Rahmi Ummu Qanitaah Ath-Thahirah

Temui Aku............. Di Telaga.......Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,"Telagaku itu sepanjang perjalanan sebulan dan sudut-sudutnya sama. Airnya lebih putih dari susu, aromanya lebih harum dari kasturi, dan pundi-pundinya bagai bintang-bintang di langit. Siapa yang minum dari telaga itu tidak akan haus selamanya." (HR. Bukhari-Muslim)

Minggu, 29 November 2009

3 Bekal Amar MA'ruf Nahi Mungkar


Sebuah faedah ilmu yang sangat berharga dari ulama besar masa silam Ahmad bin ‘Abdul Al Haroni yang dikenal dengan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau memberikan nasehat bagaimana kita seharusnya beramar ma’ruf nahi mungkar yaitu mengajak pada kebaikan dan melarang dari kemungkaran.


Syaikhul Islam mengatakan, “Orang yang ingin beramar ma’ruf nahi mungkar semestinya memiliki tiga bekal yaitu: [1] ilmu, [2] lemah lembut, dan [3] sabar. Ilmu haruslah ada sebelum amar ma’ruf nahi mungkar (di awal). Lemah lembut harus ada ketika ingin beramar ma’ruf nahi mungkar (di tengah-tengah). Sikap sabar harus ada sesudah beramar ma’ruf nahi mungkar (di akhir). ”

Berikut rinciannya yang kami olah dari pembahasan Syaikhul Islam.

Pertama: Bekal Ilmu di Awal

‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz mengatakan,
مَنْ عَبَدَ اللهَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ مَا يُفْسِدُ أَكْثَرَ مِمَّا يُصْلُحُ

“Barangsiapa yang beribadah pada Allah tanpa ilmu, maka ia akan membuat banyak kerusakan dibanding mendatangkan banyak kebaikan.”

Begitu pula  Mu’adz bin Jabal pernah mengatakan,

العِلْمُ إِمَامُ العَمَلِ وَالعَمَلُ تَابِعُهُ

”Ilmu adalah pemimpin amalan. Sedangkan amalan itu berada di belakang ilmu.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Ini memang benar. Yang namanya maksud dan amalan tanpa disertai ilmu, maka hanya mengakibatkan kebodohan, kesesatan dan sekedar mengikuti hawa nafsu sebagaimana telah dijelaskan. Inilah beda antara orang Jahiliyah dan seorang muslim. Seorang muslim haruslah membekali dirinya dengan ilmu dalam beramar ma’ruf nahi mungkar dan harus bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Seseorang juga harus mengetahui bagaimana kondisi orang yang akan diajak pada kebaikan dan dilarang dari kemungkaran. Di antara bentuk mendatangkan kebaikan adalah melakukan amar ma’ruf nahi mungkar sesuatu tuntutan yang diajarkan  dalam Islam (jalan yang lurus). Jika seseorang membekali dirinya dengan ilmu, maka itu akan membuat lebih cepat mengantarkan pada tujuan.”

Kedua: Lemah Lembut di Tengah-Tengah Amar Ma’ruf Nahi Mungkar

Dalam amar ma’ruf nahi mungkar hendaklah ada sikap lemah lembut. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِى شَىْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَىْءٍ إِلاَّ شَانَهُ

“Sesungguhnya jika lemah lembut itu ada dalam sesuatu, maka ia akan senantiasa menghiasanya. Jika kelembutan itu hilang, maka pastilah hanya akan mendatangkan kejelekan.”[1]
Begitu pula beliau bersabda,
إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ وَيُعْطِى عَلَى الرِّفْقِ مَا لاَ يُعْطِى عَلَى الْعُنْفِ
“Sesungguhnya Allah itu Maha Lembut. Dia menyukai kelembutan dan Dia akan memberi kepada kelembutan yang tidak diberikan jika seseorang bersikap kasar.”[2]

Ketiga: Bersabar di Akhir

Setelah melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, haruslah ada sikap sabar terhadap setiap gangguan. Syaikhul Islam mengatakan, “Setiap orang yang ingin melakukan amar ma’ruf nahi mungkar pastilah mendapat rintangan. Oleh karena itu, jika seseorang tidak bersabar, maka hanya akan membawa dampak kerusakan daripada mendatangkan kebaikan.”

Luqman pernah mengatakan pada anaknya,

وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الأمُورِ

“Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Luqman: 17)

Oleh karena itu, Allah memerintahkan kepada para Rasul –dan mereka adalah imam (pemimpin) dalam amar ma’ruf nahi mungkar- untuk bersabar, sebagaimana hal ini Allah perintahkan pada penutup Rasul (yakni Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam). Bahkan perintah ini Allah sandingkan dengan penyampaian kerasulan. Hal ini dapat kita lihat dalam surat Al Mudatsir (surat yang merupakan tanda Muhammad menjadi Rasul), yang turun setelah surat Iqro’ (surat yang merupakan tanda Muhammad diangkat sebagai Nabi).

يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ, قُمْ فَأَنْذِرْ, وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ, وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ, وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ وَلا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ, وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْ

“Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! dan Rabbmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Rabbmu, bersabarlah.” (QS. Al Mudatsir: 1-7)

Allah membuka surat yang merupakan pertanda beliau diangkat menjadi Rasul dengan perintah memberikan peringatan (indzar). Di akhirnya, Allah tutup dengan perintah untuk bersabar. Yang namanya memberi peringatan (indzar) adalah melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Maka ini menunjukkan bahwa sesudah seseorang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, hendaklah ia bersabar.

Demikian faedah dari Syaikhul Islam sebagai bekal bagi orang yang ingin beramar ma’ruf nahi mungkar.
Semoga kita dapat memperhatikan nasehat dalam setiap tindak tanduk kita ketika ingin memperbaiki orang lain. Hanya Allah yang memberi taufik.


Faedah Ilmu dari Risalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:
Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, hal. 15-18, Mawqi’ Al Islam


Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com
Diposting oleh Rahmi Ummu Qanitaah At Thahirah di 01.50 Tidak ada komentar:

Siapakah Yang Ukhti Pilih?

Penyusun: Ummu Muhammad (Bulletin Zuhairoh)
Muroja’ah: Ust. Aris Munandar


Menikah, satu kata ini akan menjadi sesuatu yang sangat berarti bagi pemuda ataupun pemudi yang sudah mencapai usia remaja. Remaja yang sudah mulai memiliki rasa tertarik dengan lawan jenisnya, akan memperhatikan pasangan yang diimpikan menjadi pasangan hidupnya. Sejenak waktu, hatinya akan merenda mimpi, membayangkan masa depan yang indah bersamanya.

Saudariku muslimah yang dirahmati Allah, tentu kita semua menginginkan pasangan hidup yang dapat menjadi teman dalam suka dan duka, bersama dengannya membangun rumah tangga yang bahagia, sampai menapaki usia senja, bahkan menjadi pasangan di akhirat kelak.

Tentu kita tidak ingin bahtera tumah tangga yang sudah terlanjur kita arungi bersama laki-laki yang menjadi pilihan kita kandas di tengah perjalanan, karena tentu ini akan sangat menyakitkan, menimbulkan luka mendalam yang mungkin sangat sulit disembuhkan, baik luka bagi kita maupun bagi buah hati yang mungkin sudah ada. Lagipula, kita mengetahui bahwa Allah Ta’ala, Robb sekaligus Illah kita satu-satunya sangat membenci perceraian, meskipun hal itu diperbolehkan jika memang keduanya merasa berat. “Mencegah lebih baik daripada mengobati.” Itulah slogan yang biasa dipakai untuk masalah kesehatan. Dan untuk masalah kita ini, yang tentunya jauh lebih urgen dari masalah kesehatan tentu lebih layak bagi kita untuk memakai slogan ini, agar kita tidak menyesal di tengah jalan.


Saudariku muslimah, sekarang banyak kita jumpai fenomena yang sangat memprihatinkan dan menyedihkan hati. Banyak dari saudari-saudari kita yang terpesona dengan kehidupan dunia, sehingga timbul predikat ‘cewek matre’, yaitu bagi mereka yang menyukai laki-laki karena uangnya. Ada juga diantara saudari kita yang memilih laki-laki hanya karena fisiknya saja. Ada juga diantara mereka yang menyukai laki-laki hanya karena kepintarannya saja, padahal belum tentu kepintarannya itu akan menyelamatkannya, mungkin justru wanita itu yang akan dibodohi.

Sebenarnya tidak mengapa kita menetapkan kriteria – kriteria tersebut untuk calon pasangan kita, namun janganlah hal tersebut dijadikan tujuan utama, karena kriteria-kriteria itu hanya terbatas pada hal yang bersifat duniawi, sesuatu yang tidak kekal dan suatu saat akan menghilang. Lalu bagaimana solusinya ? Saudariku, sebagai seorang muslim, standar yang harus kita jadikan patokan adalah sesuatu yang sesuai dengan ketentuan syariat. Karena hanya dengan itu kebahagian hakiki akan tercapai, bukan hanya kebahagian dunia saja yang akan kita dapatkan, tapi kebahagiaan akhirat yang kekal pun akan kita nikmati jika kita mempunyai pasangan yang bisa diajak bekerjasama dalam ketaatan kepada Allah.

Diantara kriteria-kriteria yang hendaknya kita utamakan antara lain:

1. Memilih calon suami yang mempunyai agama dan akhlak yang baik, dengan hal tersebut ia diharapkan dapat melaksanakan kewajiban secara sempurna dalam membimbing keluarga, menunaikan hak istri, mendidik anak, serta memiliki tanggung jawab dalam menjaga kehormatan keluarga.

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Jika datang melamar kepadamu orang yang engkau ridho agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dengannya, jika kamu tidak menerimanya, niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang luas.” (HR. Tirmidzi, hasan)

Seorang laki-laki bertanya kepada Hasan bin ‘Ali, “Saya punya seorang putri, siapakah kiranya yang patut jadi suaminya ?” Hasan bin ‘Ali menjawab, “Seorang laki-laki yang bertaqwa kepada Allah, sebab jika ia senang ia akan menghormatinya, dan jika ia sedang marah, ia tidak suka zalim kepadanya.”

2. Memilih calon suami yang bukan dari golongan orang fasiq, yaitu orang yang rusak agama dan akhlaknya, suka berbuat dosa, dan lain-lain.

“Siapa saja menikahkan wanita yang di bawah kekuasaanya dengan laki-laki fasiq, berarti memutuskan tali keluarga.” (HR. Ibnu Hibban, dalam Adh-Dhu’afa’ & Ibnu Adi)
Ibnu Taimiyah berkata, “Laki-laki itu selalu berbuat dosa, tidak patut dijadikan suami. Sebagaimana dikatakan oleh salah seorang salaf.” (Majmu’ Fatawa 8/242)

3. Laki-laki yang bergaul dengan orang-orang sholeh.

4. Laki-laki yang rajin bekerja dan berusaha, optimis, serta tidak suka mengobral janji dan berandai-andai.

5. Laki-laki yang menghormati orang tua kita.

6. Laki-laki yang sehat jasmani dan rohani.

7. Mau berusaha untuk menjadi suami yang ideal, diantaranya: Melapangkan nafkah istri dengan tidak bakhil dan tidak berlebih-lebihan; memperlakukan istri dengan baik, mesra, dan lemah lembut; bersendau gurau dengan istri tanpa berlebih-lebihan; memaafkan kekurangan istri dan berterima kasih atas kelebihannya; meringankan pekerjaan istri dalam tugas-tugas rumah tangga; tidak menyiarkan rahasia suami istri; memberi peringatan dan bimbingan yang baik jika istri lalai dari kewajibannya; memerintahkan istri memakai busana muslimah ketika keluar; menemani istri bepergian; tidak membawa istri ke tempat-tempat maksiat; menjaga istri dari segala hal yang dapat menimbulkan fitnah kepadanya; memuliakan dan menghubungkan silaturahim kepada orang tua dan keluarga istri; memanggil istri dengan panggilan kesukaannya; dan yang terpenting bekerjasama dengan istri dalam taat kepada Allah Ta’ala.

Satu hal yang perlu kita ingat saudariku, bahwa di dunia ini tidak ada yang sempurna. Jangan pernah membayangkan bahwa laki-laki yang sholeh itu tidak punya cacat & kekurangan. Tapi, satu hal yang tidak boleh kita tinggalkan adalah ikhtiar dengan mencari yang terbaik untuk kita, serta bertawakal kepada Allah dengan diiringi do’a.

Maroji’:
Ensiklopedi Wanita Muslimah. Haya bintu Mubaroh Al-Barik.
***
Artikel www.muslimah.or.id
Ditulis dalam Artikel, Pernikahan, Wanita | Bertanda Wanita, Nikah, Mahar, Kriteria Suami Shalih, Menikah, Remaja




Diposting oleh Rahmi Ummu Qanitaah At Thahirah di 01.31 Tidak ada komentar:

Sabtu, 28 November 2009

DAPURKU SURGAKU

Penulis: Ummu Rumman Azzahra
Muroja’ah: Ustadz Nurkholis, Lc.



“Ukh, bingung nih mau masak apa buat suami. Ibu saya tadi datang bawa terong, tapi sayang bingung, terongnya harus diapain. Emang terong bisa dimasak apa aja sih, Ukh? Saya nyesel kenapa nggak dari dulu belajar masak…”

Kejadian di atas dialami salah seorang sahabat penulis seminggu pasca-menikah. Berangkat dari kejadian tersebut, penulis merasa perlu berbagi pengalaman bahwa memasak ternyata punya peran tersendiri dalam sebuah rumah tangga. Mungkin kejadian di atas tidak perlu membuahkan masalah jika si istri ternyata piawai dalam hal masak-memasak. Namun, bagaimana dengan mereka yang mengenal bumbu dapur saja tidak bisa?

Pentingkah Memasak?
Memasak merupakan aktivitas yang banyak dilakoni oleh para wanita sejak turun temurun. Meski sekarang tidak sedikit pula laki-laki yang handal memasak, namun dalam kehidupan rumah tangga, memasak tetap harus diperani oleh wanita. Sekilas kita lihat aktivitas ini mungkin sangat remeh-temeh. Tetapi pada prakteknya tidak akan semudah itu. Orang yang mengaku bisa masak pun terkadang suka dihampiri rasa tak percaya diri ketika masakannya harus dicicipi orang lain. Maka tidak heran jika para pengamat seni menempatkan masakan sebagai karya seni yang paling berharga di antara semua karya seni lainnya.

Begitu pentingnya memasak hingga tak jarang kita jumpai banyak orang yang terkagum-kagum dengan seseorang yang menguasai bidang ini. Pun seorang istri yang pintar masak. Dengan keahliannya tersebut akan membuat suaminya betah di rumah dan malas membeli makan di luar. Masakan yang enak bisa menjadi salah satu perekat cinta seorang suami kepada istrinya. Bahkan memasak untuk menyenangkan suami bisa menjadi ladang pahala jika diniatkan untuk ibadah kepada Allah. Karena salah satu ciri istri shalihah adalah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memenuhi semua hal yang disukai suaminya selama tidak dalam bermaksiat kepada Allah.

Memasak Sebagai Ladang Pahala
Saudariku –yang semoga senantiasa dirahmati Allah- apakah kalian menyadari bahwa kegiatan memasak ini ternyata bisa sekaligus menjadi kegiatan ibadah? Sebagai seorang muslimah kita diamanahkan untuk bertanggung jawab atas rumah kita dan menyiapkan makanan kepada semua orang yang ada di dalamnya. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya. Penguasa adalah pemimpin, seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya, wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya dan anak-anaknya. Jadi, setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya.” (HR. Bukhari)

Untuk itu tidak ada salahnya bagi seorang muslimah untuk menyiapkan santapan bagi keluarganya sebaik mungkin, demi melayani hamba-hamba Allah yang shalih, semisal suami, anak-anak, orang tua, dan semua orang yang ikut menikmati masakan yang kita masak. Dengan begitu, seorang muslimah akan ikut mengecap pahala yang Allah berikan kepada mereka, di mana sebenarnya kita sudah ikut membantu amal perbuatan mereka.

Memasak tidak hanya sekedar kegiatan meramu bumbu dan bahan makanan hingga terciptalah masakan lezat yang siap santap. Namun memasak juga bisa menjadi media kita untuk memikirkan dan mensyukuri semua nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Jika kita cermati, semuanya adalah rezeki yang telah Allah tentukan kepada kita. Karunia tersebut terlimpah dengan begitu mudah kepada kita setelah melalui proses campur tangan banyak orang.

Kita perhatikan saja sayur-sayuran yang kita santap. Akan kita dapati bahwa di sana ada yang menanaminya, ada yang mengumpulkan panennya, ada penjualnya, serta masih banyak lagi manusia yang berperan di dalamnya. Mereka dijadikan oleh Allah untuk melayani kita dan anggota keluarga kita. Padahal pada hakikatnya Allah-lah yang menanam dan menghidupkan sayuran tersebut sebagaimana firman-Nya, yang artinya,

“Pernahkah kamu perhatikan benih yang kamu tanam? Kamukah yang menumbuhkannya ataukah Kami yang menumbuhkan?” (Qs. Al Waqi’ah: 63-64)
Begitupun dengan nikmat yang lain yang banyak kita jumpai di meja makan kita. Allah berfirman mengenai hal ini, yang artinya,

“Dan dari langit Kami turunkan air yang memberi berkah, lalu Kami tumbuhkan dengan (air) itu pepohonan yang rindang dan biji-bijian yang dapat dipanen. Dan pohon kurma yang tinggi-tinggi yang mempunyai mayang yang tersusun-susun, (sebagai) rezeki bagi hamba-hamba Kami……” (Qs. Qaf: 9-11)

Adapun dalam memasak, hendaklah kita usahakan memasak berdasarkan apa yang menjadi kesukaan suami dan anak-anak serta keluarga kita. Ini semua dilakukan dengan harapan dapat membuat suami dan keluarga bahagia, demi wujud ketaatan kita kepada Allah. Cobalah tanyakan kepada mereka makanan apa saja yang mereka sukai, jika cara tersebut bisa menyenangkan mereka.

Kadang kita dapati seorang suami ternyata lebih pintar memasak daripada istrinya. Jika hal ini yang kita alami, janganlah merasa malu untuk belajar dari suami kita. Kita juga bisa menggunakan momen memasak bersama sebagai kesempatan untuk bercengkrama dengan suami sehingga terciptalah suasana kemesraan yang akan menambah rasa cinta di hati masing-masing.

Mari Memulainya dari Dapur
Saudariku, sebagai seorang muslimah yang ingin selalu meraih ridha Allah di setiap kesempatan, maka kita bisa memanfaatkan waktu-waktu kita di dapur untuk menjadi sarana mendekatkan diri kita kepada-Nya.

Berikut ini hikmah-hikmah yang bisa kita gali dari aktivitas memasak kita sehari-hari:

1. Saat masakan kita telah matang, maka hadirkanlah dalam benak kita betapa Allah telah menganugerahkan kepada kita nikmat untuk bisa menyelesaikan pekerjaan kita.

2. Saat memasak, cobalah untuk mengingat bahwa di luar sana masih banyak dapur-dapur yang tidak mengepul. Alangkah indahnya jika kita biasakan untuk selalu mengingat nasib fakir miskin, anak yatim, dan orang-orang yang membutuhkan yang ada di lingkungan tempat tinggal kita. Jika memungkinkan, kita bisa menyisakan sedikit dari jatah makan kita untuk mereka sebagai bentuk kepedulian kita terhadap mereka.

3. Ketika mencium aroma sedap masakan kita, saat itu ingatlah tetangga kita. Sebab bisa jadi tetangga kita juga turut mencium aroma masakan tersebut. Akan lebih baik lagi jika kita menghadiahkan sebagian masakan tersebut kepada mereka, khususnya untuk masakan-masakan spesial yang kita masak. Dengan hal ini akan mengakibatkan tumbuhnya rasa cinta, saling menghargai dan memperbaiki hubungan tetangga.

4. Dampak yang bisa kita peroleh dari sini adalah tetangga kita akan menghormati dakwah ini. Inilah di antara sarana yang paling sukses dan paling sederhana untuk memperkuat tali hubungan sosial dan menyuburkan sensitivitas perasaan hati kita. Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah kalian saling memberi hadiah, maka kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari)
 
5. Bagi yang sudah memiliki anak, mulailah untuk membiasakan mereka untuk ikut serta membantu kita memasak. Misalnya bisa dengan mempersiapkan bahan-bahan memasak, sehingga mereka benar-benar terampil. Di samping untuk mengenalkan apa-apa yang ada di dapur, hal ini juga untuk membuat mereka turut merasakan beban berat yang kita pikul. Sehingga mereka akan memberi penghormatan dan akan mudah memahami diri kita.

6. Ketika mengunjungi kerabat dan teman-teman dekat, kita bisa memilih masakan karya kita sendiri sebagai oleh-oleh untuk mereka.

Terakhir, sebelum melakukan kegiatan memasak, ada aktivitas lain yang biasa sering kita lakukan yakni berbelanja di pasar. Bila kita cermati, kegiatan belanja ini bisa kita gunakan sebagai perkenalan dengan para penjual langganan kita. Ini juga sebagai sarana untuk menjalin tali persaudaraan dengan mereka, atau sebagai bentuk interaksi kita dengan masyarakat, dengan catatan kita tetap harus memperhatikan adab-adab berinteraksi dengan penjual. Kesempatan ini bisa pula menjadi sarana dakwah kita kepada mereka. Di sela-sela interaksi dengan mereka, kita dapat mengenalkan hal-hal yang halal dan haram dalam masalah jual beli, dan hal-hal lain yang mungkin sering dipertanyakan banyak orang.

Mulailah Belajar
Bagi sebagian yang lain, memasak mungkin menjadi masalah bagi mereka. Ada beberapa faktor yang membuat seorang muslimah enggan untuk memasak. Salah satunya adalah rasa malas untuk belajar, di samping juga faktor kesibukan di luar rumah serta banyaknya warung makan yang menawarkan jasa catering untuk mereka yang tidak sempat memasak.

Jika hal tersebut berlangsung terus menerus apakah tidak boros? Bagaimana jika suami atau anak-anak berkeinginan mencoba hasil masakan kita. Apa kita masih akan memilih makanan dari luar terus? Tentu kita tidak ingin seperti itu. Untuk itu, bagi yang belum pintar masak, buanglah rasa malas dan teruslah berlatih. Setelah terbiasa, nanti akan terbukti bahwa memasak itu bukanlah hal yang sulit, apalagi jika diniatkan untuk ibadah.

Untuk memasak kita memang akan sedikit repot. Mempersiapkan segala sesuatunya, dari perapian, peralatan sampai bahan, belum nanti jika sudah selesai harus membersihkan atau membereskan semuanya. Agak melelahkan memang. Namun kelelahan itu akan segera berganti kebanggaan dan kebahagiaan ketika suami dan anak-anak kita menyantap masakannya dengan lahap.

Nah, bagaimana saudariku? Semoga tulisan ini bisa bermanfaat untuk kita semua, terutama bagi penulis sendiri. Kita memohon pertolongan Allah agar selalu memberi kita kemudahan dalam menunaikan tugas-tugas kita sebagai muslimah. Allahu Ta’ala a’lam.

Maroji’:
1. Inilah Kriteria Muslimah Dambaan Pria (terj.), Abu Maryam Majdi bin Fathi As-Sayyid, Pustaka Salafiyyah.
2. Manajemen Istri Shalihah (terj.), Muhammad Husain Isa, Ziyad Books Surakarta.
3. Majalah Nikah vol. 5, No. 11 Edisi Muharram 1428 H.

**Artikel www.muslimah.or.id
Diposting oleh Rahmi Ummu Qanitaah At Thahirah di 17.34 Tidak ada komentar:

BERCERMIN DIRI


Tatkala kudatangi sebuah cermin
Tampak sesosok yang sangat lama kukenal dan sangat sering kulihat
Namun aneh , sesungguhnya aku belum mengenal siapa yang kulihat

Tatkala kutatap wajah , hatiku bertanya . Apakah wajah ini yang kelak akan
bercahaya bersinar indah di surga sana ?
Ataukah wajah ini yang kelak akan hangus legam di neraka Jahannam

Tatkala kutatap mata, nanar hatiku bertanya
Mata inikah yang akan menatap penuh kelezatan dan kerinduan….

Menatap Allah , menatap Rasulullah , menatap kekasih-kekasih Allah kelak ?
Ataukah mata ini yang terbeliak , melotot , menganga , terburai menatap
Neraka Jahannam.

Akankah mata penuh maksiat ini akan menyelamatkan ?
Wahai mata , apa gerangan yang kau tatap selama ini ?
Tatkala kutatap mulut , apakah mulut ini yang kelak akan mendesah penuh
kerinduan .. Mengucap laa ilaaha ilallah saat malaikat maut datang
menjemput ?

Ataukah menjadi mulut menganga dengan lidah menjulur , dengan lengking
jeritan pilu yang akan mencopot sendi-sendi setiap pendengar.

Ataukah mulut ini menjadi pemakan buah zaqum jahannam ..yang getir
penghangus , penghancur setiap usus.

Apakah gerangan yang engkau ucapkan wahai mulut yang malang ?
Berapa banyak dusta yang engkau ucapkan ?

Berapa banyak hati-hati yang remuk dengan pisau kata-katamu yang
mengiris tajam

Berapa banyak kata-kata manis semanis madu yang palsu
yang engkau ucapkan untuk menipu ?

Betapa jarang engkau jujur.
Betapa langkanya engkau syahdu memohon agar Tuhan mengampunimu.

Tatkala kutatap tubuhku.
Apakah tubuh ini kelak yang akan penuh cahaya …
Bersinar , bersukacita , bercengkrama di surga ?

Atau tubuh ini yang akan tercabik-cabik hancur, mendidih, di dalam lahar
membara jahannam, terpasung tanpa ampun, derita yang tak pernah berakhir
Wahai tubuh , berapa banyak maksiat yang engkau lakukan ?

Berapa banyak orang-orang yang engkau zalimi dengan tubuhmu ?

Berapa banyak hamba-hamba Allah yang lemah yang engkau
tindas dengan kekuatanmu ?

Berapa banyak perindu pertolongan yang engkau acuhkan tanpa peduli
padahal engkau mampu ?

Berapa banyak hak-hak yang engkau rampas ?
Ketika kutatap hai tubuh
Seperti apa gerangan isi hatimu
Apakah isi hatimu sebagus kata-katamu
Atau sekotor daki-daki yang melekat di tubuhmu
Apakah hatimu segagah ototmu
Atau selemah daun-daun yang mudah rontok
Ataukah hatimu seindah penampilanmu
Ataukah sebusuk kotoran-kotoranmu

Betapa beda ..betapa beda …apa yang tampak di cermin
dengan apa yang tersembunyi

Betapa beda apa yang tampak di cermin dan apa yang tersembunyi
Aku telah tertipu , aku tertipu oleh topeng

Betapa yang kulihat selama ini hanyalah topeng, hanyalah topeng belaka
Betapa pujian yang terhambur hanyalah memuji topeng
Betapa yang indah ternyata hanyalah topeng..

Sedangkan aku … hanyalah seonggok sampah busuk yang terbungkus
Aku tertipu , aku malu ya Allah
Allah ..selamatkan aku..Amin ya Rabbal ‘alamin

Abdullah Gymnastiar


Diposting oleh Rahmi Ummu Qanitaah At Thahirah di 17.16 Tidak ada komentar:

Alkohol Dalam Obat Dan Parfum


Penulis: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari  
 

Banyak pertanyaan seputar alkohol yang masuk ke meja redaksi, kaitannya dengan obat, kosmetika, atau pun lainnya. Berikut ini penjelasan Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari

Alhamdulillah, para ulama besar abad ini telah berbicara tentang permasalahan alkohol1, maka di sini kita nukilkan fatwa-fatwa mereka sebagai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.


Terdapat perbedaan ijtihad di antara mereka dalam memandang permasalahan ini. Asy-Syaikh Ibnu Baz v berpendapat bahwa sesuatu yang telah bercampur dengan alkohol tidak boleh dimanfaatkan, meskipun kadar alkoholnya rendah, dalam arti tidak mengubahnya menjadi sesuatu yang memabukkan. Karena hal ini tetap masuk dalam hadits

مَا أَسْكَرَ كَثِيْرُهُ فَقَلِيْلُهُ حَرَامٌ

“Sesuatu yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnyapun haram.”2


Ketika beliau ditanya tentang obat-obatan yang sebagiannya mengandung bahan pembius dan sebagian lainnya mengandung alkohol, dengan perbandingan kadar campuran yang beraneka ragam, maka beliau menjawab: “Obat-obatan yang memberi rasa lega dan mengurangi rasa sakit penderita, tidak mengapa digunakan sebelum dan sesudah operasi. Kecuali jika diketahui bahwa obat-obatan tersebut dari “Sesuatu yang banyaknya memabukkan” maka tidak boleh digunakan berdasarkan sabda Nabi:

مَا أَسْكَرَ كَثِيْرُهُ فَقَلِيْلُهُ حَرَامٌ

“Sesuatu yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnyapun haram.”


Adapun jika obat-obatan itu tidak memabukkan dan banyaknya pun tidak memabukkan, hanya saja berefek membius (menghilangkan rasa) untuk mengurangi beban rasa sakit penderita maka yang seperti ini tidak mengapa.”(Majmu’ Fatawa, 6/18)
Juga ketika beliau ditanya tentang parfum yang disebut
الْكُلُوْنِيَا
(cologne), beliau berkata: “Parfum family:traditional arabic'>
الْكُلُوْنِيَا
(cologne) yang mengandung alkohol tidak boleh (haram) untuk digunakan. Karena telah tetap (jelas) di sisi kami berdasarkan keterangan para dokter yang ahli di bidang ini bahwa parfum jenis tersebut memabukkan karena mengandung “spiritus” yang dikenal. Oleh sebab itu, haram bagi kaum lelaki dan wanita untuk menggunakan parfum jenis tersebut...


Kalau ada parfum jenis cologne yang tidak memabukkan maka tidak haram menggunakannya. Karena hukum itu berputar sesuai dengan ‘illah-nya3, ada atau tidaknya ‘illah tersebut (kalau ‘illah itu ada pada suatu perkara maka perkara itu memiliki hukum tersebut, kalau tidak ada maka hukum itu tidak berlaku padanya).” (Majmu’ Fatawa , 6/396 dan 10/38-39)


Dan yang lebih jelas lagi adalah jawaban beliau pada Majmu’ Fatawa (5/382, dan 10/41) beliau berkata: ”Pada asalnya segala jenis parfum dan minyak wangi yang beredar di khalayak manusia hukumnya halal. Kecuali yang diketahui mengandung sesuatu yang merupakan penghalang untuk menggunakannya, karena ‘sesuatu’ itu memabukkan atau banyaknya memabukkan atau karena ‘sesuatu’ itu adalah najis, dan yang semacamnya...


Jadi, jika seseorang mengetahui ada parfum yang mengandung ‘sesuatu’ berupa bahan memabukkan atau benda najis yang menjadi penghalang untuk menggunakannya, maka diapun meninggalkannya (tidak menggunakanya) seperti cologne. Karena telah tetap (jelas) di sisi kami berdasarkan persaksian para dokter (yang ahli di bidang ini) bahwa parfum ini tidak terbebas dari bahan memabukkan karena mengandung ‘spiritus’ berkadar tinggi, yang merupakan bahan memabukkan, sehingga wajib untuk ditinggalkan (tidak digunakan). Kecuali jika ditemukan ada parfum jenis ini yang terbebas dari bahan memabukkan (maka tentunya tidak mengapa untuk digunakan). Dan jenis-jenis parfum yang lain sebagai gantinya, sekian banyak yang dihalalkan oleh Allah k, walhamdulillah.


Demikian pula halnya, segala macam minuman dan makanan yang mengandung bahan memabukkan, wajib untuk ditinggalkan. Kaidahnya adalah: “Sesuatu yang banyaknya memabukkan maka sedikitnya pun haram”, sebagaimana sabda Rasulullah n

مَا أَسْكَرَ كَثِيْرُهُ فَقَلِيْلُهُ حَرَامٌ

“Sesuatu yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnyapun haram.”
Dan hanya Allahlah yang memberi taufik.”


Demikian pula yang terpahami dari fatwa guru kami Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i v (dalam Ijabatus Sa`il hal. 697) bahwa pendapat beliau sama dengan pendapat gurunya yaitu Asy-Syaikh Ibnu Baz v ketika ditanya tentang cologne. Beliau menjawab (tanpa rincian) bahwa tidak boleh menggunakannya dan tidak boleh memperjualbelikannya, berdasarkan hadits Anas bin Malik z:

لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْخَمْرِ عَشَرَةً: عَاصِرُهَا وَمُعْتَصِرُهَا وَشَارِبُهَا وَحَامِلُهَا وَالْمَحْمُولَةُ إِلَيْهِ وَسَاقِيْهَا وَبَائِعُهَا وَآكِلُ ثَمَنِهَا وَالْمُشْتَرِي لَهَا وَالْمُشْتَرَاةُ لَهُ

“Rasulullah n melaknat 10 jenis orang karena khamr: yang memprosesnya (membuatnya), yang minta dibuatkan, yang meminumnya, yang membawanya, yang dibawakan untuknya, yang menghidangkannya, yang menjualnya, yang makan (menikmati) harga penjualannya, yang membelinya dan yang dibelikan untuknya.”4


Sementara itu, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin v dan Asy-Syaikh Al-Albani v berpendapat bahwa pada permasalahan ini ada rincian, sebagaimana yang akan kita simak dengan jelas dari fatwa keduanya.


Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin v dalam Asy-Syarhul Mumti’ (6/178) cetakan Darul Atsar, berkata: “Bagaimana menurut kalian tentang sebagian obat-obatan yang ada pada masa ini yang mengandung alkohol, terkadang digunakan pada kondisi darurat?


Kami nyatakan: Menurut kami, obat-obatan ini tidak memabukkan seperti mabuk yang diakibatkan oleh khamr, melainkan hanya berefek mengurangi kesadaran penderita dan mengurangi rasa sakitnya. Jadi ini mirip dengan obat bius yang berefek menghilangkan rasa sakit (sehingga penderita tidak merasakan sakit sama sekali) tanpa disertai rasa nikmat dan terbuai.


Telah diketahui bahwa hukum yang bergantung pada suatu ‘illah5, jika ‘illah tersebut tidak ada maka hukumnya pun tidak ada. Nah, selama ‘illah suatu perkara dihukumi khamr adalah “memabukkan”, sedangkan obat-obatan ini tidak memabukkan, berarti tidak termasuk kategori khamr yang haram. Wallahu a’lam. Wajib bagi kita untuk mengetahui perbedaan antara pernyataan: “Sesuatu yang banyaknya memabukkan maka sedikitnya pun haram” dengan pernyataan: “Sesuatu yang memabukkan dan dicampur dengan bahan yang lain maka haram.” Karena pernyataan yang pertama artinya minuman itu sendiri (adalah merupakan khamr), apabila anda minum banyak tentu anda mabuk, dan apabila anda minum sedikit maka anda tidak mabuk, namun Rasulullah n mengatakan “Sedikitnyapun haram.” (Kenapa demikian padahal yang sedikit tersebut tidak memabukkan?) Karena itu merupakan dzari’ah (artinya bahwa yang sedikit itu merupakan wasilah/ perantara yang akan menyeret pelakunya sampai akhirnya dia minum banyak, sehingga diharamkan). Adapun mencampur dengan bahan lain dengan perbandingan kadar alkoholnya sedikit sehingga tidak menjadikan bahan tersebut memabukkan maka yang seperti ini tidak mengubah bahan tersebut menjadi khamr (yang haram). Jadi ibaratnya seperti benda najis yang jatuh ke dalam air (tapi kadar najisnya sedikit) dan tidak menajisi (merusak kesucian) air tersebut (karena warna, bau, ataupun rasanya tidak berubah) maka air tersebut tidak menjadi najis karenanya (tetap suci dan mensucikan).”


Asy-Syaikh Al-Albani v ketika ditanya tentang berbagai parfum atau minyak wangi yang mengandung alkohol, maka beliau menjawab: “Apabila kadar alkohol yang terkandung di dalamnya menjadikan parfum-parfum yang harum itu sebagai cairan yang memabukkan, dalam arti kalau diminum oleh seorang pecandu khamr dan ternyata memberi pengaruh seperti pengaruh khamr (yaitu mengakibatkan dia mabuk, maka parfum-parfum tersebut hukumnya tidak boleh (haram untuk digunakan). Adapun jika kadar alkoholnya sedikit (dalam arti tidak mengubah parfum-parfum tersebut menjadi memabukkan) maka hukumnya boleh. (Kaset Silsilatul Huda wan Nur)
Kemudian kita akhiri pembahasan ini dengan fatwa Asy-Syaikh Al-Albani v yang sangat rinci. Beliau v berkata: “Untuk memahami makna hadits:

مَا أَسْكَرَ كَثِيْرُهُ فَقَلِيْلُهُ حَرَامٌ

“Sesuatu yang banyaknya memabukkan maka sedikitnya pun haram.”


Mari kita mendatangkan contoh: Kalau ada 1 liter air yang mengandung 50 gram bahan memabukkan yang kita namakan alkohol, maka cairan ini –yang tersusun dari air dan alkohol– berubah menjadi memabukkan. Namun jika seseorang minum sedikit maka dia tidak akan mabuk. Lain halnya jika dia minum dengan kadar yang lazim diminum oleh seseorang maka dia akan mabuk, dengan demikian menjadilah yang sedikit tadi haram. Sebaliknya, kalau ada 1 liter air mengandung 5 gram alkohol (misalnya). Jika seseorang minum 1 liter air tersebut sampai habis dia tidak mabuk, maka yang seperti ini halal untuk diminum.


Selanjutnya, apakah boleh bagi seorang muslim mengambil 1 liter air kemudian menumpahkan 5 gram alkohol ke dalamnya dengan alasan bahwa 5 gram alkohol tersebut tidak mengubah 1 liter air yang ada menjadi memabukkan?
Jawabannya: Tidak boleh. Kenapa tidak boleh? Karena tidak boleh bagimu untuk memiliki bahan yang memabukkan yang merupakan inti dari khamr, yaitu alkohol. Jadi kegiatan mencampur alkohol dengan bahan lain tidak boleh dalam syariat Islam…


Telah kami nyatakan bahwa obat-obatan yang ada di apotek-apotek pada masa ini –bahkan boleh jadi kebanyakannya– mengandung alkohol, atau tertera padanya tulisan perbandingan kadar alkoholnya: 5 gram, 10 gram… Apakah kita mengatakan bahwa obat-obatan ini jika diminum seorang sehat ataupun sakit dengan kadar yang banyak dan ternyata dia mabuk, berarti tidak boleh digunakan karena memabukkan, meskipun dia hanya menelan 1 sendok saja? Inilah yang dimaksudkan dengan hadits “Sesuatu yang banyaknya memabukkan maka sedikitnya pun haram.” Adapun jika perbandingan alkoholnya sedikit –dalam arti berapapun yang dia minum tidak menjadikannya mabuk– maka boleh menggunakannya, meskipun dia minum banyak.


Namun perkara lain (yang penting untuk diingat) sama dengan apa yang telah saya sebutkan sebelumnya, bahwa obat-obatan yang mengandung alkohol dengan perbandingan yang tidak melanggar syariat sesuai dengan rincian yang disebutkan, tidak boleh bagi seorang apoteker muslim untuk meracik obat yang seperti itu. Karena tidak boleh ada alkohol di rumah seorang muslim ataupun di tempat kerjanya. Haram baginya untuk membelinya atau membuatnya sendiri. Dan ini perkara yang jelas karena Rasulullah n bersabda:

لَعَنَ اللهُ فِي الْخَمْرِ عَشَرَةً...

“Allah melaknat 10 jenis orang karena khamr…”7


Seorang apoteker yang hendak meracik obat dan mencampurnya dengan alkohol yang memabukkan itu, baik dengan cara membuat alkohol sendiri (dengan proses pembuatan tertentu) atau membeli alkohol yang sudah jadi, termasuk dalam salah satu dari 10 jenis orang yang dilaknat dalam hadits tersebut.


Lain halnya apabila seseorang membeli obat yang sudah jadi, dengan kadar alkohol yang rendah yang tidak menjadikan banyaknya obat tersebut memabukkan, maka ini boleh.” (Kaset Silsilatul Huda wan Nur)


Dan kami memandang bahwa pendapat Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsamin v dan Asy-Syaikh Al-Albani v, lebih dekat kepada kebenaran.
Wallahu a’lam.

1 Perlu diketahui bahwa alkohol (alkanol) ada beberapa golongan. Di antaranya etanol (inilah yang dijadikan sebagai zat pelarut, bahan bakar, atau zat asal untuk preparat-preparat farmasi, dan sebagian besar digunakan untuk minuman keras), spiritus, dsb., sebagaimana diterangkan dalam buku-buku kimia dan farmasi.


2 Diriwayatkan oleh Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dari Jabir bin Abdillah c. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i dalam Ash-Shahihul Musnad (1/160-161). Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani, dan beliau menshahihkannya dengan syawahidnya dari beberapa shahabat yang lain (Al-Irwa‘, 8/42-43).


3 ‘Illah suatu hukum adalah sebab penentu suatu perkara memiliki hukum tersebut.


4 Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (1318) dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil v dalam kitabnya Ash-Shahihul Musnad (1/57) dan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi. Hadits yang semakna dengan hadits ini juga diriwayatkan dengan lafadz
لَعَنَ اللهُ ...
(Allah melaknat…) dari Ibnu ‘Umar c, oleh Ath-Thahawi, Al-Hakim, dan yang lainnya, dishahihkan oleh Al-Albani dengan keseluruhan jalan-jalannya dalam Al-Irwa` (5/365-367).


5 Lihat catatan kaki no. 3


6 Lihat haditsnya secara lengkap pada fatwa Asy-Syaikh Muqbil di halaman sebelumnya.

Diposting oleh Rahmi Ummu Qanitaah At Thahirah di 08.23 Tidak ada komentar:

~ KUNCI SURGA ~


Ibarat sebuah pintu, surga menbutuhkan sebuah kunci untuk membuka pintu-pintunya. Namun, tahukah Anda apa kunci surga itu ? Bagi yang merindukan surga, tentu akan berusaha mencari kuncinya walaupun harus mengorbankan nyawa.

Tetapi anda tak perlu gelisah, Nabi Muhammad Sholallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan pada umatnya apa kunci surga itu, sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits yang mulia, beliau bersabda (yang artinya): “Barang siapa mengucapkan kalimat Laa ilaaha illalloh dengan penuh keikhlasan, maka dia akan masuk surga. “
(HR. Imam Ahmad dengan sanad yang shohih).

Ternyata, kunci surga itu adalah Laa ilaahaa illalloh, kalimat Tauhid yang begitu sering kita ucapkan. Namun semudah itukah pintu surga kita buka ? Bukankah banyak orang yang siang malam mengucapkan kalimat Laa ilaaha illalloh, tetapi mereka masih meminta-minta (berdo’a dan beribadah) kepada selain Allah, percaya kepada dukun-dukun dan melakukan perbuatan syirik lainnya ? Akankah mereka ini juga bisa membuka pintu surga ? Tidak mungkin !

Dan ketahuilah, yang namanya kunci pasti bergerigi. Begitu pula kunci surga yang berupa Laa ilaaha illalloh itu, ia pun memiliki gerigi. Jadi, pintu surga itu hanya bisa dibuka oleh orang yang memiliki kunci yang bergerigi.

Al-Iman Al-Bukhori meriwayatkan dalam Shohih-nya (3/109), bahwa seseorang pernah bertanya kepada Al-Imam Wahab bin Munabbih (seorang Tabi’in terpercaya dari Shon’a yang hidup pada tahun 34-110 H) : “Bukankah Laa ilaaha illalloh itu kunci surga ? “Wahab menjawab : “Benar, akan tetapi setiap kunci yang bergerigi. Jika engkau membawa kunci yang bergerigi, maka pintu surga itu akan di bukakan untukmu !”.

Lalu, apa gerangan gerigi kunci itu Laa ilaaha illalloh itu ? Ketahuilah, gerigi kunci Laa ilaaha illalloh itu adalah syarat-syarat Laa ilaaha illalloh ! Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qoshim Al-Hambali An-Najdi rahimahullah, penyusun kitab Hasyiyyah Tsalatsatil Ushul, pada halaman 52 kitab tersebut menyatakan, syarat-syarat Laa ilaaha illalloh itu ada delapan, yaitu :

Pertama : Al-‘Ilmu (mengetahui), maksudnya adalah Anda harus mengetahui arti (makna) Laa ilaaha illalloh secara benar. Adapun artinya adalah : “Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah”. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Barang siapa mati dalam keadaan mengetahui bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, niscaya dia akan masuk surga.”
(HR. Muslim).
Seandainya Anda mengucapkan kalimat tersebut, tetapi anda tidak mengerti maknanya, maka ucapan atau persaksian tersebut tidak sah dan tidak ada faedahnya.

Kedua : Al-Yaqiinu (meyakini), maksudnya adalah anda harus menyakini secara pasti kebenaran kalimat Laa ilaaha illalloh tanpa ragu dan tanpa bimbang sedikitpun. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak di sembah kecuali Allah dan aku adalah utusan Allah. Tidaklah seorang hamba bertemu dengan Allah sambil membawa dua kalimat syhadat tersebut tanpa ragu kecuali pasti dia akan masuk surga.
(HR. Muslim).

Ketiga : Al-Qobulu (menerima), maksudnya Anda harus menerima segala tuntunan Laa ilaaha illalloh dengan senang hati, lisan dan perbuatan, tanpa menolak sedikitpun. Anda tidak boleh seperti orang-orang musyirik yang di gambarkan oleh Allah dalam Al-Qur’an (yang artinya):
“Orang-orang yang musyrik itu apabila di katakan kepada mereka : (ucapkanlah) Laa ilaaha illalloh, mereka menyombongkan diri seraya berkata : Apakah kita harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kita hanya karena ucapan penyair yang gila ini ? “
(QS. As-Shoffat : 35-36).

Keempat : Al-Inqiyaadu (tunduk atau patuh), maksudnya Anda harus tunduk dan patuh melaksanakan tuntunan Laa ilaaha illalloh dalam amal-amal nyata. Allah subhanahu wa Ta’ala (yang artinya):
“Kembalilah ke jalan Tuhanmua, dan tunduklah kepada-Nya. “
(QS. Az-Zumar : 54).
Allah Ta’ala juga berfirman (yang artinya):
“Dan barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada buhul (ikatan) tali yang amat kokoh (yakni kalimat Laa ilaaha illalloh). “(QS. Luqman : 22).
Makna “menyerahkan dirinya kepada Allah” yaitu tunduk, patuh dan pasrah kepada-Nya (ed.).

Kelima : Ash-Shidqu (jujur atau benar), maksudnya Anda harus jujur dalam melaksanakan tuntutan Laa ilaaha illalloh, yakni sesuai antara keyakinan hati dan amal nyata, tanpa di sertai kebohongan sedikitpun. Nabi Sholallahu ‘alahi wa sallam bersabda (yang artinya) :
“Tidaklah seseorang itu bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak di sembah kecuali Allah dan Muhammad itu adalah hamba dan utusan-Nya, dia mengucapkannya dengan jujur dari lubuk hatinya, melainkan pasti Allah mengharamkan neraka atasnya. “
(HR. Imam Bukhori dan Muslim).

Keenam : Al-Ikhlas (ikhlas atau murni), maksudnya Anda harus membersihkan amalan Anda dari noda-noda riya’ (amalan ingin di lihat dan dipuji oleh orang lain), dan berbagai amalan kesyirikan lainnya. Nabi sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan Laa ilaaha illalloh semata-mata hanya untuk mengharapkan wajah Allah Azza wa Jalla. “(HR. Imam Bukhori dan Muslim).

Ketujuh : Al-Mahabbah (mencintai), maksudnya anda harus mencintai kalimat tauhid, tuntunannya, dan mencintai juga kepada orang-orang yang bertauhid dengan sepenuh hati, serta membenci segala perkara yang merusak tauhid itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Dan di antara manusia ada yang menbuat tandingan-tandingan (sekutu) selain Allah yang di cintai layaknya mencintai Allah. Sedangkan orang-orang yang beriman, sangat mencintai Allah diatas segala-galanya). “
(QS. Al-Baqarah : 165). Dari sini kita tahu, Ahlut Tauhid mencintai Allah dengan cinta yang tulus bersih. Sedangkan Ahlus Syirik mencintai Allah dan mencintai tuhan-tuhan yang lainnya. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan isi kandungan Laa ilaaha illalloh.(ed,).

Kedelapan : Al-Kufru bimaa siwaahu (mengingkari sesembahan yang lainnya)
, maksudnya Anda harus mengingkari segala sesembahan selain Allah, yakni tidak mempercayainya dan tidak menyembahnya, dan juga Anda harus yakin bahwa seluruh sesembahan selain Allah itu batil dan tidak pantas disembah-sembah. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan (yang artinya): “Maka barang siapa mengingkari thoghut (sesembahan selain Allah) dan hanya beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang teguh pada ikatan tali yang amat kokoh (yakni kalimat Laa ilaaha illalloh), yang tidak akan putus….”(QS. Al-Baqoroh : 256).

Saudaraku kaum muslimin dari sini dapatlah anda ketahui, bahwa orang yang mengucapkan kalimat Laa ilaaha illalloh hanya dengan lisannya tanpa memenuhi syarat-syaratnya, dia bagaikan orang yang memegang kunci tak bergerigi, sehingga mustahil baginya untuk membuka pintu surga, walaupun dia mengucapkannya lebih dari sejuta banyaknya. Karena itu perhatikanlah ! Wallahu a’lamu bish showwab !.


Dinukil dari bulletin Dakwah Al-Bayyinah, edisi 07/02/20, diolah dan disusun kembali oleh Abu Abdirrahman.
(BULETIN DAKWAH AT-TASHFIYYAH, Surabaya Edisi : 13 / Shafar / 1425)

Diposting oleh Rahmi Ummu Qanitaah At Thahirah di 06.33 Tidak ada komentar:

10 Nasihat Ibnul Qayyim

Berikut ini sepuluh nasihat Ibnul Qayyim rahimahullah untuk menggapai kesabaran diri agar tidak terjerumus dalam perbuatan maksiat:

Pertama, hendaknya hamba menyadari betapa buruk, hina dan rendah perbuatan maksiat. Dan hendaknya dia memahami bahwa Allah mengharamkannya serta melarangnya dalam rangka menjaga hamba dari terjerumus dalam perkara-perkara yang keji dan rendah sebagaimana penjagaan seorang ayah yang sangat sayang kepada anaknya demi menjaga anaknya agar tidak terkena sesuatu yang membahayakannya.

Kedua, merasa malu kepada Allah… Karena sesungguhnya apabila seorang hamba menyadari pandangan Allah yang selalu mengawasi dirinya dan menyadari betapa tinggi kedudukan Allah di matanya. Dan apabila dia menyadari bahwa perbuatannya dilihat dan didengar Allah tentu saja dia akan merasa malu apabila dia melakukan hal-hal yang dapat membuat murka Rabbnya… Rasa malu itu akan menyebabkan terbukanya mata hati yang akan membuat Anda bisa melihat seolah-olah Anda sedang berada di hadapan Allah…
Ketiga, senantiasa menjaga nikmat Allah yang dilimpahkan kepadamu dan mengingat-ingat perbuatan baik-Nya kepadamu……………

Apabila engkau berlimpah nikmat
maka jagalah, karena maksiat
akan membuat nikmat hilang dan lenyap
Barang siapa yang tidak mau bersyukur dengan nikmat yang diberikan Allah kepadanya maka dia akan disiksa dengan nikmat itu sendiri.
Keempat, merasa takut kepada Allah dan khawatir tertimpa hukuman-Nya
Kelima, mencintai Allah… karena seorang kekasih tentu akan menaati sosok yang dikasihinya… Sesungguhnya maksiat itu muncul diakibatkan oleh lemahnya rasa cinta.
Keenam, menjaga kemuliaan dan kesucian diri serta memelihara kehormatan dan kebaikannya… Sebab perkara-perkara inilah yang akan bisa membuat dirinya merasa mulia dan rela meninggalkan berbagai perbuatan maksiat…
Ketujuh, memiliki kekuatan ilmu tentang betapa buruknya dampak perbuatan maksiat serta jeleknya akibat yang ditimbulkannya dan juga bahaya yang timbul sesudahnya yaitu berupa muramnya wajah, kegelapan hati, sempitnya hati dan gundah gulana yang menyelimuti diri… karena dosa-dosa itu akan membuat hati menjadi mati…
Kedelapan, memupus buaian angan-angan yang tidak berguna. Dan hendaknya setiap insan menyadari bahwa dia tidak akan tinggal selamanya di alam dunia. Dan mestinya dia sadar kalau dirinya hanyalah sebagaimana tamu yang singgah di sana, dia akan segera berpindah darinya. Sehingga tidak ada sesuatu pun yang akan mendorong dirinya untuk semakin menambah berat tanggungan dosanya, karena dosa-dosa itu jelas akan membahayakan dirinya dan sama sekali tidak akan memberikan manfaat apa-apa.
Kesembilan, hendaknya menjauhi sikap berlebihan dalam hal makan, minum dan berpakaian. Karena sesungguhnya besarnya dorongan untuk berbuat maksiat hanyalah muncul dari akibat berlebihan dalam perkara-perkara tadi. Dan di antara sebab terbesar yang menimbulkan bahaya bagi diri seorang hamba adalah… waktu senggang dan lapang yang dia miliki… karena jiwa manusia itu tidak akan pernah mau duduk diam tanpa kegiatan… sehingga apabila dia tidak disibukkan dengan hal-hal yang bermanfaat maka tentulah dia akan disibukkan dengan hal-hal yang berbahaya baginya.
Kesepuluh, sebab terakhir adalah sebab yang merangkum sebab-sebab di atas… yaitu kekokohan pohon keimanan yang tertanam kuat di dalam hati… Maka kesabaran hamba untuk menahan diri dari perbuatan maksiat itu sangat tergantung dengan kekuatan imannya. Setiap kali imannya kokoh maka kesabarannya pun akan kuat… dan apabila imannya melemah maka sabarnya pun melemah… Dan barang siapa yang menyangka bahwa dia akan sanggup meninggalkan berbagai macam penyimpangan dan perbuatan maksiat tanpa dibekali keimanan yang kokoh maka sungguh dia telah keliru.
(Diterjemahkan dari artikel berjudul ‘Asyru Nashaa’ih libnil Qayyim li shabri ‘anil ma’shiyah, www.ar.islamhouse.com)
Diposting oleh Rahmi Ummu Qanitaah At Thahirah di 05.44 Tidak ada komentar:

JADILAH KUNCI KEBAIKAN

عن أنس بن مالك قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ” إن من الناس مفاتيح للخير مغاليق للشر و إن من الناس مفاتيح للشر مغاليق للخير ، فطوبى لمن جعل الله مفاتيح الخير على يديه ، و ويل لمن جعل الله مفاتيح الشر على يديه “

Dari Anas bin Malik rodhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa sallama bersabda, ‘Sesungguhnya diantara manusai
ada yang menjadi kunci-kunci pembuka kebaikan dan penutup keburukan.

Dan diantara manusia ada pula yang menjadi kunci-kunci pembuka
keburukan dan penutup kebaikan. Maka beruntunglah orang yang Allah
jadikan kunci-kunci kebaikan di tangannya dan celakalah bagi
orang-orang yang Allah jadikan kunci-kunci keburukan di tangannya”.[1]

Barangsiapa yang ingin menjadi kunci pembuka kebaikan dan penutup keburukan , hendaklah ia memenuhi hal berikut ini :

1. Ikhlas untuk Allah dalam perkataan dan perbuatan. Karena
ikhlas adalah asas segala kebaikan dan mata air segala keutamaan.

2. Senantiasa berdo’a kepada Allah memohon bimbingan untuk
menjadi kunci kebaikan. Karena do’a adalah kunci segala kebaikan. Allah
tidak akan menolak hamba-Nya yang berdo’a kepada-Nya serta tidak akan
menyia-nyiakan seorang mukmin yang menyeru-Nya.

3. Bersemangat menuntut dan mendapatkan ilmu. Karena ilmu
mengajak kepada keutamaan dan akhlak yang mulia, serta penghalang dari
akhlak tercela dan perbuatan keji.

4. Menjalakan ‘ibadatullah terutama yang fardhu, dan khususnya
lagi sholat. Karena ia mencegah dari perbuatan keji dan munkar.

5. Menghiasi diri dengan akhlak yang mulia, serta menjauh dari akhlak tercela.

6. Berteman dengan orang-orang baik dan sholeh. Karena duduk
bersama orang-orang yang sholeh dinaungi malaikat dan diliputi rahmat.
Serta menjauhkan diri dari duduk di majelis orang-orang yang jahat dan
tidak baik, sesungguhnya itu adalah tempat singgah setan.

7. Menasehati manusia ketika bergaul dan berbaur dengan
mereka, dengan cara menyibukkan mereka dengan kebaikan dan memalingkan
mereka dari keburukan.

8. Mengingat hari berbangkit dan sa’at berdiri di hadapan
Robbul ‘Alamiin. Ketika Ia membalas orang yang baik dengan kebaikan dan
orang yang jahat dengan hukuman. (Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan
seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya Dan
barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia
akan melihat (balasan)nya pula.[2])

9. Dan pilar penyanggah semua itu adalah keinginan seorang
hamba kepada kebaikan serta memberi manfaat kepada orang lain. Apabila
keinginan seseorang kuat, niat dan tekad sudah bulat serta memohon
pertolongan kepada Allah dalam melakukan itu, lalu melakukannya sesuai
jalurnya. Maka dengan izin Allah akan menjadi kunci-kunci pembuka
kebaikan dan penutup keburukan.[3]

Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita sebagai kunci-kunci pembuka kebaikan dan penutup keburukan. Amiin.

[1] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (237) dan dihasankan oleh Al-Albany di Shohih Sunan Ibnu Majah (194).
[2] Al-Zalzalah : 7-8.
[3] Al-Fawaid Al-Mantsuroh (161-162) oleh Syaikh Dr. Abdurrozaq bin Abdu Muhsin Al-Badr.



Diposting oleh Rahmi Ummu Qanitaah At Thahirah di 05.40 Tidak ada komentar:

7 Indikator Kebahagiaan Dunia

Ibnu Abbas ra. adalah salah seorang sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam yang sangat telaten dalam menjaga dan melayani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, dimana ia pernah secara khusus didoakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, selain itu pada usia 9 tahun Ibnu Abbas telah hafal Al-Quran dan telah menjadi imam di mesjid. Suatu hari ia ditanya oleh para Tabi’in (generasi sesudah wafatnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam) mengenai apa yang dimaksud dengan kebahagiaan dunia.

Jawab Ibnu Abbas ada 7 (tujuh) indikator kebahagiaan dunia, yaitu :

Pertama, Qalbun syakirun atau hati yang selalu bersyukur.

Memiliki jiwa syukur berarti selalu menerima apa adanya (qona’ah), sehingga tidak ada ambisi yang berlebihan, tidak ada stress, inilah nikmat bagi hati yang selalu bersyukur. Seorang yang pandai bersyukur sangatlah cerdas memahami sifat-sifat Allah Subhanahu Wa Ta'ala, sehingga apapun yang diberikan Allah ia malah terpesona dengan pemberian dan keputusan Allah.

Bila sedang kesulitan maka ia segera ingat sabda Rasulullah yaitu :
“Kalau kita sedang sulit perhatikanlah orang yang lebih sulit dari kita”. Bila sedang diberi kemudahan, ia bersyukur dengan memperbanyak amal ibadahnya, kemudian Allah pun akan mengujinya dengan kemudahan yang lebih besar lagi. Bila ia tetap “bandel” dengan terus bersyukur maka Allah akan mengujinya lagi dengan kemudahan yang lebih besar lagi.

Maka berbahagialah orang yang pandai bersyukur!

Kedua. Al azwaju shalihah, yaitu pasangan hidup yang sholeh.

Pasangan hidup yang sholeh akan menciptakan suasana rumah dan keluarga yang sholeh pula. Di akhirat kelak seorang suami (sebagai imam keluarga) akan diminta pertanggungjawaban dalam mengajak istri dan anaknya kepada kesholehan. Berbahagialah menjadi seorang istri bila memiliki suami yang sholeh, yang pasti akan bekerja keras untuk mengajak istri dan anaknya menjadi muslim yang sholeh. Demikian pula seorang istri yang sholeh, akan memiliki kesabaran dan keikhlasan yang luar biasa dalam melayani suaminya, walau seberapa buruknya kelakuan suaminya. Maka berbahagialah menjadi seorang suami yang memiliki seorang istri yang sholeh.

Ketiga, al auladun abrar, yaitu anak yang soleh.

Saat Rasulullah lagi thawaf. Rasulullah bertemu dengan seorang anak muda yang pundaknya lecet-lecet. Setelah selesai thawaf Rasulullah bertanya kepada anak muda itu : “Kenapa pundakmu itu ?” Jawab anak muda itu : “Ya Rasulullah, saya dari Yaman, saya mempunyai seorang ibu yang sudah udzur. Saya sangat mencintai dia dan saya tidak pernah melepaskan dia. Saya melepaskan ibu saya hanya ketika buang hajat, ketika sholat, atau ketika istirahat, selain itu sisanya saya selalu menggendongnya”. Lalu anak muda itu bertanya: ” Ya Rasulullah, apakah aku sudah termasuk kedalam orang yang sudah berbakti kepada orang tua ?”

Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam sambil memeluk anak muda itu dan mengatakan: “Sungguh Allah ridho kepadamu, kamu anak yang soleh, anak yang berbakti, tapi anakku ketahuilah, cinta orangtuamu tidak akan terbalaskan olehmu”. Dari hadist tersebut kita mendapat gambaran bahwa amal ibadah kita ternyata tidak cukup untuk membalas cinta dan kebaikan orang tua kita, namun minimal kita bisa memulainya dengan menjadi anak yang soleh, dimana doa anak yang sholeh kepada orang tuanya dijamin dikabulkan Allah. Berbahagialah kita bila memiliki anak yang sholeh.

Keempat, albiatu sholihah, yaitu lingkungan yang kondusif untuk iman kita.

Yang dimaksud dengan lingkungan yang kondusif ialah, kita boleh mengenal siapapun tetapi untuk menjadikannya sebagai sahabat karib kita, haruslah orang-orang yang mempunyai nilai tambah terhadap keimanan kita. Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah menganjurkan kita untuk selalu bergaul dengan orang-orang yang sholeh. Orang-orang yang sholeh akan selalu mengajak kepada kebaikan dan mengingatkan kita bila kita berbuat salah.

Orang-orang sholeh adalah orang-orang yang bahagia karena nikmat iman dan nikmat Islam yang selalu terpancar pada cahaya wajahnya. Insya Allah cahaya tersebut akan ikut menyinari orang-orang yang ada disekitarnya.

Berbahagialah orang-orang yang selalu dikelilingi oleh orang-orang yang sholeh.

Kelima, al malul halal, atau harta yang halal.

Paradigma dalam Islam mengenai harta bukanlah banyaknya harta tetapi halalnya. Ini tidak berarti Islam tidak menyuruh umatnya untuk kaya.
Dalam riwayat Imam Muslim di dalam bab sadaqoh, Rasulullah pernah bertemu dengan seorang sahabat yang berdoa mengangkat tangan. “Kamu berdoa sudah bagus”, kata Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, “Namun sayang makanan, minuman dan pakaian dan tempat tinggalnya didapat secara haram, bagaimana doanya dikabulkan”. Berbahagialah menjadi orang yang hartanya halal karena doanya sangat mudah dikabulkan Allah. Harta yang halal juga akan menjauhkan setan dari hatinya, maka hatinya semakin bersih, suci dan kokoh, sehingga memberi ketenangan dalam hidupnya. Maka berbahagialah orang-orang yang selalu dengan teliti menjaga kehalalan hartanya.

Keenam, Tafakuh fi dien, atau semangat untuk memahami agama.

Semangat memahami agama diwujudkan dalam semangat memahami ilmu-ilmu agama Islam. Semakin ia belajar, maka semakin ia terangsang untuk belajar lebih jauh lagi ilmu mengenai sifat-sifat Allah dan ciptaan-Nya.

Allah menjanjikan nikmat bagi umat-Nya yang menuntut ilmu, semakin ia belajar semakin cinta ia kepada agamanya, semakin tinggi cintanya kepada Allah dan rasul-Nya. Cinta inilah yang akan memberi cahaya bagi hatinya.

Semangat memahami agama akan meng “hidup” kan hatinya, hati yang “hidup” adalah hati yang selalu dipenuhi cahaya nikmat Islam dan nikmat iman. Maka berbahagialah orang yang penuh semangat memahami ilmu agama Islam.

Ketujuh, yaitu umur yang baroqah.

Umur yang baroqah itu artinya umur yang semakin tua semakin sholeh, yang setiap detiknya diisi dengan amal ibadah. Seseorang yang mengisi hidupnya untuk kebahagiaan dunia semata, maka hari tuanya akan diisi dengan banyak bernostalgia (berangan-angan) tentang masa mudanya, iapun cenderung kecewa dengan ketuaannya (post-power syndrome). Disamping itu pikirannya terfokus pada bagaimana caranya menikmati sisa hidupnya, maka iapun sibuk berangan-angan terhadap kenikmatan dunia yang belum ia sempat rasakan, hatinya kecewa bila ia tidak mampu menikmati kenikmatan yang diangankannya. Sedangkan orang yang mengisi umurnya dengan banyak mempersiapkan diri untuk akhirat (melalui amal ibadah) maka semakin tua semakin rindu ia untuk bertemu dengan Sang Penciptanya. Hari tuanya diisi dengan bermesraan dengan Sang Maha Pengasih. Tidak ada rasa takutnya untuk meninggalkan dunia ini, bahkan ia penuh harap untuk segera merasakan keindahan alam kehidupan berikutnya seperti yang dijanjikan Allah. Inilah semangat “hidup” orang-orang yang baroqah umurnya, maka berbahagialah orang-orang yang umurnya baroqah.

Demikianlah pesan-pesan dari Ibnu Abbas ra. mengenai 7 indikator kebahagiaan dunia.
Bagaimana caranya agar kita dikaruniakan Allah ke tujuh buah indikator kebahagiaan dunia tersebut ? Selain usaha keras kita untuk memperbaiki diri, maka mohonlah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala dengan sesering dan se-khusyu’ mungkin membaca doa `sapu jagat’ , yaitu doa yang paling sering dibaca oleh Rasulullah. Dimana baris pertama doa tersebut “Rabbanaa aatina fid dun-yaa hasanaw” (yang artinya “Ya Allah karuniakanlah aku kebahagiaan dunia “), mempunyai makna bahwa kita sedang meminta kepada Allah ke tujuh indikator kebahagiaan dunia yang disebutkan Ibnu Abbas ra, yaitu hati yang selalu syukur, pasangan hidup yang soleh, anak yang soleh, teman-teman atau lingkungan yang soleh, harta yang halal, semangat untuk memahami ajaran agama, dan umur yang baroqah.

Walaupun kita akui sulit mendapatkan ketujuh hal itu ada di dalam genggaman kita, setidak-tidaknya kalau kita mendapat sebagian saja sudah patut kita syukuri.

Sedangkan mengenai kelanjutan doa sapu jagat tersebut yaitu “wa fil aakhirati hasanaw” (yang artinya “dan juga kebahagiaan akhirat”), untuk memperolehnya hanyalah dengan rahmat Allah. Kebahagiaan akhirat itu bukan surga tetapi rahmat Allah, kasih sayang Allah. Surga itu hanyalah sebagian kecil dari rahmat Allah, kita masuk surga bukan karena amal soleh kita, tetapi karena rahmat Allah.

Amal soleh yang kita lakukan sepanjang hidup kita (walau setiap hari puasa dan sholat malam) tidaklah cukup untuk mendapatkan tiket masuk surga. Amal soleh sesempurna apapun yang kita lakukan seumur hidup kita tidaklah sebanding dengan nikmat surga yang dijanjikan Allah.

Kata Nabi Shallallahu 'alahi wasallam, “Amal soleh yang kalian lakukan tidak bisa memasukkan kalian ke surga”. Lalu para sahabat bertanya: “Bagaimana dengan Engkau ya Rasulullah ?”. Jawab Rasulullah : “Amal soleh saya pun juga tidak cukup”. Lalu para sahabat kembali bertanya : “Kalau begitu dengan apa kita masuk surga?”. Nabi kembali menjawab : “Kita dapat masuk surga hanya karena rahmat dan kebaikan Allah semata”.

Jadi sholat kita, puasa kita, taqarrub kita kepada Allah sebenarnya bukan untuk surga tetapi untuk mendapatkan rahmat Allah. Dengan rahmat Allah itulah kita mendapatkan surga Allah (Insya Allah, Amiin).

Wallahu a'lam
Diposting oleh Rahmi Ummu Qanitaah At Thahirah di 05.14 Tidak ada komentar:

Bagaimana Sih Bangkrut Di Akhirat itu?

Bismillah,

Jika membaca judul artikel ini, barangkali banyak orang bertanya-apa, apakah memang ada orang yang bangkrut di akhirat kelak? Mari kita tinjau hadits berikut ini.

Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?”
Mereka menjawab: “Orang yang bangkrut di kalangan kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak pula memiliki harta/barang.”

Rasululloh SAW bersabda: “Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat. Namun ia juga datang dengan membawa dosa kedzaliman. Ia pernah mencerca si ini, menuduh tanpa bukti terhadap si itu, memakan harta si anu, menumpahkan darah orang ini dan memukul orang itu. Maka sebagai tebusan atas kedzalimannya tersebut, diberikanlah di antara kebaikannya kepada si ini, si anu dan si itu. Hingga apabila kebaikannya telah habis dibagi-bagikan kepada orang-orang yang didzaliminya sementara belum semua kedzalimannya tertebus, diambillah kejelekan/kesalahan yang dimiliki oleh orang yang didzaliminya lalu ditimpakan kepadanya, kemudian ia dicampakkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim no. 6522)

Penjelasan:
Dari hadits di atas, kita bisa simpulkan bahwa bangkrut di akhirat tidaklah sama dengan bangkrut di dunia. Jika di dunia, bangkrut identik dengan harta, maka bangkrut di akhirat berkaitan dengan amalan kita, entah itu kebajikan atau keburukan.

Seseorang akan dinyatakan bangkrut di akhirat jika amal kebajikannya tidak hanya habis untuk ‘membayar’ kejahatan yang dia lakukan, namun dia harus mendapat ’sumbangan’ amal keburukan dari orang2 yang pernah dia aniaya/perlakukan tidak baik.

Hal yang bisa kita pelajari dari hadits di atas, hendaknya kita berhati-hati dalam bersikap, jangan sampai menyengsarakan/merugikan orang lain. Karena di akhirat kelak, kebajikan bisa berkurang dan yang lebih repot jika malah amal keburukan yang bertambah.

Wallahu a'lam
Diposting oleh Rahmi Ummu Qanitaah At Thahirah di 05.04 Tidak ada komentar:

Jumat, 27 November 2009

Asmaul Husna

Di dalam kitab suci Al-Qur'an Allah Subhanahu Wa Ta'Ala disebut juga dengan nama-nama sebutan yang berjumlah 99 nama yang masing-masing memiliki arti definisi / pengertian yang bersifat baik, agung dan bagus. Secara ringkas dan sederhana Asmaul Husna adalah sembilan puluh sembilan nama baik Allah Subhanahu Wa Ta'Ala .

Firman Allah Subhanahu Wa Ta'Ala dalam surat Al-Araf ayat 180 :

"Allah mempunyai asmaul husna, maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut asmaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-namaNya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan".

Berikut ini adalah 99 nama Allah Subhanahu Wa Ta'Ala beserta artinya :
1. Ar-Rahman (Ar Rahman) Artinya Yang Maha Pemurah
2. Ar-Rahim (Ar Rahim) Artinya Yang Maha Mengasihi
3. Al-Malik (Al Malik) Artinya Yang Maha Menguasai / Maharaja Teragung
4. Al-Quddus (Al Quddus) Artinya Yang Maha Suci
5. Al-Salam (Al Salam) Artinya Yang Maha Selamat Sejahtera
6. Al-Mu'min (Al Mukmin) Artinya Yang Maha Melimpahkan Keamanan
7. Al-Muhaimin (Al Muhaimin) Artinya Yang Maha Pengawal serta Pengawas
8. Al-Aziz (Al Aziz) Artinya Yang Maha Berkuasa
9. Al-Jabbar (Al Jabbar) Artinya Yang Maha Kuat Yang Menundukkan Segalanya
10. Al-Mutakabbir (Al Mutakabbir) Artinya Yang Melengkapi Segala kebesaranNya
11. Al-Khaliq (Al Khaliq) Artinya Yang Maha Pencipta
12. Al-Bari (Al Bari) Artinya Yang Maha Menjadikan
13. Al-Musawwir (Al Musawwir) Artinya Yang Maha Pembentuk
14. Al-Ghaffar (Al Ghaffar) Artinya Yang Maha Pengampun
15. Al-Qahhar (Al Qahhar) Artinya Yang Maha Perkasa
16. Al-Wahhab (Al Wahhab) Artinya Yang Maha Penganugerah
17. Al-Razzaq (Al Razzaq) Artinya Yang Maha Pemberi Rezeki
18. Al-Fattah (Al Fattah) Artinya Yang Maha Pembuka
19. Al-'Alim (Al Alim) Artinya Yang Maha Mengetahui
20. Al-Qabidh (Al Qabidh) Artinya Yang Maha Pengekang
21. Al-Basit (Al Basit) Artinya Yang Maha Melimpah Nikmat
22. Al-Khafidh (Al Khafidh) Artinya Yang Maha Perendah / Pengurang
23. Ar-Rafi' (Ar Rafik) Artinya Yang Maha Peninggi
24. Al-Mu'izz (Al Mu'izz) Artinya Yang Maha Menghormati / Memuliakan
25. Al-Muzill (Al Muzill) Artinya Yang Maha Menghina
26. As-Sami' (As Sami) Artinya Yang Maha Mendengar
27. Al-Basir (Al Basir) Artinya Yang Maha Melihat
28. Al-Hakam (Al Hakam) Artinya Yang Maha Mengadili
29. Al-'Adl (Al Adil) Artinya Yang Maha Adil
30. Al-Latif (Al Latif) Artinya Yang Maha Lembut serta Halus
31. Al-Khabir (Al Khabir) Artinya Yang Maha Mengetahui
32. Al-Halim (Al Halim) Artinya Yang Maha Penyabar
33. Al-'Azim (Al Azim) Artinya Yang Maha Agung
34. Al-Ghafur (Al Ghafur) Artinya Yang Maha Pengampun
35. Asy-Syakur (Asy Syakur) Artinya Yang Maha Bersyukur
36. Al-'Aliy (Al Ali) Artinya Yang Maha Tinggi serta Mulia
37. Al-Kabir (Al Kabir) Artinya Yang Maha Besar
38. Al-Hafiz (Al Hafiz) Artinya Yang Maha Memelihara
39. Al-Muqit (Al Muqit) Artinya Yang Maha Menjaga
40. Al-Hasib (Al Hasib) Artinya Yang Maha Penghitung
41. Al-Jalil (Al Jalil) Artinya Yang Maha Besar serta Mulia
42. Al-Karim (Al Karim) Artinya Yang Maha Pemurah
43. Ar-Raqib (Ar Raqib) Artinya Yang Maha Waspada
44. Al-Mujib (Al Mujib) Artinya Yang Maha Pengkabul
45. Al-Wasi' (Al Wasik) Artinya Yang Maha Luas
46. Al-Hakim (Al Hakim) Artinya Yang Maha Bijaksana
47. Al-Wadud (Al Wadud) Artinya Yang Maha Penyayang
48. Al-Majid (Al Majid) Artinya Yang Maha Mulia
49. Al-Ba'ith (Al Baith) Artinya Yang Maha Membangkitkan Semula
50. Asy-Syahid (Asy Syahid) Artinya Yang Maha Menyaksikan
51. Al-Haqq (Al Haqq) Artinya Yang Maha Benar
52. Al-Wakil (Al Wakil) Artinya Yang Maha Pentadbir
53. Al-Qawiy (Al Qawiy) Artinya Yang Maha Kuat
54. Al-Matin (Al Matin) Artinya Yang Maha Teguh
55. Al-Waliy (Al Waliy) Artinya Yang Maha Melindungi
56. Al-Hamid (Al Hamid) Artinya Yang Maha Terpuji
57. Al-Muhsi (Al Muhsi) Artinya Yang Maha Penghitung
58. Al-Mubdi (Al Mubdi) Artinya Yang Maha Pencipta dari Asal
59. Al-Mu'id (Al Muid) Artinya Yang Maha Mengembali dan Memulihkan
60. Al-Muhyi (Al Muhyi) Artinya Yang Maha Menghidupkan
61. Al-Mumit (Al Mumit) Artinya Yang Mematikan
62. Al-Hayy (Al Hayy) Artinya Yang Senantiasa Hidup
63. Al-Qayyum (Al Qayyum) Artinya Yang Hidup serta Berdiri Sendiri
64. Al-Wajid (Al Wajid) Artinya Yang Maha Penemu
65. Al-Majid (Al Majid) Artinya Yang Maha Mulia
66. Al-Wahid (Al Wahid) Artinya Yang Maha Esa
67. Al-Ahad (Al Ahad) Artinya Yang Tunggal
68. As-Samad (As Samad) Artinya Yang Menjadi Tumpuan
69. Al-Qadir (Al Qadir) Artinya Yang Maha Berupaya
70. Al-Muqtadir (Al Muqtadir) Artinya Yang Maha Berkuasa
71. Al-Muqaddim (Al Muqaddim) Artinya Yang Maha Menyegera
72. Al-Mu'akhkhir (Al Muakhir) Artinya Yang Maha Penangguh
73. Al-Awwal (Al Awwal) Artinya Yang Pertama
74. Al-Akhir (Al Akhir) Artinya Yang Akhir
75. Az-Zahir (Az Zahir) Artinya Yang Zahir
76. Al-Batin (Al Batin) Artinya Yang Batin
77. Al-Wali (Al Wali) Artinya Yang Wali / Yang Memerintah
78. Al-Muta'ali (Al Muta Ali) Artinya Yang Maha Tinggi serta Mulia
79. Al-Barr (Al Barr) Artinya Yang banyak membuat kebajikan
80. At-Tawwab (At Tawwab) Artinya Yang Menerima Taubat
81. Al-Muntaqim (Al Muntaqim) Artinya Yang Menghukum Yang Bersalah
82. Al-'Afuw (Al Afuw) Artinya Yang Maha Pengampun
83. Ar-Ra'uf (Ar Rauf) Artinya Yang Maha Pengasih serta Penyayang
84. Malik-ul-Mulk (Malikul Mulk) Artinya Pemilik Kedaulatan Yang Kekal
85. Dzul-Jalal-Wal-Ikram (Dzul Jalal Wal Ikram) Artinya Yang Mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan
86. Al-Muqsit (Al Muqsit) Artinya Yang Maha Saksama
87. Al-Jami' (Al Jami) Artinya Yang Maha Pengumpul
88. Al-Ghaniy (Al Ghaniy) Artinya Yang Maha Kaya Dan Lengkap
89. Al-Mughni (Al Mughni) Artinya Yang Maha Mengkayakan dan Memakmurkan
90. Al-Mani' (Al Mani) Artinya Yang Maha Pencegah
91. Al-Darr (Al Darr) Artinya Yang Mendatangkan Mudharat
92. Al-Nafi' (Al Nafi) Artinya Yang Memberi Manfaat
93. Al-Nur (Al Nur) Artinya Cahaya
94. Al-Hadi (Al Hadi) Artinya Yang Memimpin dan Memberi Pertunjuk
95. Al-Badi' (Al Badi) Artinya Yang Maha Pencipta Yang Tiada BandinganNya
96. Al-Baqi (Al Baqi) Artinya Yang Maha Kekal
97. Al-Warith (Al Warith) Artinya Yang Maha Mewarisi
98. Ar-Rasyid (Ar Rasyid) Artinya Yang Memimpin Kepada Kebenaran
99. As-Sabur (As Sabur) Artinya Yang Maha Penyabar / Sabar
Diposting oleh Rahmi Ummu Qanitaah At Thahirah di 07.37 Tidak ada komentar:

Mengusap Khuf, Kaos Kaki dan Jilbab Dalam Wudhu

Penulis: Ummu Ziyad
Muraja’ah: Ust. Aris Munandar

Kita telah mempelajari tata cara wudhu bagi muslimah pada artikel yang telah lalu. Nah, sekarang mari kita melengkapi pengetahuan kita tentang tata cara wudhu yaitu bab mengusap khuf – yang ini merupakan keringanan yang diberikan Allah Azza wa Jalla kepada hamba-Nya.

Sebelum masuk pada pembahasan, pada artikel yang lalu, telah masuk beberapa  pertanyaan berkaitan dengan tata cara wudhu bagi muslimah ketika berada di luar rumah. Dan menjawab hal ini, kondisi paling aman bagi muslimah adalah berwudhu di ruangan tertutup sehingga ketika muslimah hendak menyempurnakan mengusap atau membasuh anggota tubuh yang wajib dikenakan air wudhu, auratnya  tidak terlihat oleh orang-orang yang bukan mahramnya. Sayangnya, tidak semua masjid menyediakan tempat wudhu yang berada di ruangan tertutup.


Alternatif lain adalah dengan wudhu di kamar mandi. Sebagian orang merasa khawatir dan ragu-ragu bila wudhu di kamar mandi wudhunya tidak sah karena kamar mandi merupakan tempat yang biasa digunakan untuk buang hajat. Sehingga kemungkinan besar terdapat najis di dalamnya. Wudhu di kamar mandi hukumnya boleh. Asalkan tidak dikhawatirkan terkena/ terpercik najis yang mungkin ada di kamar mandi.

Kita ingat kaidah yang menyebutkan “Sesuatu yang yakin tidak bisa hilang dengan keraguan.” Keragu-raguan atau kekhawatiran kita terkena najis tidak bisa dijadikan dasar tidak bolehnya wudhu di kamar mandi, kecuali setelah kita benar-benar yakin bahwa jika wudhu di kamar mandi kita akan terkena/ terpeciki najis. Jika kita telah memastikan bahwa lantai kamar mandi bersih dari najis dan kita yakin tidak akan terkena/ terperciki najis, maka insya Allah tak mengapa wudhu di kamar mandi.

Sedangkan pelafadzan “bismillah” di kamar mandi, menurut pendapat yang lebih tepat adalah boleh melafadzkannya di kamar  mandi. Hal ini dikarenakan membaca bismillah pada saat wudhu hukumnya wajib, sedangkan menyebut nama Allah di kamar mandi hukumnya makruh. Kaidah mengatakan bahwa makruh itu berubah menjadi mubah jika ada hajat. Dan melaksanakan kewajiban adalah hajat.

Adapun membaca dzikir setelah wudhu dapat dilakukan setelah keluar kamar mandi, yaitu setelah membaca doa keluar kamar mandi. Untuk itu disarankan setelah berwudhu, tidak berlama-lama di kamar mandi (segera keluar).


Bagaimana bila kita yakin bahwa bila wudhu di kamar mandi kita akan terkena/ terperciki najis?
Dengan alasan terkena najis, maka sebaiknya tidak wudhu di kamar mandi atau disiram dulu sampai bersih.
Alternatif lainnya adalah dengan cara mengusap khuf. jaurab, dan jilbab tanpa harus membukanya.

Pembahasan tentang ini masuk dalam bab mengusap khuf. Tentu timbul pertanyaan lain, bagaimana dengan tangan? Jika jilbab kita sesuai dengan syari’at, insya Allah hal ini bisa diatasi. Karena bagian tangan yang perlu dibasuh bisa dilakukan di balik jilbab kita yang terulur panjang. Sehingga tangan kita tidak akan terlihat oleh umum, insya Allah.


Wallahu a’lam bi shawab.

Definisi Khuf dan Jaurab
Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan bahwa khuf adalah sesuatu yang dipakai di kaki, terbuat dari kulit ataupun lainnya sedangkan jaurab adalah sesuatu yang dipakai di kaki, terbuat dari kapas dan semisalnya atau yang lebih dikenal oleh kebanyakan orang dengan kaos kaki.

Dalil Bolehnya Mengusap Khuf
Terdapat banyak hadits yang menunjukkan bolehnya mengusap khuf. Bahkan haditsnya mutawatir dari para sahabat sebagaimana al-Hasan al-Bashari rahimahullah dalam Al-Wajiz menyatakan, “Ada 70 sahabat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam yang menyampaikan kepadaku, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam biasa mengusap kedua khufnya.”

Adapun salah satu hadits yang menerangkan tentang hal ini adalah hadits dari al-Mughirah bin Syu’bah radhiallahu ‘anhu. Ia menuturkan, “Aku pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah perjalanan. Aku pun jongkok untuk melepas kedua sepatu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda,

‘Biarkan saja sepatu itu, karena aku memakainya dalam keadaan suci.’

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengusap kedua sepatu tersebut.” (HR. Bukhari)
Dalil lain adalah hadits dari Jarir radhiallahu ‘anhu, dimana para ulama terkagum oleh hadits ini karena Jarir radhiallahu ‘anhu masuk Islam setelah turun surat al-Maaidah ayat 6,

“Maka, basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepala dan bsuhlah kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (Qs. al-Maaidah: 6)

Ayat tersebut menunjukkan kewajiban membasuh sampai dengan kedua mata kaki. Sedangkan Jarir radhiallahu ‘anhu tentu juga telah mengetahui ayat ini. Namun, ia pernah mengusap kedua khufnya setelah kencing. Kemudian ia ditanya oleh seseorang,

“Engkau melakukan ini?”

Ia menjawab, “Ya, (karena) saya pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kencing lalu berwudhu dengan mengusap di atas kedua khufnya.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no. 136)
Hal ini menunjukkan syari’at mengusap khuf ini tetap diamalkan dan tidak terhapus oleh surat al-Maaidah tersebut.

Syarat Mengusap Khuf
  1. Memakai khuf/ jaurab tersebut dalam keadaan suci.
    Sebagaimana dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa beliau memakainya dalam keadaan suci. Artinya kita dalam kondisi telah berwudhu (suci) sebelum mengenakan khuf tefrsebut. Adapun jika sucinya karena tayamum, maka tidak diperbolehkan mengusap khuf ketika berwudhu, dan wajib baginya membuka khuf ketika wudhu.
  2. Khuf/ jaurab tersebut juga dalam keadaan suci (tidak ada najis) dan bukan najis.
  3. Mengusapnya hanya karena hadats kecil. Adapun jika junub atau dalam keadaan yang mengharuskan kita mandi, maka khuf tersebut harus dilepas.
  4. Mengusapnya dalam waktu tertentu yang telah ditetapkan oleh syariat, yaitu sehari semalam untuk orang yang mukim (tidak safar) dan tiga hari tiga malam untuk orang yang safar.
Dan penentuan batasan waktu ini dimulai setelah pengusapan pertama. Misalnya, seseorang  yang mukim memakai khuf dalam keadaan suci. Kemudian ia mengusap khuf pada hari Senin pukul 15.00 WIB. Maka batasan akhir ia diperbolehkan mengusap khuf adalah hari Selasa pukul 15.00 WIB. Adapun jika ia musafir, kemudian ia mengusap khuf pertama kali pada hari Senin pukul 12.15 WIB, maka batasan akhir ia boleh mengusap khuf adalah hari Kamis pukul 12.15 WIB (dengan syarat ia tidak melakukan hal-hal yang menjadi pembatal bolehnya mengusap khuf).

Dalam mengusap khuf, tidak disyaratkan adanya niat bahwa ia nantinya akan bersuci dengan cara mengusap khuf.

Hal-Hal yang Membatalkan Bolehnya Mengusap Khuf
  1. Hadats yang mewajibkan mandi, seperti junub.
  2. Melepas khuf atau sejenisnya yang sedang dipakai,
  3. Telah habis batasan waktu bolehnya mengusap khuf.
Perlu diperhatikan bahwa berakhirnya  masa diperbolehkan mengusap khuf tidaklah membatalkan keadaan suci yang masih dimiliki seseorang. Contohnya, seorang yang mukim dalam keadaan suci mengusap kaos kaki pukul 4.30 hari Selasa, dan pada pukul 4.00 hari Rabu ia wudhu dengan mengusap kaos kaki. Maka jika ia tetap dalam keadaan suci sampai pukul 4.35 atau setelahnya, ia tidak harus mengulangi wudhunya

Untuk seseorang yang memakai dua kaos kaki dalam keadaan suci, jika ia mengusap kaos kaki bagian atas kemudian ia melepaskan bagian atas tersebut, ia diperbolehkan mengusap kaos kaki yang kedua pada wudhu berikutnya. Hal ini disebabkan ia memakai dua kaos kaki tersebut dalam keadaan suci. Namun, jika seseorang memakai kaos kaki satu lapis kemudian mengusap kaos kaki tersebut dan setelah itu ia memakai kaos kaki yang kedua. Maka ia tidak diperbolehkan mengusap kaos kaki yang kedua, karena ia mengenakannya dalam keadaan tidak suci.

Cara Mengusap Khuf
Cara mengusap khuf adalah dengan mengusap bagian atas khuf sekali secara bersamaan dengan kedua tangan; tangan kanan untuk kaki kanan dan tangan kiri untuk kaki kiri.
Mengusap kaos kaki adalah sama seperti mengusap khuf. Sebagaimana dalam hadits dari Mughirah radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwudhu, beliau mengusap kaos kaki dan sandalnya.” (HR. Abu Dawud)

Ibnu Qudamah menyebutkan bahwa apabila seseorang mengusap kaos kaki dan sandalnya secara bersama-sama hendaknya setelah mengusap tidak melepas sandalnya.(al-Mughni dalam Thaharah Nabi). Namun, bila seseorang melepas sandalnya, maka menurut pendapat yang rajih, ia boleh mengusap kaos kakinya ketika wudhu berikutnya. Hal ini sebagaimana keadaan orang yang memakai dua kaos kaki. Dan batasan waktunya terhitung dari usapan yang pertama.


Sedangkan mengusap jilbab bagi muslimah, dapat dilakukan dengan dua cara.
  1. Mengusap hanya pada jilbab yang sedang dipakai, baik seluruhnya atau sebagiannya, yaitu sampai sebatas tengkuk.
  2. Mengusap ubun-ubun (bagian kepala yang tampak) dan dilanjutkan mengusap jilbab.
Demikian penjelasan salah satu sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memudahkan kita menjalankan salah satu bentuk ibadah ini. Aamiin.

Maraji’:
al-Wajiz (terj), ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, Pustaka As-Sunnah, cetakan 2, Oktober 2006
Fatwa-Fatwa Seputar hukum Mengusap Dua Terompah dalam Berwudhu, Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin, Pustaka Arafah, cetakan  1,  2002
Thaharah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al Qahthani, Media Hidayah cetakan 1 Juni 2004

Catatan Kajian Al Wajiz bersama Ustadz Muslam 15 Maret 2004
Kajian Al Wajiz bersama ustadz Aris Munandar bulan Februari 2009
Diposting oleh Rahmi Ummu Qanitaah At Thahirah di 07.07 Tidak ada komentar:

TIPS Menghilangkan MALAS...

Disusun ulang oleh: Ummu Aufa


“Tugas kuliah masih menumpuk di meja, Menghafalkan surat, yah…… hanya dapat ayat pertama saja sudah bosen, mau membaca tetapi mengantuk akhirnya buku-buku kajian beralih fungsi menjadi bantal, kasur empuk selalu menyapaku di malam hari, hmm… apa yang bisa diperbuat agar malas jauh dari diriku?! Akankah hidup yang bagaikan musafir ini disia-siakan begitu saja? Tidak… tidak boleh hal itu terjadi padaku, aku harus bisa memusuhi 5 huruf itu yaitu MALAS.”
Malas bisa kita hindari ketika ia datang menyerang kemauan dan semangat kita, di bawah ini ada beberapa tips antara lain:
  1. Membasuh muka atau mandi ketika kantuk menyerang.
  2. Mengubah posisi duduk ketika membaca. Misalnya dari duduk berubah menjadi berdiri, namun disarankan jangan dari duduk terus berbaring bisa berbahaya atau bisa kebablasan tidur.
  3. Berpindah dari ruang baca ke kamar yang lain. Kalau sebagai anak kos bisa disiasati, berpindah dari kamar kita ke beranda kos, ruang tamu atau bahkan bisa juga ke dapur.
  4. Menghirup udara yang segar dengan cara berdiri di dekat jendela atau membuka jendela-jendela kamar lain untuk menambah kesegaran. Sebagai anak kos bisa disiasati dengan menciptakan aroma terapi, misalnya dengan menyemprot ruangan dengan wangi-wangian dan jika ada kipas angin, bisa menyetel kipas untuk menyebarkan wangi-wangian tersebut ke segala ruang. Karena mungkin tidak semua anak kos mempunyai jendela kamar.
  5. Berjalan-jalan sebentar di sekeliling rumah. Bisa diganti dengan kegiatan yang lain misalnya merapikan rak yang berantakan, atau kegiatan yang lain yang bisa menggerakkan otot-otot kita.
  6. Berbincang-bincang sebentar dengan keluarga atau teman sekos namun mengenai hal mubah bukan keharoman. Hati-hati jangan sampai lupa tujuan utama dalam berbincang-bincang yaitu untuk menumbuhkan semangat, bukan untuk ngobrol bahkan meng-ghibah.
  7. Berdiri membuat secangkir kopi, teh, susu atau juice untuk menghilangkan kebosanan dan menjernihkan akal.
  8. Mengubah kegiatan ketaatan. Misal bosan menghafalkan surat berganti dengan membaca, jika membaca bosan bisa diganti dengan mendengarkan kajian lewat CD.
Itulah beberapa tips agar kita bisa terjauh dari penyakit malas. Akan tetapi yang paling utama jangan sampai kita lupa berdo’a agar Alloh senantiasa memberi kita semangat dan agar menjauhkan diri kita dari penyakit malas tersebut. Wallohu A’lam bishowab.

Semoga tips di atas dapat bermanfaat bagi penulis ataupun bagi pembaca. Selamat tinggal Malas…

Maraji’: Kaifa Tatahammas
Diposting oleh Rahmi Ummu Qanitaah At Thahirah di 06.41 Tidak ada komentar:

Ayat Al Kursi


Diposting oleh Rahmi Ummu Qanitaah At Thahirah di 04.46 Tidak ada komentar:

Keberuntungan dan Kebahagiaan



Penulis : Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan


Siapa gerangan yang tak hendak mendapatkan untung? Siapa pula yang tak ingin meraih bahagia? Semua orang tentu mendambakan keberuntungan sekaligus kebahagiaan. Namun banyak orang menyangka keberuntungan dan kebahagiaan itu dapat diraih bila seseorang berhasil mendapatkan dunia berupa harta, pangkat, jabatan, dan kedudukan. Karena pandangan seperti itu, mereka pun menghabiskan waktu, umur, dan tenaga mereka guna meraih apa yang menurut mereka sebagai sebab (faktor) keberuntungan dan kebahagiaan. Padahal, sungguh mereka telah salah dan tidaklah mereka di atas petunjuk. Lihatlah Qarun yang hidup di zaman Nabi Musa q, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya saja harus dipikul oleh sekelompok lelaki yang kuat. Namun apa akhirnya kisahnya? Karena kedurhakaannya, ia ditenggelamkan ke dalam bumi bersama hartanya, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala kabarkan dalam Al-Qur’an:
فَخَسَفْنَا بِهِ وَبِدَارِهِ الْأَرْضَ فَمَا كَانَ لَهُ مِنْ فِئَةٍ يَنْصُرُونَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ
“Kami pun membenamkan Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi, maka tidak ada suatu golongan pun yang menolongnya selain Allah (dari azab-Nya).” (Al-Qashash: 81)
Sampai pula kabar kepada kita tentang Fir‘aun si durjana yang binasa dengan kerajaan dan kekuasaannya. Demikian pula umat-umat terdahulu yang memiliki kekuatan hebat dan kekuasaan yang besar, namun ingkar kepada Rabb semesta alam.
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ. إِرَمَ ذَاتِ الْعِمَادِ. الَّتِي لَمْ يُخْلَقْ مِثْلُهَا فِي الْبِلَادِ. وَثَمُودَ الَّذِينَ جَابُوا الصَّخْرَ بِالْوَادِ. وَفِرْعَوْنَ ذِي الْأَوْتَادِ. الَّذِينَ طَغَوْا فِي الْبِلَادِ. فَأَكْثَرُوا فِيهَا الْفَسَادَ. فَصَبَّ عَلَيْهِمْ رَبُّكَ سَوْطَ عَذَابٍ. إِنَّ رَبَّكَ لَبِالْمِرْصَادِ
“Apakah kamu tidak memerhatikan bagaimana Rabbmu telah berbuat terhadap kaum ‘Ad, (yaitu) penduduk Iram yang memiliki bangunan-bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu di negeri-negeri lain. Dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah. Dan kaum Fir’aun yang mempunyai tentara yang banyak, yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu. Oleh sebab itulah Rabbmu menimpakan kepada mereka cemeti azab. Sesungguhnya Rabbmu benar-benar mengawasi.” (Al-Fajr: 6-14)
Lalu, apakah kemajuan teknologi dalam berbagai bidang yang di zaman ini dikuasai oleh orang-orang kafir merupakan sebab keberuntungan dan kebahagiaan mereka? Sekali-kali tidak!
Ketahuilah wahai saudariku, bila iman tidak menjadi pegangan dan akidah yang shahihah tidak menjadi landasan, akan rusak binasalah dunia dan jadilah seluruh amalan tiada berfaedah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman mengabarkan tentang amalan orang-orang kafir:
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّى إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا
“Dan amal-amal orang-orang kafir adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu, dia tidak mendapati apa-apa....” (An-Nur: 39)
مَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ أَعْمَالُهُمْ كَرَمَادٍ اشْتَدَّتْ بِهِ الرِّيحُ فِي يَوْمٍ عَاصِفٍ لَا يَقْدِرُونَ مِمَّا كَسَبُوا عَلَى شَيْءٍ ذَلِكَ هُوَ الضَّلَالُ الْبَعِيدُ
“Permisalan amalan-amalan orang-orang yang kafir kepada Rabb mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikit pun dari apa yang telah mereka usahakan di dunia. Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.” (Ibrahim: 18)
Kehidupan orang kafir di dunia ini –dengan segenap harta yang ada pada mereka berikut kekuasaan, kekuatan, dan teknologi– Allah Subhanahu wa Ta’ala namakan dengan perhiasan sementara, yang akan berakhir dengan kerugian dan api neraka.
لَا يَغُرَّنَّكَ تَقَلُّبُ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي الْبِلَادِ. مَتَاعٌ قَلِيلٌ ثُمَّ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمِهَادُ
“Janganlah sekali-kali kamu teperdaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka adalah Jahannam dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya.” (Ali ‘Imran: 196-197)
Sebagian kaum muslimin yang lemah imannya teperdaya manakala melihat orang-orang kafir diberi keluasan dan kelapangan dalam kehidupan dunia. Akibatnya ia kagum dan mengagungkan mereka di dalam hatinya. Sebaliknya, bila ia melihat kelemahan yang menimpa kaum muslimin dan terbelakangnya kehidupan mereka, ia menyangka semua itu gara-gara Islam. Islam berikut pemeluknya pun jadi hina di dalam jiwanya.
Ketahuilah, kebangkrutan dan kerugian orang kafir di dunia dan di akhirat merupakan suatu kemestian, karena mereka telah kehilangan penegak keberuntungan dan kebahagiaan. Di antara yang paling inti adalah iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hari akhir. Keberuntungan hanyalah bagi orang-orang beriman dan bertakwa, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ. الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ. وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ. وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ. وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ. إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ. فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ. وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ. وَالَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَوَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ. أُولَئِكَ هُمُ الْوَارِثُونَ. الَّذِينَ يَرِثُونَ الْفِرْدَوْسَ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tidak berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak wanita yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa yang mencari di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat yang dipikulnya dan janjinya, dan orang-orang yang menjaga shalat mereka. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yaitu) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.” (Al-Mu’minun: 1-11)
الم. ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ. الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ. وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ. أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Alif laam miim. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugrahkan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Al-Qur’an yang telah diturunkan kepadamu dan beriman kepada kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya kehidupan akhirat. Mereka itulah yang tetap beroleh petunjuk dari Rabb mereka dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Baqarah: 1-5)
Sebab-sebab keberuntungan yang bisa kita sebutkan di sini di antaranya:
• Bertaubat dari dosa-dosa, beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan beramal shalih. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَأَمَّا مَنْ تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَعَسَى أَنْ يَكُونَ مِنَ الْمُفْلِحِينَ
“Adapun orang yang bertaubat dan beriman serta mengerjakan amal shalih maka semoga ia termasuk orang-orang yang beruntung.” (Al-Qashash: 67)
• Terus-menerus berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana firman-Nya:
وَاذْكُرُوا اللهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Berzikirlah kalian kepada Allah dengan sebanyak-banyaknya agar kalian beruntung.” (Al-Anfal: 45)
• Menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji dan menjauh dari sifat-sifat tercela. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لِأَنْفُسِكُمْ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Berinfaklah dengan infak yang baik untuk diri kalian. Barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (At-Taghabun: 16)
Dalam surah yang lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى. وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan dirinya. Dia ingat nama Rabbnya kemudian ia mengerjakan shalat.” (Al-A’la: 14-15)
Demikianlah wahai saudariku... Akan datang suatu hari kelak di mana tampak bagi seluruh manusia siapa yang beruntung dan siapa yang merugi. Hari yang pasti itu adalah hari ditimbangnya seluruh amalan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَالْوَزْنُ يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ. وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ بِمَا كَانُوا بِآيَاتِنَا يَظْلِمُونَ
“Timbangan pada hari itu ialah kebenaran. Maka barangsiapa berat timbangan kebaikannya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, disebabkan mereka selalu berlaku zalim terhadap ayat-ayat Kami.” (Al-A’raf: 8-9)
Sebelum datang hari itu, masih terbuka kesempatan bagi kita. Selama hayat masih dikandung badan, (masih ada kesempatan) untuk berbenah diri sehingga kita mengatur amalan kita, memperbaiki apa yang rusak dari amalan kita dan memperbanyak amal kebaikan agar berat dalam timbangan pada hari kiamat kelak. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Disarikan dari Al-Khuthab Al-Minbariyyah fil Munasabat Al-’Ashriyyah, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, 2/183-186)


Diposting oleh Rahmi Ummu Qanitaah At Thahirah di 01.34 Tidak ada komentar:
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda
Langganan: Postingan (Atom)

Cari Blog Ini

Pasang radiobox ini di blog anda!

Keluarkan radiobox (pop up)

Islamic Widget

Islamic Clock

Islamic Calendar

My playlist


MusicPlaylist
Music Playlist at MixPod.com

Pengikut

Arsip Blog

  • ▼  2009 (51)
    • ►  September (1)
    • ▼  November (27)
      • Seseorang Akan Mendapat Ujian Sebanding Kualitas I...
      • Berusaha Untuk Ikhlas
      • Tidur Cantik Sesuai Tuntunan Rasulullah
      • Mengingat Masa Lalu Sebagai Pelajaran
      • Fatimah Az-Zahra
      • Wasiat NAbi Tentang Kesehatan
      • Langkah Tepat Memilih Jodoh
      • Surat Dari IBU Yang Terkoyak Hatinya
      • DETIK2 MENJELANG WAFATNYA SANG KEKASIH ALLAH.....
      • Hukum Tidak Membaca Al-Qur'an
      • Laki-Laki Yang Sangat Disukai Wanita
      • ~ TA'ARUF ~
      • Keberuntungan dan Kebahagiaan
      • Ayat Al Kursi
      • TIPS Menghilangkan MALAS...
      • Mengusap Khuf, Kaos Kaki dan Jilbab Dalam Wudhu
      • Asmaul Husna
      • Bagaimana Sih Bangkrut Di Akhirat itu?
      • 7 Indikator Kebahagiaan Dunia
      • JADILAH KUNCI KEBAIKAN
      • 10 Nasihat Ibnul Qayyim
      • ~ KUNCI SURGA ~
      • Alkohol Dalam Obat Dan Parfum
      • BERCERMIN DIRI
      • DAPURKU SURGAKU
      • Siapakah Yang Ukhti Pilih?
      • 3 Bekal Amar MA'ruf Nahi Mungkar
    • ►  Desember (23)
  • ►  2010 (30)
    • ►  Januari (8)
    • ►  Maret (9)
    • ►  Juni (5)
    • ►  Juli (8)
  • ►  2012 (3)
    • ►  Maret (3)

Mengenai Saya

Foto saya
Rahmi Ummu Qanitaah At Thahirah
Makassar, Sul-Sel, Indonesia
Aku tidaklah semulia Khadijah, Tidaklah setaqwa Aisyah, Pun tidak setabah Fatimah. Aku hanya bisa berikhtiar ...... Menjadi seorang wanita solehah.
Lihat profil lengkapku

Lencana Facebook

Rahmi Wailah Az-Zahra

Buat Lencana Anda

"PingBox Ana"

Tema Jendela Gambar. Diberdayakan oleh Blogger.