseorang mengunjungi saudaranya di sebuah desa. Maka Allah
Siubhanahu wa Ta’ala mengutus malaikat-Nya untuk menjaganya di dalam
perjalanannya. Maka tatkala malaikat tersebut menemuinya, malaikat itu
bertanya: “Kamu hendak pergi ke mana?” Dia menjawab: “Aku ingin
mengunjungi saudaraku di desa ini.” Malaikat itu bertanya lagi: “Apakah
kamu memiliki suatu kenikmatan yang bisa diberikan kepadanya?” Dia
menjawab: “Tidak. Hanya saja aku mencintai dia karena Allah Siubhanahu
wa Ta’ala.” Maka malaikat itu menyatakan: “Aku adalah utusan Allah
Siubhanahu wa Ta’ala kepadamu (untuk mengabarkan kepadamu) bahwa Allah
Siubhanahu wa Ta’ala sungguh mencintaimu sebagaimana kamu mencintainya
karena-Nya.” (HR. Muslim)
Maka perhatikanlah kisah ziarah mubarakah (penuh berkah) yang dilakukan
oleh kedua amirul mukminin Abu Bakr dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma
kepada Ummu Aiman radhiyallahu ‘anha. Dari Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu berkata:
Abu Bakr berkata kepada ‘Umar setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam meninggal: “Berangkatlah bersama kami mengunjungi Ummu Aiman
sebagaimana biasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengunjunginya.” Maka setelah keduanya sampai, Ummu Aiman menangis.
Keduanya bertanya: “Apa yang menjadikan kamu menangis? Tidakkah kamu
yakin bahwa apa yang di sisi Allah Siubhanahu wa Ta’ala itu lebih baik
bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Ummu Aiman radhiyallahu
‘anha menjawab: “Aku menangis bukan karena aku tidak meyakini bahwa apa
yang ada di sisi Allah Siubhanahu wa Ta’ala itu lebih baik bagi
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi aku menangis
karena wahyu telah terputus dari langit.” Maka dia menyebabkan keduanya
(Abu Bakr dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma) menangis. Sehingga mulailah
keduanya menangis bersamanya. (HR. Muslim 3454)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata: “Ziarah (kunjungan)
itu memiliki banyak faedah, di antaranya: akan membuahkan pahala yang
besar, melunakkan dan menyatukan hati, mengingatkan saudaranya yang
lupa, memperingatkan saudaranya yang lalai, serta mengajarkan ilmu
kepada saudaranya yang jahil. Dan di dalamnya ada kebaikan yang banyak.
Orang yang mengamalkannya akan mengetahui kebaikan tersebut.” (Syarh
Riyadhush Shalihin, 2/116)
Namun yang harus kita perhatikan dan ingatkan adalah jangan sampai
ibadah yang demikian mulianya ini dipalingkan oleh setan sebagai ajang
untuk ghibah1 (mengumpat), namimah (adu domba), atau membicarakan
hal-hal yang tidak ada faedahnya serta belum jelas kebenarannya.
Padahal hal-hal inilah yang akan menyusahkan pertanggungjawaban kita di
hadapan Allah Siubhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana firman-Nya:
وَيَوْمَ يُحْشَرُ أَعْدَاءُ اللهِ إِلَى النَّارِ فَهُمْ يُوزَعُونَ.
حَتَّى إِذَا مَا جَاءُوهَا شَهِدَ عَلَيْهِمْ سَمْعُهُمْ وَأَبْصَارُهُمْ
وَجُلُودُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ. وَقَالُوا لِجُلُودِهِمْ لِمَ
شَهِدْتُمْ عَلَيْنَا قَالُوا أَنْطَقَنَا اللهُ الَّذِي أَنْطَقَ كُلَّ
شَيْءٍ وَهُوَ خَلَقَكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ. وَمَا
كُنْتُمْ تَسْتَتِرُونَ أَنْ يَشْهَدَ عَلَيْكُمْ سَمْعُكُمْ وَلَا
أَبْصَارُكُمْ وَلَا جُلُودُكُمْ وَلَكِنْ ظَنَنْتُمْ أَنَّ اللهَ لَا
يَعْلَمُ كَثِيرًا مِمَّا تَعْمَلُونَ
Dan (ingatlah) hari (ketika) musuh-musuh Allah digiring ke dalam neraka
lalu mereka dikumpulkan (semuanya). Sehingga apabila mereka sampai ke
neraka, pendengaran, penglihatan, dan kulit mereka menjadi saksi
terhadap mereka tentang apa yang telah mereka kerjakan. Dan mereka
berkata kepada kulit mereka: “Mengapa kamu menjadi saksi terhadap
kami?” Kulit mereka menjawab: “Allah yang menjadikan segala sesuatu
pandai berkata telah menjadikan kami pandai (pula) berkata, dan Dia-lah
yang menciptakan kamu pada kali yang pertama dan hanya kepada-Nyalah
kamu dikembalikan. Kamu sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari
persaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu terhadapmu bahkan kamu
mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu
kerjakan. (Fushshilat: 19-22)
Disamping itu, kita harus menjauhi berbagai macam prasangka jelek
terhadap saudara kita dan mencari-cari kelemahannya. Karena Allah
Siubhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ
إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ
بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ
مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka,
sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu
mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu
menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu
memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa
jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
penerima taubat lagi Maha penyayang.” (Al-Hujurat: 12)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَا مَعْشَرَ مَنْ أَسْلَمَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يُفْضِ الْإِيمَانُ إِلَى
قَلْبِهِ، لَا تُؤْذُوا الْمُسْلِمِينَ وَلَا تُعَيِّرُوهُمْ وَلَا
تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنْ تَتَبَّعَ عَوْرَةَ أَخِيهِ
الْمُسْلِمِ تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ تَتَبَّعَ اللهُ
عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ وَلَوْ فِي جَوْفِ رَحْلِهِ
“Wahai sekalian orang yang telah masuk Islam dengan lisannya dalam
keadaan imannya belum masuk ke dalam hatinya. Jangan kalian menyakiti
orang-orang muslim. Jangan kalian merendahkan mereka. Dan jangan kalian
mencari-cari kelemahannya. Karena barangsiapa mencari-cari kelemahan
saudaranya yang muslim, niscaya Allah Siubhanahu wa Ta’ala akan
mencari-cari kelemahannya. Dan barangsiapa yang Allah Siubhanahu wa
Ta’ala mencari-cari kelemahannya, niscaya Allah Siubhanahu wa Ta’ala
akan membongkar kelemahan atau kekurangannya walaupun dia berada di
dalam rumahnya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2032)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu berkata:
“Termasuk tabiat manusia biasa, ada pada dirinya kekurangan, kelemahan,
dan kesalahan. Maka yang wajib bagi seorang muslim terhadap saudaranya
adalah menutupi kelemahannya dan tidak menyebarkan kelemahan tersebut
kecuali dalam keadaan darurat. Maka apabila keadaan darurat tersebut
mengharuskan untuk membongkar aibnya dan menyebarkannya, niscaya dia
akan melakukannya (demi kepentingan yang syar’i). Akan tetapi kalau
bukan karena keadaan darurat, maka yang lebih utama adalah menutupi
kekurangan tersebut. Dia adalah manusia biasa. Barangkali dia berbuat
salah karena dorongan syahwat atau syubhat yang ada pada dirinya, di
mana al-haq tersamar baginya. Maka kemudian dia berbicara dengan ucapan
yang batil atau melakukan perbuatan yang menyimpang. Sedangkan seorang
mukmin diperintahkan untuk menutupi kekurangan saudaranya. Sebagaimana
sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَا يَسْتُرُ عَبْدٌ عَبْدًا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Tidaklah seorang hamba menutupi kekurangan hamba yang lainnya di dunia
kecuali Allah akan menutupi kekurangan atau kesalahan dia pada hari
kiamat.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
6. Menunaikan hak-hak saudara
Dengan ditunaikannya hak-haknya, maka akan menguatkan ikatan
persaudaraan dan kecintaan pada masing-masingnya. Dan adapun sebagian
hak-hak seorang muslim yang wajib untuk ditegakkan adalah sebagaimana
sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ؛ رَدُّ السَّلَامِ،
وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ، وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ، وَإِجَابَةُ
الدَّعْوَةِ، وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ
“Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada lima: membalas salam,
menjenguk orang sakit, mengikuti jenazah, memenuhi undangan, dan
menjawab orang yang bersin.”
Dalam riwayat Muslim:
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ. قِيلَ: مَا هُنَّ يَا رَسُولَ
اللهِ؟ قَالَ: إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ، وَإِذَا دَعَاكَ
فَأَجِبْهُ، وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ، وَإِذَا عَطَسَ
فَحَمِدَ اللهَ فَسَمِّتْهُ، وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ، وَإِذَا مَاتَ
فَاتَّبِعْهُ
“Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada enam. Ditanyakan: “Apa saja
wahai Rasulullah?” Beliau berkata: “Bila engkau bertemu dengannya maka
ucapkanlah salam kepadanya, bila dia mengundangmu maka penuhilah
undangannya, bila dia meminta nasihat maka berilah dia nasihat, bila
dia bersin lalu memuji Allah maka jawablah, bila dia sakit maka
jenguklah, dan bila dia mati maka ikutilah (jenazahnya).”
Akhirnya, kita memohon kepada Allah Siubhanahu wa Ta’ala, agar Dia
melimpahkan hidayah taufiq kepada kita semua untuk menerima segala
sesuatu yang Dia cintai dan Dia ridhai, serta menjadikan kita sebagai
da’i yang ikhlas, dan menjauhkan kita dari berbagai macam tipu daya
setan dari golongan jin dan manusia. Kita pun memohon hanya kepada
Allah Siubhanahu wa Ta’ala semata untuk melunakkan hati kita dan
menyatukannya di atas kebenaran.
Amin ya Rabbal ‘alamin.
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=886
Tidak ada komentar:
Posting Komentar