“Sesungguhnya
aku menunggu (kedatangan) kamu sekalian di telaga. Barangsiapa
melewati, dia pasti minum. Dan barangsiapa minum, maka dia tidak akan
dahaga selamanya.” (HR Al Bukhari)
Manusia
agung itu memang telah tiada. Setelah dua puluh tiga tahun menebar
cahaya Islam dengan penuh cinta dan kasih sayang untuk menyelamatkan
kita, manusia, beliau pergi menemui Rabbnya. Kepergiannya membuat seisi
dunia menangis. Bukan hanya para sahabat yang begitu sangat
mencintainya, tapi mimbar dan tongkat yang selalu menemaninya saaat
berkhutbah, pun ikut berguncang hebat tanda keduanya sedang berduka.
Namun,
meskipun telah tiada, namun kecintaan sang Nabi kepada kita umatnya
tiada pernah henti. Walau terkadang yang dicinta tidak pandai membalas
cinta, juga tidak sadar kalau selalu didoakan keselamatan dan ditangisi
kesulitan yang menimpanya. Kecintaannya terbawa mati. Bahkan tidak
berujung. Cinta itu selalu hadir kapanpun dan bagaimanapun situasinya.
Tak kenal suka maupun duka. Tak terbatas dunia dan akhirat. Tak
terbedakan di saat aman atau sedang huru hara. Di saat seorang ibu dan
seorang anak tidak saling mengenal, sekalipun.
Di sana , di padang
mahsyar, ketiga segenap kita disibukkan oleh urusan kita masing-masing.
Ketika kita digiring secara kasar menuju pengadilan Tuhan Yang
Mahabijaksana. Ketika kita dikumpulkan dalam keadaan telanjang dan
tanpa alas kaki. Ketika matahari dengan sinarnya yang membakar hanya
berjarak satu hasta dari atas kepala. Ketika rasa haus memcekik
tenggorokan. Ketika ini dan itu terjadi, cinta itu kembali hadir. Ya,
hadir dalam sebuah telaga yang indah nan menyegarkan. Yang semua orang
pasti berharap dapat meneguk airnya di tengah berbagai kesulitan yang
mendera.
Anas
bin Malik ra pernah bercerita, “Suatu hari, ketika Rasulullah sedang
berada di tengah-tengah kami, beliau mengantuk. Mendadak beliau
terbangun sambil tersenyum. Kami bertanya, “Kenapa engkau tersenyum,
wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,”Baru saja turun sebuah surat kepadaku.” Beliau lalu membaca surat
Al Kautsar. Kemudian beliau bertanya, “Tahukah kalian apa itu Al
Kautsar?” Kami menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang tahu.” Beliau
bersabda, “Ia adalah sebuah telaga penuh dengan kebajikan yang
dijanjikan oleh Tuhanku kepadaku. Pada hari kiamat nanti umatku akan
mendatangi telaga itu.” (HR. Muslim).
Ibnu Abbas juga pernah berkata, “Rasulullah ditanya tentang padang mahsyar tempat makhluk menghadap Allah; apakah di sana ada air?” Beliau menjawab, “Demi Allah yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, di sana
ada air. Orang-orang yang dikasihi Allah akan mendatangi telaga para
nabi. Allah akan mengutus tujuh puluh ribu malaikat dengan tangan
memegang tongkat dari neraka yang digunakan untuk menghalau orang-orang
kafir dari telaga para nabi.
Telaga
itu benar-benar ada, luas dan indah. Dan sungguh sangat indah. Ia hadir
dengan nama yang indah pula, Al Kautsar; nikmat yang banyak. Demikian
Abdullah bin Abbas, sepupu Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menuturkan. Keindahan fisik telaga
itu tergambar dalam banyak sabda Rasulullah. Terdiri dari empat
sudut, telaga itu memancarkan kilatan cahaya bagai kilatan cahaya
bintang. Jarak antara sudut yang satu ke sudut yang lain ditempuh
dengan perjalanan satu bulan. Telaga itu diisi dengan air yang putih
dan bersih, lebih putih dari susu. Rasanya manis, lebih manis dari
madu. Aromanya harum semerbak, lebih harum dari minyak kesturi (HR
Bukhari). Di salah satu sudut telaga terdapat satu sumber yang mengalir
dari surge. Juga ada sepasang kran dari surge. Yang satu terbuat dari
emas, dan satunya lagi terbuat dari perak (HR Muslim). Orang yang
berhasil meminumnya barang seteguk saja, tak akan pernah lagi merasakan
kehausan, selamanya. (HR Tirmidzi).
Kehidupan di padang
mahsyar adalah kehidupan yang masa transisi dari rangkaian sebuah
perjalanan panjang menuj kehidupan selanjutnya yang abadi. Di kehidupan
kita itu kita akan menemui beragam kesulitan yang maha dahsyat , yang
tidak akan pernah terkirakan oleh siapapun. Berbaur dengan makhluk dari
golongan jin, di sana
kita dikumpulkan dan digiring menuju pengadilan Allah Subhanahu Wa Ta'ala, Hakim Yang
Mahabijaksana, dalam keadaan telanjang dan hina dina. Kekuasaan yang
pernah diberikan kepada kita dimuka bumi telah dicabut. Kita semua
menjadi kerdil dan tidak lagi sombong. Kondisi kita waktu itu
benar-benar diliputi ketegangan, ketakutan, dan kengerian yang tiada tara .
Kita
semua berkumpul jadi satu di bawah terik matahari yang menyengat sangat
panas. Desah nafas kita terdengar tersengal-sengal. Tubuh kita
berhimpitan satu sama lain, sangat rapat dan tidak ada celah
sedikitpun. Keringat pun mengucur dari tubuh kita, jatuh membasahi
bumi. Mula-mula hanya setinggi mata kaki, lalu semakin naik sesuai
dengan martabat kita di sisi Allah Subhanahu wa ta'ala; apakah kita termasuk yang
beruntung atau yang celaka. Sebuah kehidupan yang sungguh sangat
menyesakkan.
Abu
Bakar bin Barjan berkata, “Seperti itulah yang terjadi. Seluruh manusia
berada di satu tempat. Posisi mereka sama. Tetapi ada salah seorang
atau sebagian dari mereka yang minum air di telaga Rasulullah,
sementara yang lain tidak bisa. Ada
yang berjalan di kegelapan dan berdeak-desakan dengan diterangi cahaya
di depannya, dan juga ada yang berjalan dengan melawan arus keringat
sendiri yang hampir menenggelamkannya. Semua itu adalah sebagian
balasan dari usaha amalnya sewaktu di dunia. Ada juga sebagian dari mereka yang hanya berada di dekat naungan ‘Arsy”.
Kita
berdesak-desakan seperti itu selama seribu tahun , tanpa diajak bicara
oleh Allah Subhanahu wa ta'ala barang sepatah katapun. Sementara kepanikan ini belum
selesai, di sisi lain kita di dera kehausan yang belum pernah kita
alami sama sekali. Alangkah nikmatnya, jika pada saat itu ada yang
menawarkan kepada kita air yang lebih nikmat dari susu dan lebih manis
dari madu. Alangkah bahagianya, jika dalam kebingungan itu ada yang
menyambut kita dengan senyum tulus tanda cinta dan sayang. Alangkah
gembiranya, jika di saat terdesak itu ada yang membela kita dengan
permohonan ampun dan do’a-do’anya yang menyejukkan.
Hari
ini kita belum merasakan kesulitan itu. Hari ini kita masih bisa
tertawa. Hari ini kita masih bisa bercanda. Tetapi suatu saat nanti
kita akan mengalami kehausan yang sangat, dan kala itu tidak ada yang
minum kecuali yang pernah memberi minum orang lain karena Allah, tidak
ada yang diberi makan kecuali orang yang pernah memberi makan orang
lain karena Allah, tidak ada orang yang diberi pakaian kecuali orang
yang pernah memberi pakaian orang lain karena Allah, dan tidak ada
orang yang diberi kepercayaan kecuali orang yang pernah bertawakkal
kepada Allah.
Di
telaga itu Rasulullah menanti umatnya, dengan luapan cinta dan kasih
sayangnya, menyambut mereka yang kehausan. Beliau sangat mengenali
umatnya, karena memang mereka memiliki tanda-tanda yang tidak dipunyai
siapapun dari umat lain. “Kalian akan datang kepadaku dengan muka,
lengan, dan betis yang berkilauan karena bekas air wudhu,” Tegas beliau
dalam sabdanya.
Memang,
telaga dan semua kenikmatan itu bukan akhir dari segalanya. Perjalanan
kita menuju persinggahan terakhir; surga atau neraka, masih sangat
panjang. Begitupun, bisa mampir dan minum di telaga Rasul itu sungguh
sebuah karunia besar. Perjalanan memang belum lagi selesai. Tapi
mendapatkan minum dari telaga yang sesudahnya tidak ada lagi haus
sungguh sangat di dambakan. Itu sangat meringankan, di hari ketika
segalanya berubah begitu mengerikan, panas, haus, dan mencekam.
Hari
ini entah di ujung pelarian mana kita menuju. Tapak demi tapak adalah
keniscayaan menuju kematian. Di telaga itu, kelak, Rasul setia menanti.
Dengan cinta dan kasih sayangnya. Tidak ada yang patut dilakukan,
kecuali senantiasa memohon, agar bila tiba saatnya, kita bisa bertemu
Rasul di telaga itu, lalu minum dengan sepuas hati.
Di sana , di telaga itu, Rasul menanti.
-Tarbawi Edisi 124 Th.7 Dzulhijjah 1426 H, 19 Januari 2006 M-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar