Oleh :
Ustadz Nurul Mukhlisin Asyrafuddin, Lc., M.Ag
Sebab itu maka Wanita yang saleh,
ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak
ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka) .(QS. An-Nisa’(4):34).
Dalam ayat ini setidaknya ada tiga karakteristik utama wanita muslimah yang ditampilkan oleh Allah , di antaranya sebagai berikut;
Pertama, shalihat
yaitu beribadah kepada Allah Ta’ala dengan penuh keikhlasan hanya
mengharap ridha-Nya semata, bukan sanjungan dan pujian manusia. Dan
dalam beribadah kepada-Nya, ia selalu mencontohi Rasulullah . Ibadah
secara etimologi berarti merendahkan diri serta tunduk dan patuh.
Sedangkan menurut Istilah seperti yang dikatakan oleh Syekhul Islam
Ibnu Taimiyah,” ibadah
adalah sebuatan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai
oleh Allah , baik berupa ucapan atau perbuatan, yang dzahir maupun yang
batin.
Ibadah bisa dibagi menjadi tiga macam yaitu; A)- Ibadah Qalbiyah (hati) seperti khauf (takut), Raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), Tawakkal, Ragbah (senang). B)- Ibadah badaniyah (badan) seperti shalat, puasa, zakat, haji. C)- Ibadah lisaniyah (lisan),
seperti zikir, membaca al-Qur’an dan lainnya. Dengan demikian ibadah
mencakup seluruh tingkah laku dan ucapan seorang mukmin jika itu
diniatkan mendekatkan diri kepada Allah. Bahkan adat dan kebiasaan yang
mubah bisa menjadi Ibadah apabila diniatkan sebagai bekal untuk taat
kepada Allah. Seperti tidur, makan, mencari nafkah dan lainnya.
Kesalahan persepsi tentang ibadah bisa terjadi dengan cara mengurangi
makna ibadah serta membatasi pelaksanaannya pada ibadah ritual dan
syiar-syiar tertentu saja. Tidak ada ibadah yang berkaitan dengan
masalah sosial, akhlak dan muamalah. Begitu juga mereka yang
berlebih-lebihan dalam masalah ibadah, sehingga yang sunah kadang
dianggap wajib, atau yang mubah (boleh) dianggap haram. Ibadah yang
benar harus berlandaskan pada tiga filar yang utama yaitu; A)- Al-Hubb (cinta), yang
harus dibarengi dengan sikap rendah diri. B)- Al-Khauf (takut), yang
harus dibarengi dengan rasa raja (harap). C)- Ar’raja’ (mengharap).
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata, “Dienullah adalah menyembahnya dengan taat dan tunduk
kepadaNya. Akan tetapi ibadah yang diperintahkan mengandung makna
tunduk dan cinta. Siapa yang tunduk kepada seseorang dengan perasaan
benci kepadanya maka ia bukanlah menghamba (menyembah) kepadanya. Dan
jika ia menyukai sesuatu tetapi tidak tunduk kepadanya maka diapun
tidak menghamba padanya. Karena itu tidak cukup salah satu dari
keduanya dalam beribadah kepada Allah, tetapi hendaknya Allah lebih
dicintainya dari segala sesuatu dan Allah lebih diagungkan dari
segalanya. Tidak ada yang berhak mendapatkan kecintaan dan ketundukan
yang sempurna selain Allah ”. (Majmu’ Tauhid Najdiyah, hal.542)
Syekhul Islam berkata, “ Inti
agama adalah dua yaitu kita tidak menyembah kecuali kepada Allah, dan
tidak menyembah Allah kecuali dengan apa yang disyariatkan Allah .
Muslimah juga tidak menyekutukan Allah dalam ibadahnya baik Syirik Akbar (besar), yaitu menyekutukan-Nya dalam do’a, sebagaimana firman-Nya,”Maka
apabila mereka naik kapal, mereka berdo’a kepada Allah dengan
memurnikan ketaatan kepadaNya, tetapi tatkala Allah menyelamatkan
mereka sampai ke darat tiba-tiba mereka kembali mempersekutukan Allah”, (QS. al-Ankabut;65)
Atau syirik dalam niat dengan menjadikan tujuan amalnya hanya semata untuk dunia, Allah berfirman, “Barangsiapa
yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan
kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan
mereka di dunia tidak akan dirugikan”, (QS.Hud;15)
Syirik dalam ketaatan dengan memberi ketaatan yang sama antara Allah dengan makhluk-Nya, Sebagaimana firman-Nya, ”Mereka menjadikan orang-orang alim dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah”, (QS.at-Taubah;31)
Syirik dalam cinta dengan mencintai selain Allah menyamai cintanya kepada Allah , sebagaimana firman-Nya,” Dan di antara manusia ada yang menjadikan sekutu-sekutu selain Allah, mereka mencintainya seperti mencintai Allah”, (QS. al- Baqarah;165).
Kedua; syirik Ashghar
(kecil), yaitu beberapa perbuatan yang yang disebutkan oleh Al-Qur’an
dan hadits sebagai syirik tetapi tidak termasuk syirik besar seperti
bersumpah dengan selain Allah dan riya’ sebagaimana hadits Nabi yang artinya, “Sesungguhnya perkara yang paling aku khawatir kepada kalian adalah syirik kecil yaitu riya’, (HR.Ahmad)
Ketiga; Syirik khofi (samar) , yaitu syirik yang terselubung seperti yang digambarkan oleh Rasulullah dalam sabdanya, “Bagaimana
sekiranya aku beritau kalian tentang sesuatu yang lebih aku takuti
(terjadi) pada kalian daripada AL-Masih Ad-Dajjal?, mereka menjawab,
Ya, wahai Rasulullah!. Beliau bersabda, “Syirik yang samar, seperti
seorang yang berdiri lalu dia melakukan shalat maka dia perbagus
shalatnya karena dia melihat ada orang lain yang melihatnya”, ( HR.Ahmad , dari Abi Sa’id Al-Khudri). Dalam riwayat al-Hakim Rasulullah pernah
mengilustrasikan syirik itu lebih samar dari semut yang merayap di atas
batu hitam di tengah malam yang gelap- gulita. Oleh sebab itu beliau
mengajarkan do’a sebagai berikut;
اَلَّلهُمَّ ِإنيِّ أَعُوْذُ بِكَ أَنْ نُشْرِكَ شَيْئًا وَأنَا اَعْلَمْ وَاَسْتَغْفِرُكَ مِنَ الذَّنْبِ اّلَذِي لاَ أَعْلَمُ
Artinya,
“Ya Allah! Aku berlindung kepada-Mu dari segala perbuatan syirik yang
kuketahui, dan aku memohon ampunan-Mu dari dosa yang tidak kuketahui”.
Kedua, Qhanithat (taat). Al-Hafidz Imaduddin Abil Fida’ Ismail Ibnu Katsir menulis perkataan Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan Qhanithat dalam
ayat ini adalah taat kepada suaminya. karena lafadz ayat ini umum, maka
taat yang dimaksud juga meliputi taat kepada kedua orang tua,
sebagaimana firman Allah , “ Dan
Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.
Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur
lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah mengatakan
kepada keduanya perkataan ”ah”, dan janganlah kamu membentak mereka dan
ucapkan kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu
terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah; “Wahai
Tuhanku kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah
mendidik aku waktu kecil”. (QS.Al -Isra’; 23-24)
Ibu dan bapak adalah orang yang pertama setelah Allah
yang berjasa mewujudkan kita di dunia. Tidak ada seorangpun setelah
Nabi Adam dan Nabi Isa yang terlahir tanpa proses kedua orang tua.
Perjalanan panjang sejak dari setetes mani, menjadi darah kemudian
segumpal daging yang akhirnya menjadi manusia yang sempurna membutuhkan
perjuangan yang berat dari mereka berdua. Al-Qur’an sendiri
mengilustrasikan perjuangan berat tersebut dengan lafaz “Wahnan Ala Wahnin” (lemah di atas kelemahan), (QS.Lukman;13), di ayat lain dengan kata-kata “Hamalathu Kurhan wa Wadha’athu Kurhan” (Mengandungnya dengan susah dan melahirkan dengan susah pula). (QS.Al-Ahqaf;15).
Allah menceritakan
semuanya dengan tujuan sebagaimana di akhir ayat, agar setiap anak
manusia bisa bersyukur kepada Allah dan kepada orang tuanya. Bersyukur
kepada Allah kata Syekh As-Sa’di,”Yaitu
dengan beribadah kepada Allah yang menciptakanya dan jangan sampai
keberadaannya di dunia untuk maksiat kepada Allah. Adapun bersyukur
kepada orang tua yaitu dengan berbuat baik dan taat kepada keduanya. (Taisir Karimurrahman; hal. 597).
Kewajiban berbuat baik kepada orang tua diperintahkan oleh Allah dengan menggunakan lafaz “Wawasshaina” (Kami wasiatkan) kepada manusia (QS.Al-Ankabut;8, Lukman;14). Ini
dimaksudkan agar manusia tetap ingat kepada kewajiban tersebut apapun
profesi dan kedudukannya kelak. Juga Allah mensejajarkan perintah
berbuat baik pada orang tua, dengan kewajiban beribadah kepada-Nya (QS.Isra’; 23), menunjukkan betapa agungnya perintah tersebut. Maka ketika Rasulullah ditanya perbuatan apa yang paling afdhal, beliau menjawab setelah shalat di awal waktu adalah berbakti pada orang tua (HR.Bukhari Muslim).
Suatu hari di musim haji seorang laki-laki menggendong ibunya ketika
tawaf dalam keadaan yang berdesakan. Ia bertanya kepada Ibnu Umar,”Apakah dengan ini aku sudah membalas jasa ibuku ?”. Ibnu Umar menjawab,“Belum,
sekalipun setetes air susunya. Dan seorang tidak akan mungkin bisa
membalas jasa kedua orang tuanya kata Rasulullah, kecuali ia dapatkan
bapaknya tertawan menjadi budak kemudian dia tebus dan memerdekakannya.
(HR.Muslim).
Sebagai orang yang mengandung, melahirkan dan menyusui bahkan sampai dua tahun (QS.Al-Baqarah;233), ibu mestinya mendapatkan perlakuan yang lebih dibandingkan ayah. Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah ,”Siapakah orang yang paling berhak untuk dilayani dengan sebaik-baiknya ?”. Beliau menjawab “Ibumu !”. “Lalu siapa lagi ?”. Beliau menjawab,“Ibumu !”. “Lalu siapa lagi ?”, Beliau menjawab ,“Ibumu !”. “Lalu siapa lagi ?”. Beliau menjawab,“Bapakmu !”. (HR.Bukhari Muslim).
Mentaati orang tua kata Imam Ahmad diwajibkan pada semua yang mubah
(dibolehkan dalam agama). Kalau orang tua melarang melakukan sesuatu
atau memerintahkan melakukan sesuatu sekalipun itu dalam masalah
pribadi, anak harus mentaatinya. Seperti seorang ibu yang memerintahkan
anaknya untuk menceraikan isterinya yang tidak taat dan tidak bisa
berbuat baik pada mertuanya, ia harus melakukannya. Sebagaimana yang
diceritakan oleh Abdullah bin Umar bahwa bapaknya Umar bin Khattab
pernah menyuruhnya untuk menceraikan isterinya yang sangat dia cintai.
Ketika itu diadukan kepada Rasulullah, beliau bersabda, “Ceraikanlah isterimu !” (HR.Abu Daud dan Tirmidzi, shahih).
Bahkan seorang tidak boleh mengorbankan hak orang tuanya sekalipun
dengan tujuan ibadah Selama ibadah itu bukan hal yang wajib. Ada
seorang yang datang kepada Rasulullah meminta ikut berjihad untuk
mencari ridha Allah. Nabi bertanya,“Apakah orang tuamu masih hidup ?”. Dia menjawab,“Ya”. Nabi bersabda,“Maukah engkau mencari ridha Allah ?. Pulanglah dan perbaikilah cara berbaktimu pada keduanya !” (HR.Bukhari Muslim). Dalam riwayat lain Nabi bersabda,“Pulanglah dan berjihadlah pada keduanya”, (HR.Bukhari Muslim).
Maksudnya berjihad dengan cara berbuat baik kepadanya. Hadits ini
menunjukkan agungnya kedudukan orang tua. Berbuat baik kepadanya lebih
utama daripada jihad fisabilillah. Dan kalau jihad itu Fardhhu Kifayah maka diharamkan seorang anak pergi tanpa seizin kedua orang tuanya (Riyadhusshalihin; 137).
Sekalipun orang tua berbeda agama, seorang anak tetap berkewajiban untuk berbuat baik kepadanya. (QS. Lukman;15).
Asma’ binti Abu Bakar pernah mengadukan ibunya yang non muslim kepada
Rasulullah yang selalu datang kepadanya minta untuk minta diperlakukan
dengan baik. Nabi bersabda,“Perlakukanlah ibumu dengan cara yang baik”, (HR.Bukhari Muslim). Dan
berbuat baik kepada keduanya masih diwajibkan sekalipun mereka sudah
meninggal dunia. Seorang sahabat bertanya kepada Nabi, apakah masih ada
hak orang tuanya setelah ia meninggal dunia. Nabi menjawab,“Mendoakannya, memohonkan ampunan untuknya, dan menyambung persahabatan yang pernah dia bina di masa hayatnya”. (HR.Ahmad )
Begitu agungnya kedudukan orang tua, maka Allah melarang untuk durhaka kepada keduanya. Sekalipun hanya dengan perkataan,“Uffin !” (ah), (QS.Isra’; 23). Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini mengatakan,“Jangan
mereka mendengar kata yang tidak baik darimu walaupun sekedar perkataan
“ah”, yaitu perkataan yang sangat sepele. Jangan pula keluar darimu
perbuatan yang tidak layak baginya. Tetapi sebaliknya mengatakan
perkataan yang lunak dan berisi penghormatan dan do’a baginya”,(Tafsir
Al-Qur’an Al-Adzim;III/50).
Rasulullah menganggap, durhaka kepada orang tua, termasuk salah satu dosa besar. (HR.Bukhari Muslim).
Dan akibat kedurhakaannya, seorang anak bisa merasakannya semenjak di
dunia. Kita masih mengingat kisah Si Malin Kundang anak durhaka. Syekh
Athiyah Muhammad Salim, seorang guru besar di Masjid Nabawi pernah
bercerita kepada penulis, ketika beliau menjabat sebagai Ketua Mahkamah
Syariah di Madinah. Beliau pernah mengadili seorang anak yang membunuh
ayahnya dengan cara menyembelihnya di balik batu besar di tengah padang
pasir. Ketika ditanya kenapa melakukan pembunuhan itu dan kenapa memilih tempat di sana ?. Anak tersebut menjawab,”Sebelum saya membunuhnya, ayah saya berkata,”Di sinilah aku dulu juga membunuh ayahku”.
Allah mengajarkan do’a untuk orang tua,” Ya,
Allah ! Tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau
berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat
amal yang salih yang engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan
(memberi kebaikan) kepada anak cucuku. (QS.Al-Ahqaf;15)
Juga taat kepada pemimpin dan siapaun selama tidak mengajak kepada kemaksiatan, Rasulullah bersabda,”
Tidak boleh ta’at kepada makhluk, dalam maksiat kepada Khaliq (Allah).
Juga tidak boleh taat pada orang tua dalam kemaksiatan, atau mengajak
kepada kemusyrikan (QS.Lukman;15 ).
Bagi seorang isteri ta’at kepada suami merupakan sebuah ibadah dan
kewajiban. Rasulullah bersabda, “Apabila wanita telah shalat lima
waktu, dan puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya, dan mentaati
suaminya, maka dikatakan kepadanya; masuklah ke surga lewat pintu mana
yang disuka”, (HR.Ahmad dari Abdurrahman bin Auf).
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda,”Kalau
wanita diajak oleh suaminya ke ranjang, kemudian dia menolak maka
malaikat akan melaknatnya sampai pagi”, (HR.Bukhari Muslim).
Semuanya ini karena besarnya tanggungjawab suami kepada isteri, sehingga dia berhak mendapatkan perlakuan dan hak seperti itu.
Ketiga, Hafidzaat (menjaga
diri). Islam memuliakan wanita muslimah dari kedzaliman jahiliyah yang
memperbudak wanita bahkan membunuh anak-anak wanitanya, sebagaimana
firman Allah , “Dan
apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak
perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. ia
menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita
yang disampaikan kepadanya. apakah dia akan memeliharanya dengan
menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah
(hidup-hidup) Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu. (QS. An-Nahl (16):58-59).
Al-Qur’an sangat memperhatikan prinsip-prinsip kesetaraan jender
sebagaimana yang bisa dianalisa dengan lewat beberapa variabel sebagai
standar di antaranya; laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba Allah yang mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba yang ideal (muttaqin), (QS. 49:13). Penghargaan dan balasan yang akan diperoleh oleh hamba adalah sama tanpa melihat status jendernya, (QS.16:97). Sama-sama berpotensi untuk meraih prestasi di dunia dan di akherat, (QS.3:195), (QS.4:124), (QS.16:97), (QS.40:40). Beberapa bentuk kekhususan yang diberikan kepada laki-laki seperti sebagai qawwamah (pelindung) bagi perempuan, (QS.4:34), mendaptakan warisan yang lebih, (QS.4:11), diperkenankan poligami bagi yang memenuhi persyaratan, (QS.4:3), tidaklah
menyebakan laki-laki menjadi hamba yang utama, tetapi harus dipahami
sebagai bentuk tanggung jawab yang lebih besar kepada laki-laki dalam
kapasitasnya yang mempunyai peran publik dan sosial yang lebih dari
perempuan.
Untuk menjaga kehormatan dan kesucian itulah, Allah memerintahkan muslimah untuk menutup auratnya dan tidak dipamerkan kepada orang yang bukan mahramnya. Allah berfirman, » Katakanlah
kepada wanita yang beriman:”Hendaklah mereka menahan pandangan mereka,
dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka.Dan hendaklah
mereka menutupkan kain kudung kedada mereka, dan janganlah menampakkan
perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau
ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami
mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putera-putera saudara
laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau
wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap
wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.Dan
janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang
mereka sembunyikan.Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang
beriman supaya kamu beruntung. (QS. al-Nur (24): 31). Juga firman Allah ,” Hai
Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan
istri-istri orang mukmin agar hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Ahzab (33):59)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda,”
Wanita yang paling baik adalah muslimah yang apabila anda melihatnya,
kau akan senang, apabila kau menyuruhnya dia akan taat, dan apabila
engkau tidak ada di sampingnya, dia akan menjaga dirinya dan hartamu, (HR. Ibnu Jarir)
Inilah beberapa karakteristik utama muslimah yang ideal menurut al-Qur’an dan Sunnah. semoga Allah memberikan kita hidayah dan inayah-Nya kepada kita agar kita bisa menjagi hamba-hamba-Nya yang ideal, Amin!.
Wallahu A’lam bishshawab
Rujukan:
- Tafsir al-Qur’an al-Adzim oleh Imaduddin Isma’il Ibnu Katsir juz 1/653-655).
- Riyadushshalihin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar